Beranda · Wisata · My Extraordinary Life · Menu 2

Kisah Cinta Segiempat Antara Aku, Buku, Perpustakaan dan Toko Buku

Saat membaca, melihat atau menonton di berbagai acara yang membahas seputar taman bacaan, kita melihat banyak sekali anak-anak yang tidak begitu beruntung karena sulit memperoleh akses untuk bahan bacaan yang bermutu. Memperoleh akses terhadap bacaan "biasa-biasa saja" sudah sulit, konon lagi yang berkualitas. Keberadaan taman bacaan adalah serasa surga bagi mereka. Hal ini lantaran berbagai bacaan tersebut dapat mereka nikmati dengan gratis.

Saat menulis ini aku jadi ingat perpustakaan sekolahku saat masih di Madrasah Ibtidaiyah dulu. Hanya sebuah lemari pada sebuah ruang sederhana yang juga merupakan ruang unit kesehatan sekolah (UKS). Tumpukan bukunya juga terdiri dari buku-buku pelajaran, dan barangkali juga ada beberapa buku tambahan.

Berlanjut ke Madrasah Tsanawiyah, perpustakaan sudah lebih "modern". Ada ruangan yang cukup luas di lantai dua, dengan 2-3 pegawai perpustakaan yang selalu merapikan buku dan peraturan peminjaman pun diberlakukan dengan baik. Aku menemukan buku-buku pendukung belajar Bahasa Indonesia yang cukup 'wah' juga untuk saat itu. Novel-novel yang kami ketahui judulnya saat jam pelajaran Bahasa Indonesia bisa dengan mudah kami temui di situ, seperti novel "Salah Asuhan" karya Abdul Muis atau "Tenggelamnya Kapal Van der Wijk" karangan Hamka.

Perpustakaan selalu menjadi pilihan favoritku saat jam istirahat, lantaran aku tak menghabiskan waktu terlalu lama untuk jajan. Istirahat juga seingatku hanya satu kali dengan durasi yang agak lama--sekitar 30 menit.
Jadi lumayan juga buat dihabiskan di perpustakaan. Pegawainya pun sangat ramah.

Saat Madrasah 'Aliyah, perpustakaan tidak seingatku tidak semewah saat aku masih di Tsanawiyah dulu. Maksudku buku-buku sastra tadi tidak dapat kutemukan dengan mudah. Buku-buku seingatku lebih didominasi pada buku pelajaran. Bahkan cukup lengkap karena sebagian besar buku pelajaran dapat kami pinjam di perpustakaan, sehingga kami tidak perlu membelinya lagi.

Perpustakaan yang paling besar di kotaku yang pernah aku kunjungi adalah Perpustakaan Wilayah. Aku baru berkenalan dengannya saat seorang temanku di Madrasah 'Aliyah mengajakku ke sana. Aku diajaknya membuat kartu perpustakaan. Suasananya cukup tenang dan ada sebuah balai untuk shalat yang juga sangat nyaman. Aku akrab dengan perpustakaan wilayah sampai masa-masa kuliah, di mana kebutuhanku akan buku-buku penunjang kuliahku di jurusan manajemen cukup memadai.

Perpustakaan lainnya tentu saja perpustakaan kampusku Universitas Syiah Kuala, yang juga kami kenal dengan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Pustaka Unsyiah. Bangunan berlantai tiga yang sebenarnya tak terlalu akrab buatku. Lantaran menurutku sedikit berkesan sepi. Padahal bangunannya cukup megah dengan tinggi ruang yang tak kalah megah. Bisa aku rasakan ketika menaiki anak tangga yang begitu lama. Barangkali hanya mereka yang suka belajar saja yang rela olak-balik ke bangunan ini.

Menjelang aku selesai kuliah, aku melihat suasananya mulai ramai. Lantaran sudah disediakan  dari fasilitas komputer dan internet gratis. Bahkan juga jaringan wi-fi, yang juga disediakan di taman yang dibangun di halaman luar perpustakaan. Beberapa kali selepas tamat kuliah, aku pernah bermain juga ke sana.

Perpustakaan yang paling akrab denganku adalah pustaka jurusan. Saat kuliah dulu, mahasiswa masih kesulitan untuk meminjam buku lantaran tidak ada pegawai khusus yang ditugaskan untuk menjaganya. Lalu muncul inisiatif yang berasal dari diskusi temanku yang ketua himpunan dengan Bapak ketua jurusan. Akhirnya beberapa orang dari himpunan secara sukarela menyediakan waktu mereka untuk piket bergantian menjaga perpustakaan.

Kami: aku, Iqbal, Iqbal kuadrat (ada dua soalnya), Pipit, Lifa, Hasie, Rian, Yasvy, Vera, Yus (mudah-mudahan tak ada nama yang terlupa) saling bergantian menjaga perpustakaan. Hasie yang mengatur jadwal piket dengan rapi. Teman-teman juga setia setiap saat bergantian piket di pustaka sambil menambah ilmu juga. Syukur Alhamdulillah banyak teman yang merasa terbantu. Karena buku-buku yang disediakan merupakan buku referensi, maka mahasiswa hanya dapat meminjam sebentar untuk memfotokopi. Di sini aku melihat betapa tulusnya teman-teman piket waktu itu, do'aku semoga kesuksesan selalu menyertai mereka.

Kini saat aku bermain ke sana, sudah ada pegawai khusus bidang perpustakaan, dan mahasiswa pun sering berada di sana. Perpustakaan dapat menjadi ruang tunggu bagi mahasiswa yang ingin menjumpai dosen pembimbing mereka di kantor jurusan tersebut. Sudah tersedia pula fasilitasi internet dan wi-fi sehingga sangat memudahkan bagi mereka yang ingin mencari bahan kuliah atau skripsi.

Perpustakaan menjadi teman baikku. Saat menjadi remaja mesjid Al-Makmur, aku berkenalan dengan sebuah buku yang menjadi "kitab suci:" para pustakawan. Sebuah petunjuk mengenai kode perpustakaan. Lengkap di dalamnya. Aku juga memnggunakan buku ini ketika dipercaya mengurusi perpustakaan mushalla kampus dulu.

Kedekatanku dengan perpustakaan setali tiga uang dengan toko buku. Sejak kecil, lantaran banyak buku pelajaran yang harus dibeli, aku sering diantar oleh ayahku ke toko buku. Dari toko buku berisi buku-buku agama seperti Taufiqiyah, Amanah, sampai toko buku populer seperti Zikra dan Effendi Book Store yang kini malah sudah pindah lokasi atau malah tutup sama sekali. Kadang-kadang kupikir lebih menyenangkan bisa membeli buku dan membawanya pulang ke rumah. Barangkali lebih dari perasaan gembira seorang pemuda berhasil mengajak kencan seorang gadis. (Haha, nggak segitunya juga, kali).

Buku-buku yang sering mampir dan bertukar dengan lembaran rupiah di sakuku di antaranya buku-buku seputar pendidikan/agama, manajemen, kisah sukses/enterpreneur dan buku-buku how to. Kadang-kadang uang saku habis untuk membeli buku. Jika sebagian orang menghabiskan untuk jajan di kantin, maka aku lebih suka membeli buku. Atau mampir di kios-kios majalah di seputaran Peunayong.

Kini aku mengagendakan pergi ke toko buku setiap kali aku ingin mencari semangat baru. Dengan era teknologi dan jejaring sosial seperti saat ini, sebenarnya banyak buku bisa diperoleh secara online, namun tetap saja kepuasan tak tertandingi bisa membaca buku, meski hanya menumpang baca di perpustakaan ataupun toko buku. Bagiku kedua tempat itu tak pernah sepi, meski krisis ekonomi melanda.

Aku, buku, perpustakaan dan toko buku adalah sebuah kisah cinta segiempat. Asmara yang sepertinya tidak bakal habis. Buku adalah pemberi semangat kala ia lengah. Atau pembuat terjaga kala bara itu terlelap. Tidak jarang lewat buku kita bertemu teman. Atau bertemu dengan pengarangnya langsung, untuk meminta tanda tangan sang pengarang.

Itulah kisah cinta segitiga antara aku, buku, perpustakaan dan toko buku. Dengan setumpuk buku di lemari, aku tetap membangun mimpi membuat sebuah taman bacaan. Terkadang merasa iri juga pada teman yang saat ini sudah memilik ratusan koleksi buku. Iri yang positi tentunya. Semoga dapat segera terwujud. 
Aamiin-kan ya, Pemirsa...

^_^

Artikel keren lainnya:

3 Tanggapan untuk "Kisah Cinta Segiempat Antara Aku, Buku, Perpustakaan dan Toko Buku"

  1. Kirain postingan baru, rupanya punya lama, baru nyadar setelah habis baca, hahaaa..
    btw, color background-nya berubah terus ya, hihiii...

    ReplyDelete
  2. cut nyanya: trims yaa:)

    Kak Fardelyn: lagi nyari ide kakak, siapa tau dapat habis bagiin postingan lamaa... hihi

    ReplyDelete