Waktu menunjukkan pukul 5 sore di mana anak-anak asrama baru saja selesai shalat berjama'ah. Kami tidak sempat ikut berjama'ah. Selesai shalat, sambil menunggu yang lainnya selesai shalat aku duduk di seputaran halaman mesjid sambil menulis bait-bait ini. Tidak seperti biasanya, aku menuliskannya di atas setengah lembar kwarto bekas pakai. Ada ruang kosong di baliknya jadi lumayan. Mungkin nanti malam akan aku pindahkan ke blog-ku.
Di rumah mertuanya adik, aku melihat sebuah artikel Kompas, bertanggal sekitar tahun 2007-2009 -- aku tidak begitu ingat. Tentang kisah perjalanan Nyak Mu seorang penenun sutera. Ibu mertua adikku, Ibu Dahlia adalah penerus karya-karya ibunya, Nyak Mu, yang berjasa dalam mempopulerkan dan menjaga tradisi tenun tradisional tersebut yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam artikel tersebut disebutkan Nyak Mu pernah dianugerahi Upakarti pada tahun 1991 atas jasa-jasanya dalam melestarikan budaya tradisional Aceh.
Dalam artikel tersebut juga dijelaskan bahwa dulunya ada pabrik yang memproduksi sutera di Aceh dengan adanya peternakan ulat sutera. Namun kini banyak bahan yang harus diimpor dari Cina dan India. Meskipun demikian, setidaknya 25 jenis motif telah diwariskan secara turun temurun. Nyak Mu juga mempopulerkan motif Pinto Aceh yang sering kita temui dalam berbagai event di masa kini.
Penasaran, aku pun menanyakan perihal kliping koran yang dibingkai manis dan dipajang di ruang tamu rumah mertua adikku tersebut. Ibu Dahlia, mertua adikku tidak keberatan menunjukkan beberapa hasil tenunan tersebut. Salah satu-nya -- yang merupakan pesanan seorang Bule -- ditenun dengan motif Rante Meulapeh. Sebuah kain tenun berwarna hitam dengan benang berwarna emas. Katanya mereka akan memajangnya sebagai hiasan dinding.
Ada pula kain tenun berwarna merah dengan motif Delima dan kain tenun lainnya yang berwarna biru. Kedua kain terakhir ini ukurannya tidak selebar kain pesanan si Bule, tapi sering dipakai sebagai hiasan pada mahkota pengantin pria adat Aceh yang disebut Kupiah Meukutop. Semakin lebar kainnya semakin lama pula selesainya. Saat ini Ibu Dahlia mempekerjakan lima orang karyawan untuk menjalankan usaha tersebut. Di masa jayanya, usaha tenun tradisional Aceh ini pernah dapat mempekerjakan 60 orang pekerja.
Setelah pamit, aku kembali mengingat kalimat-kalimat Nyak Mu dalam artikel tersebut. Kalimat yang berisi harapan agar perdamaian yang sudah berjalan di Aceh semoga terbina lestari. Harapan yang tentunya merupakan harapan kita semua, agar dunia usaha dapat kembali berkembang dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat luas. Nyak Mu kini telah tiada, namun semangatnya dalam berkarya dapat diwariskan kepada generasi muda.
Sambil mengetik tulisan tanganku tadi ke blog ini, penelusuran membawaku pada artikel harian Kompas tersebut yang ternyata bertanggal 9 Juni 2006, yang ditampilkan oleh seorang blogger pada link berikut: http://bukan-tokohindonesia.blogspot.com/2009/06/maryamun-nyak-mu-menjaga-tradisi-tenun.html
Kisah lainnya dapat dibaca di sini: http://wartaaceh.com/nyak-mu-menenun-di-tengah-bunyi-tembakan/
Banda Aceh, 07 November 2013
sepertinya saya belum pernah melihat sutra aceh :3
ReplyDeletemaunya kan ada foto kliping koran tersebut juga :D
ReplyDeleteFoto hasil tenunnya gak ada ya bang?
ReplyDeleteWah, padahal kalau diluaskan lagi, ini bisa jadi aset aceh untuk kita jual ke manca negara. syukur-syukur bisa jadi sumber ekonomi baru aceh :D
Yah, tadi asyik gendong bayi ... Iya-iya, lain kali in sya Allah dilengkapi sama foto-fotonya ... :D
ReplyDelete