Di sudut dapur rumah saya terduduk manis dua keranjang sampah. Yang satu bertuliskan sampah basah dan satunya lagi bertuliskan sampah kering. Setiap hari kami membuang sampah basah seperti sisa dapur; potongan sayur-mayur, tulang ikan ke dalam tong bertuliskan "sampah basah". Selanjutnya sampah kering seperti kertas, tissue mampir ke tong yang satunya lagi yang bertuliskan "sampah kering".
Mulanya saya melalukan ini spontanitas saja. Tanpa harus mengadakan rapat keluarga terlebih dahulu untuk bersosialisasi. Sebelumnya kami sudah pernah mencoba untuk meletakkan tempat sampah untuk sampah kering di luar pintu dapur dan tempat sampah untuk sampah basah di dapur (bawah tempat cuci piring). Nyatanya lantaran kebiasaannya sampah selalu dibuang ke bawah tempat cuci piring, jadilah kedua jenis sampah itu masih bercampur.
Nah, atas dasar "masa percobaan yang belum begitu berhasil" itulah saya berinisiatif untuk menggandengkan kedua tempat sampah untuk dua jenis sampah yang berbeda itu di satu tempat, yaitu di bawah tempat cuci piring. Di kolong wastafel itulah keduanya duduk manis saling berpasangan mesra untuk membantu kami memisahkan sampah basah dan sampah kering.
Setidaknya ada hal yang bisa kita lakukan walaupun itu kecil, ya, kan?
Saya kemudian teringat sebuah pesan dari Dik Doank, presenter sepakbola favorit saya yang saat ini telah mengurangi banyak aktivitas keartisannya dalam rangka memberikan sumbangsih bagi kemaslahatan bersama. Dalam suatu deklarasi sebuah program sosial, Dik Doank mengatakan bahwa tidak ada gunanya atau omong kosong apabila seseorang mengaku ingin membangun bangsa, membangun negara kalau halaman depan rumahnya sendiri tidak pernah diurusinya.
Yah, walaupun kecil, setidaknya apa yang kami lakukan sudah membantu abang pekerja pengangkut sampah yang setiap hari mengambil sampah yang kami gantungkan di depan rumah kami.
Ngomong-ngomong soal pengelolaan sampah ini, kami senang bahwa di kota kami Banda Aceh telah banyak perbaikan dalam hal pengelolaan kebersihan. Meskipun demikian dari sebuah artikel yang saya baca, ternyata pemanfaatan sampah menjadi bahan daur ulang yang bisa kembali dipergunakan masih sangat sedikit digarap di sini.
Saya pernah bertanya kepada Kakak, bagaimana sampah dikelola di negara tempat Kakak pernah menimba ilmu yaitu di negeri Kangguru, Australia. Selama dua tahun menimba ilmu di sana, Kakak pernah tinggal bersama-sama dengan keluarga dari India juga. Kadang aku bermimpi untuk bisa tinggal dan belajar di luar negeri. Kenapa jadi curhat colongan begini, oh-uh-oh.
Pemirsa! Hehe, gaya Tukul ini saya bawakan...
Nah, kembali ke laptop eh pertanyaan saya kepada Kakak tentang pengelolaan sampah di Aussie. Di sana petugas pengambil sampah tidak hanya memiliki jadwal teratur untuk mengambil sampah, namun sampah jenis apa yang diambil juga mesti diatur. Di Australia, ada hari-hari tertentu untuk sampah rumah tangga, ada hari tertentu untuk sampah kotak kertas dan kardus, dan seterusnya.
Saya berpikir, dengan penataan sampah di kota Banda Aceh yang mulai tertib, tidak ada salahnya penataan semacam itu dilakukan. Tentunya hal tersebut akan memberi banyak kemudahan. Meskipun sampah hanyalah sebuah kata dalam kamus bahasa Indonesia, namun tidak dapat dipungkiri ketika usaha daur ulang dilakukan, ada banyak produk yang bisa "terlahir kembali". Dengan segenap kreativitas yang kita punya, sampah bisa menjadi banyak sekali barang atau produk yang menarik, lucu dan menawan.
Anda tertarik untuk mewujudkan mimpi ini? Mari kita mulai dari yang hal-hal kecil, dari diri sendiri dan saat ini juga.
blog.utc.edu
Banda Aceh, 19 Februari 2014
Belum ada tanggapan untuk "Memisahkan Sampah Basah dan Sampah Kering"
Post a Comment