Catatan harian edisi Sabtu ini berpetualang ke masa-masa ketika saya masih kelas 1 MIN. Tadi pagi juga baru saja "bermain-main" ke sekolah MAN Model Banda Aceh di mana diselenggarakan sebuah kegiatan alumni dan saya sempat melewati MIN Banda Aceh penuh kenangan tersebut.
Ya, saya cukup sering menjadi langganan juara kelas, meski di kelas 4 dan 5 sempat tidak menjadi rangking 1. Kakak, masih terekam dalam memori ketika beliau membacakan soal-soal pengayaan (isian) ataupun chocie (pilihan) yang terdapat pada textbook manakala masa persiapan ujian tiba. Alhamdulillah hasilnya pun sangat memuaskan. Meskipun hingga kelas 4 MIN saya masih dikenal para guru dengan tulisan cakar ayam alias tidak sedap dibaca.
Suatu ketika saya dipanggil ke depan kelas oleh guru bahasa Indonesia saat masih kelas 4 MIN. "Azhar, kamu pandai. Kayak Pak Harto. Itu Ibu Tien kamu." (kemudian beliau menunjuk juara kelas kami). "Tapi tulisan kami tidak boleh begini terus."
Sepulangnya ke rumah, Mamak kemudian memberi buku-buku catatan Kakak yang masih cukup rapi tersimpan dalam lemari. Saya disuruh meniru tulisan kakak di buku tulis lainnya. Saya juga waktu itu sempat belajar untuk menyalin teks lagu dari sebuah kaset yang dipinjam oleh Kakak dari temannya. Saya suka lagu-lagu plesetany lucu Padhyangan Project di kaset tersebut, jadi saya menuliskannya di sebuah buku tulis kosong.
Di kelas 5 MIN saya mulai menulis opini satu setengah halaman buku tulis. Mulanya satu judul, lalu bertambah menjadi beberapa judul. Saat itu kami berlangganan Republika dan abang saya sangat suka bicara masalah politik. Jadinya di buku tulis kosong itu saya menuliskan beberapa hal mengenai politik dan sekitarnya. Judul yang saya ingat waktu itu tentang Perda Miras yang hangat dibahas di publik. Abang saya juga sangat suka membahas masalah politik, waktu itu belum reformasi tapi abang saya suka berdiskusi.
Di kelas 5 itu juga saya memenuhkan sebuah buku tulis dengan menyalin utuh (copy the master) kisah-kisah teladan dari Kitab Durratun Nasihin. Meski tidak mengetahui apakah cerita-cerita tersebut memiliki riwayat yang shahih, namun banyak kisah pelajaran di dalamnya. Termasuk kisah Barsisha yang sangat shaleh namun di akhir hayatnya hancur seluruh amalannya oleh karena rasa angkuh. Di samping menulis saya pun kadang menggambar ilustrasi untuk menghiasinya.
Saat pelatihan di Inaugurasi FLP Aceh kemarin, Bang Rh. Fitriadi memang sempat menyebut bahwa salh satu hambatan menulis adalah "pencitraan" yang tertanam semenjak pendidikan dasar bahwa menulis itu identik dengan tiga hal: 1) menulis adalah menyalin apa yang dibacakan oleh guru (baca: dikte), 2) menulis adalah menyalin apa yang dituliskan di papan tulis, dan 3) menulis adalah memindahkan jawaban dari textbook ke buku tulis. Ketiga "pencitraan" tentang menulis tersebut telah menjauhkan esensi dasar menulis sebagai proses kreativitas menuangkan ide.
Masa-masa menulis penuh satu buku lainnya pernah saya lakukan setelah sebuah musibah yang nyaris merenggut nyawa saya di sebuah kuala di Lampuuk pada 26 Agustus 2001 silam. Saya tenggelam dan tertolong hingga dirawat inap di rumah sakit selama lima hari. Saya meminta dibelikan buku tulis 30 lemar yang tipis saja dan saya berhasil memenuhkannya sebelum keluar dari rumah sakit. Sayang saya lupa menyimpannya di mana. Saya menuliskan atas permintaan seorang kerabat yaitu Makcek saya.
Ah, ya, saya lupa di masa-masa Tsanawiyah juga memiliki kebiasaan menulis buku harian. Serius? Ya, iya lah masa ya iya dong. Masa-masa Tsanawiyah yang penuh dengan huru-hara. Masa-masa pencarian jati diri, lalu konflik di masa demo massa menuntut referendum tahun 1999-2000 juga mewarnai. Saya ingat sempat akit demam dan labi-labi serta semua toko di pasar mogok 2 hari berturut-turut. Sangat sulit mencari makanan ringan walau hanya penjual roti. Padahal saya tinggal di ibukota provinsi di Banda Aceh.
Menulis harian juga semakin seru karena guru Bahasa Indonesia kami pandai memotivasi danmemberi tugas-tugas menarik untuk mendorong kemampuan berbahasa dan sastra kami. Di perpustakaan MTsN 1 Banda Aceh juga banyak terdapat buku-buku sastra yang wajib dipelajari seperti Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal van Der Wijk dan sebagainya. Waktu itulah mulai suka dengan sastra dan juga diajak oleh teman-teman menjadi pengurus majalah dinding.
Oh iya, saya akan lengkapi catatan hari ini dengan "sejarah" pertama kali mengenal internet. Naik Damri bersama beberapa orang teman, kami "mendarat" di sebuah warnet di simpang galon Darussalam. Kalau tidak salah nama warnet-nya Arafah. Saat itu teman-teman mengajari cara membuka e-mail. Saat itu seingat saya masih duduk di kelas 1 MAN. Baru pertama kali membuka internet.
Sekian.
Banda Aceh, 26 April 2014
Belum ada tanggapan untuk "Belajar Tulis Baca di Zaman Baheula"
Post a Comment