Nyoe
keuh cerita nanggroe nyang cidah
meugah man
saboh donya
teumpat
lahe para pahlawan utama
nyang gigeh
usee penjajah
Bak trok masa nanggroe cidah
dicabik
senjata syedara
darah roe
menghamboe
nyawong pih
gadoh
Uroe pih jijak watee pih meuganto
bah mantong
keneuk khem
Ie laot
teuka jisampoh mandum
Abeh
mandum nyang tinggai keunangan
:Udep pih lam luka
Inilah kisah tentang tanah yang indah
termasyhur
di penjuru dunia
tempat
lahir para pahalwan utama
yang gigih
mengusir penjajah
Namun tiba masanya tanah indah
dicabik
senjata saudara sendiri
darah pun
tumpah meresap
jiwa merana
pergi
Hari berlalu waktu berganti
baru saja
sejenak ingin tersenyum
gelombang
laut menghapus segala
tak ada
yang tersisa hanya kenangan
Demikian kalimat pembuka Drama Tragedi Sembilan Babak berjudul Tanah Perempuan
yang disajikan seorang penulis yang sudah tidak asing lagi dalam dunia
kesusasteraan di tanah air, Helvy Tiana Rosa. Dari sebuah rumah sederhana di
pinggiran kota Banda Aceh, kisah ini bermula.
Kalimat demi kalimat mengalir penuh makna menceritakan kisah kehidupan seorang Safiah Cut Keumala, seorang istri, ibu dan guru sejarah berusia 35 tahun. Mala, seorang wanita Aceh yang turut merasakan masa-masa konflik di Aceh berkecamuk. Belum purna kesedihan akibat kehilangan orang-orang terkasih dalam konflik tersebut, musibah gempa bumi dan Tsunami pada hari Minggu, 26 Desember 2004 datang memporak-porandakan negerinya. Mala kini tinggal sebatang kara.
Dalam kesedihan dan kepayahan akibat sakit dan letih setelah digulung ombak tsunami, Mala terdampar di darat. Di tengah puluhan mayat yang bergelimpangan dan sejumlah besar relawan yang datang memberikan bantuan. Dalam pada itu, dua orang relawan dari Jakarta menemukan Mala yang masih mengisyaratkan nafas, lalu berusaha menyadarkannya.
"Ayo, minum, Bu!" pinta seorang relawan.
"Kalau tidak mau minum ya makan juga boleh," pinta relawan lainnya sambil menyodorkan biskuit.
Mala bergeming.
Tidak. Tolonglah. Lon keneuk mate mantong. Saya ingin mati! Ingin mati! Tidak ada yang bisa menghalangi saya untuk mati karena semua anggota keluarga saya telah mati. Bahkan tanah saya sudah mati. Jadi tolong pergi. Ayo kalian pergi.
* * *
Mala, seorang istri, ibu dan guru sejarah berusia 35 tahun. Ia tinggal di pinggiran kota Banda Aceh bersama dengan kedua orang tuanya, Abu dan Mak, juga suaminya Majid dan anaknya, Agam. Majid, suami Mala sehari-hari berprofesi sebagai guru Matematika. Oh iya, adik Mala, Imran juga tinggal bersama dengan mereka. Imran adalah seorang pemuda pengangguran berusia sekitar 20 tahun.
Hari-hari di masa konflik dilalui dengan penuh kecemasan dan ketakutan. Mulanya Ma'e, abang Mala hilang tanpa meninggalkan jejak. Menyusul Abu, sang ayah, dipanggil ke haribaan Allah Swt setelah beberapa bunyi tembakan. Selang beberapa lama, di suatu malam dua orang oknum polisi datang menangkap Majid suaminya dengan tuduhan terlibat sebagai kaki tangan pemberontak.
Masa konflik membawa Aceh dalam kegelapan. Sebentar-sebentar kabar adanya warga yang ditemukan tewas atau hilang karena diculik. Belum lagi sekolah-sekolah yang dibakar oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Kepiluan kian mendalam bagi Mala dan warga Aceh pada masa itu.
* * *
Imran tidak menemukan pilihan lain selain merantau ke Penang mengikuti jejak mereka yang telah lebih dulu meninggalkan Aceh. Baginya, hanya dengan ikut mengungsi maka ia dapat merajut harapan kembali bagi kehidupannya. Sementara Mak yang sudah tua dan sakit-sakitan pun melepaskannya dengan do'a. Kini Mala tinggal bersama Mak dan anaknya Agam yang sebentar-sebentar menanyakan keberadaan Majid, ayahnya.
Di tengah kepiluan itulah tiba-tiba hadir sebuah bencana maha dahsyat yang barangkali belum pernah terekam dalam sejarah. Gempa bumi berkekuatan 9,1 SR mengguncang daerah Aceh dan sekitarnya. Lima belas menit kemudian gulungan tsunami berkecepatan setara pesawat terbang sampai ke daratan Pantai Barat Aceh dan menyapu apa saja di hadapannya.
Hari itu, 26 Desember 2004, semua larut dalam zikir. Ratusan ribu jiwa tewas dan ratusan ribu lainnya hilang serta tak terhitung pula kerugian yang diperoleh. Bahkan belasan negara lain yang turut terkena dampak dari musibah tersebut. Sungguh hanya kepunyaan Allah sajalah segala apa yang ada di langit dan di bumi.
* * *
Dalam kepayahannya, Mala tiba-tiba sudah berada di tempat lain. Antara sadar dan tidak, di hadapannya kini berdiri seorang pahlawan Aceh dari abad ke-16, Laksamana Malahayati. Mala yang seorang guru sejarah dengan fasihnya dapat mengurai sejarah perjuangan wanita pejuang yang masyhur tersebut. Tidak hanya laksamana atau panglima perang, Laksamana Malahayati juga merupakan seorang diplomat dan perunding yang ulung dan tegas dalam berdiplomasi menjunjung harga diri Aceh.
Laksamana Malahayati tercenung menyaksikan bagaimana dhasyatnya tsunami memporak-porandakan negeri yang dicintainya. Namun ia tetap berupaya menguatkan hati sambil memberi semangat kepada Mala. "Hentikan tangisan kami dengan kebangkitan kalian. Bangkitlah dengan luka dan cinta. Dengan luka, anakku. Dengan cinta. Dengan takwamu."
Kemudian hadir pula dalam balutan duka tersebut, Sultanah Sri Ratu Safiatuddin. Di masa kepemimpinan Sang Sultanah, Aceh mencapai masa kejayaannya ditandai dengan zakat rakyat Aceh yang mencapai Makkah dan Madinah. Ia terpana sekan tak percaya negeri kecintaannya Aceh dilanda musibah besar yang memporak-porandakan hampir seluruh negeri, menyisakan kepiluan bagi sesiapa yang menyaksikannya. Ia berpesan kepada Mala, "Kamu harus membangun kembali kejayaan generasimu dengan cara menguasai, memimpin dirimu sendiri!"
Pocut Meurah Intan, Cut Meutia dan Pocut Baren berturut-turut hadir untuk memberikan kepada Mala sepucuk semangat. "Safiah Cut Keumala! Kita datang dari Allah, hidup untuk Allah, kembali pada Allah. Sebut namamu: Safiah Cut Keumala!" pinta Cut Meutia menyalakan semangat hati Mala.
"Penderitaanmu bukanlah ketika kamu kehilangan keluarga atau bagian tubuhmu. Hakikat penderitaan bukanlah ketika kamu terkena bencana. Tapi penderitaan yang sesungguhnya adalah ketika kamu kehilangan kepercayaan dirimu dan harapan. Ketika Allah tak ada dalam tujuan hidupmu," Pocut Baren meneguhkan.
Tak lama kemudian Cut Nyak Dhien hadir di antara mereka dan memberi semangat kepada Mala agar tidak larut dalam keterpurukan dan segera bahu membahu bersama warga Aceh lainnya untuk bangkit kembali membangun negeri yang baru saja hancur luluh dihantam tsunami. "Musuhmu sekarang bukanlah Belanda, anakku, tapi diri dan ketidakberdayaanmu. Bangkitlah!"
Mala pun kemudian terlibat dalam berbagai kegiatan sosial untuk menumbuhkan kembali semangat warga Aceh, meski ia sendiri harus kehilangan ibundanya yang jasadnya ditemukan tidak lama setelah ia sadar, serta Agam anak semata wayangnya yang masih belum diketemukan jejaknya.
* * *
Hampir setahun kemudian, tepatnya bulan September 2005, orang-orang sibuk berlalu lalang mencari kabar berita tentang perjanjian Helsinski yang menandai perdamaian di Aceh.Sebagian orang mendukung, sebagian masih pesimis, namun semua berharap akan masa depan Aceh yang lebih baik.
Di antara keramaian itulah tiba-tiba muncul seorang wanita menghampiri Mala. Ternyata ia adalah Surayya, yang lama tidak diketahui rimbanya setelah bergabung dengan barisan tentara wanita Inong Balee. Surayya yang sempat menjadi tambatan hati adiknya Imran itu bermaksud memastikan kabar tentang perjanjian damai tersebut. Mala pun mengajak Surayya untuk bersama-sama membangun kembali Aceh agar kembali bangkit menatap masa depan yang gemilang.
Surayya ikut bersama Mala untuk memberi semangat kepada anak-anak di pengungsian. Tiba-tiba dari kerumunan anak-anak itu, muncullah seorang anak yang menghampiri Mala. Ia berdiri mematung, memandangi Mala, Surayya dan keramaian anak-anak tersebut.
"Mak, apakah ini Mak?"
"Agam anak Mak sayang. Bagaimana mungkin ... ? Mak kira kamu sudah tiada. Agam anak Mak sayang."
Kemudian dalam suasana penuh haru itu, anak-anak membentuk lingkaran dan bernyanyi ...
Kamoe ureueng Aceh, aneuk pejuang nyang malem
Hantom talo
bak kaphe meunan cit ngon bala
bah peudeh
kamoe teurimong, teutap teuga
sebab
Allah ngon kamoe
Beudoh hai
Aceh kamoe sigoe treuk!
Aceh lon
sayang!
Kami orang Aceh, generasi pejuang yang saleh
tak pernah
menyerah pada penjajah atau musibah
walau
banyak lara kami tetap tegar
sebab Allah
bersama kami
Bangkitkan
Aceh kami sekali lagi!
Acehku
sayang.
* * *
Saya menemukan buku ini di sebuah toko buku beberapa waktu silam. Saya juga tidak menduga bahwa buku ini adalah sebuah naskah drama yang ternyata telah pernah dipentaskan beberapa tahun silam di Banda Aceh bekerjasama dengan teman-teman FLP Aceh yang ketika itu menjadi event organiser-nya.
Dalam sebuah video youtube, dijelaskan bahwa karya ini juga telah dipentaskan di sejumlah tempat lainnya seperti Aula S UNJ (16 Juli, di CCL Bandung (17-18 Juli 2009), di Gedung Kesenian Jakarta (8 November 2009 dalam menyambut Hari Pahlawan) dan 19-20 Desember 2009 di Auditorium RRI Banda Aceh (dalam rangka Hari HAM Internasional dan Peringatan 5 tahun peristiwa tsunami). Videonya bisa kamu saksikan di sini.
Bagi saya, membaca Tanah Perempuan karya Helvy Tiana Rosa merupakan sebuah
motivasi yang dapat melecut semangat khususnya bagi warga Aceh dalam membangun
kembali negeri tercinta ini. Semoga dengan berbagi tentang buku ini
dapat menjadi penyemangat kita seperti sebuah kata mutiara yang saya kutip dari
buku ini bahwa hidup adalah
sejauh mana kita menebar harapan dan do'a (halaman
26).
Perjuangan Mala, sosok seorang perempuan tegar yang digambarkan dengan begitu utuh dalam drama ini merupakan gambaran dari ketangguhan wanita Aceh yang telah diwariskan secara turun temurun oleh para wanita pejuang Aceh. Kisah drama ini mengirimkan pesan dan harapan semoga nilai-nilai ketangguhan dan kesabaran tersebut dapat diteladani kembali dewasa ini. Terutama bagi masyarakat Aceh dalam bahu membahu membangun kembali negerinya yang telah lama terpuruk dilanda konflik dan musibah tsunami.
Judul: Tanah Perempuan, Drama Tragedi Sembilan Babak
Penulis:
Helvy Tiana Rosa
Penerbit:
Lapena, Banda Aceh
Tebal: 124
halaman
Banda Aceh,
23 Juni 2014
Kereen bang tulisannya.... jd pngen bca bkunya.
ReplyDeleteAd sma bg azhar bkunya??
Iya, abang koleksi bukunya. Beberapa bulan lalu sih belinya tapi baru kali ini sempat dituliskan resmue-nya... Terima kasih atas pujiannya :-)
DeleteKoo sedih ya ceritanya..
ReplyDeleteMenarik Ceritanya...
ReplyDeletemenarik, atau sangat menarik ? :-)
Deleteresumenya keren jadi penasaran, nggak ada gambar cover bukunya yaa??
ReplyDeleteTerima kasih Kak Harie :-)
Deletekalau di-googling sih ada tapi agak blurred. in sya Allah akan Azhar scan untuk ditampilkan, Kak Harie ..