Bapak Yunus.
Bukan, bukan Muhammad Yunus sang peraih nobel ekonomi. Bukan pula Yus Yunus peyanyi dangdut yang terkenal di era 1990-an. Bapak Yunus adalah seseorang yang lama makan asam garam kehidupan. Dengan tangannya yang cekatan, memainkan sisir dan gunting menjadi penata rambut kenamaan. Di sebuah tempat pangkas bernama Tiga Dara yang terletak di bantaran sungai Krueng Aceh -- berlokasi di dekat asrama Polisi Kuta Alam sekarang.
Dulu, tidak banyak tempat pangkas yang dapat ditemui. Persaingan pun belum sebanyak sekarang. Lantaran jasanya yang selalu digunakan oleh beragam kalangan, maka semua "kepala" mulai dari warga sampai dengan gubernur pernah di bawah "kuasa" beliau. Dengan fasih beliau menceritakan bahwa pernah memangkas rambut pejabat-pejabat di masa dahulu, sebut saja misalnya gubernur Aceh Prof. A. Madjid Ibrahim di antaranya.
* * * * *
Sambil menepikan sepeda kemudian beliau berbincang-bincang menanyakan perihal kabar keluarga tetangga kami. Beliau pernah sangat akrab dengan almarhum tetangga kami yang dulunya pernah menjadi pegawai negeri kemudian menjadi kepala RW di tempat kami. Dengan fasihnya beliau menceritakan bahwa anak-anak dari tetangga kami tersebut yang kini telah sukses di berbagai bidang yang mereka geluti masing-masing.
Saat itu pertemuan kami tidak begitu lama. Beliau menyudahi percakapan setelah memberitahu mengenal juga orang tuaku dan banyak orang dari tempat asal orangtuaku. Beliau tidak jadi berkunjung ke rumah tetangga sebelah kami dan berpamitan karena ingin melanjutkan "safari bersepedanya". Mengangkat tangan dan mengucap salam khas ureung Aceh, beliau pun berpisah pada hari itu.
Beliau masih bisa menyebutkan asal muasal nama rumah sakit yang terletak di sekitar tempat tinggalku. Adalah dr. Zainoel Abidin, seorang dokter yang dulu pernah tinggal di kawasan Blang Oi, sebuah desa yang terletak di jalan menuju Pelabuhan Ulee Lheue. Dengan fasihnya beliau menyebut nama anak-anak dari dr. Zainoel Abidin yang sebagian besar sudah bertugas di luar kota.
Aku juga bisa banyak mendapatkan cerita mengenai kisah Banda Aceh tempo dulu dari Pak Yunus, seperti misalnya kota Banda Aceh yang dahulu pernah disinggahi oleh kereta api. Atau bagaimana beliau melalui profesinya sebagai tukang pangkas bisa memegang kepala orang-orang besar di negeri ini. Mulai dari gubernur ketika itu Bapak A. Madjid Ibrahim sampai dengan mereka yang berjasa di bidang-bidang lainnya.
Aku tiba-tiba jadi merasa kagum pada Pak Yunus, seseorang yang dengan usia yang sudah lanjut namun masih dapat tersenyum lepas, memiliki ingatan yang tajam dan masih berbadan sehat. Beberapa kali menemukan ketiga kombinasi yang menarik tersebut pada orang-orang yang kerap menjaga ritme hidup mereka dengan sangat menarik. Beberapa menuturkan menjaga pergaulan dan silaturahim sebagai kuncinya. Lainnya menambahkan sikap hidup yang tidak ngoyo alias ngotot royo-royo (ini kepanjangan versi saya sendiri ya, hehe) dan tidak lupa pula ibadah seperti shalat di awal waktu dan puasa sunat senin kamis sebagai resep pamungkas awet mudanya. Meskipun tentu saja mesti diniatkan secara ikhlas, lho, ya.
Aku mendengarkan penuturan Pak Yunus dengan seksama sambil menggali cerita-cerita lama yang bagiku menarik juga untuk diketahui. Tahu darimana kita berasal barangkali dan bisa jadi seringkali membantu kita untuk menentukan arah langkah kita ke depan. Bagiku, itulah sisi paling menarik dari sejarah!
Mengenal kota tempat kelahiran melalui tulisan-tulisan adalah kegandrunganku semenjak kecil apalagi jika mengikuti tulisan seorang wartawan senior Alwi Shahab tentang kota Jakarta Tempo Doeloe yang kerap mendapat ruang tersendiri di harian Republika surat kabar langganan keluarga kami.
* * * * *
Seperti biasa, jika beliau sudah mulai bercerita, maka kita akan dapat melihat Pak Yunus sebagai seorang pembicara ulung yang mampu membuat kita betah berlama-lama mendengarkan cerita dari beliau. Di hadapan kami ada sebuah sepeda gunung yang sudah agak tua yang masih sering beliau gunakan. Beliau oleh anaknya tidak diperkenankan lagi membawa motor karena barangkali umur beliau juga yang sudah agak lanjut. Namun masa beliau tiba di Banda Aceh dari kampung halamannya di Aceh Utara pada tahun 1960-an tentu saja menarik rasa ingin tahuku untuk bertanya ini-itu.
Hari itu ternyata tidak lama lantaran aku segera berpamitan lantaran matahari sudah mulai terik dan Pak Yunus pun akan segera bersiap menghadiri sejumlah undangan walimahan. Tentu saja akan lebih menarik sepertinya jika aku membawa catatan sepertinya dengan sejumlah pertanyaan yang kusiapkan.
Di masa di mana persaingan individu mulai seakan menjadi budaya, ketulusan persahabatan seolah menjadi sesuatu yang tidak lagi lazim ditemui. Di sini, Pak Yunus memberi banyak inspirasi untuk senantiasa menjalin silaturahim serta hubungan baik dengan sesama dalam memberi arti dalam hidup yang sejatinya hanya sementara ini.
Kesenangan memang dapat dicari, namun kebahagiaan saat mencarinyalah yang sejatinya lebih kekal dan lestari.
Banda Aceh, 9 Januari 2014
Pukul 22.30
Sebelum nya salam kenal ya, Fariz Alfa Blogger dari Bukittinggi, Sumatra Barat. :D
ReplyDeletebtw, ini fiksi atau kenyataan.. rada bingung ngebaca nya. hehe
Tapi, aku setuju banget ama quote yang terakhir "Kesenangan memang dapat dicari, namun kebahagiaan saat mencarinyalah yang sejatinya lebih kekal dan lestari."
salam kenal juga fariz. ini pengalaman yang saya tuliskan. boleh di-sharing dong bagian mana yang jadi fokus bingungnya supaya bisa saya perbaiki ke depannya ya, terima kasih... :-)
ReplyDelete