Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam Dan siang menjadi tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang memiliki mata hati. (Yaitu) orang-orang yang berdzikir mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring serta mereka senantiasa memikirkan penciptaan langit dan bumi seraya berkata "Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dalam keadaan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka lindungilah kami dari siksa api neraka."
(Q.S. Ali 'Imran: 190-191)
Hanya atas kasih-Nya.
Hanya atas kehendak-Nya.
Kita masih bertemu matahari.
(Ebiet G. Ade)
Alunan lagu dari salah satu penyanyi favoritku itu mengalun indah dalam gumamanku. Sebuah memori pada hari ini tepat 13 tahun yang lalu menjadi kenangan yang tersaji. Pada hari Ahad itu aku bersama teman-teman rohis Remaja Dakwah MAN 1 Banda Aceh bertafakkur alam ke Pantai Lampuuk, Aceh Besar. Seorang kakak leting memeluk erat sahabat akhwatnya menjelang bus kami berangkat. Aku tertawa kecil menyaksikan pemandangan itu yang menurutku tidak lazim itu. Sang Kakak seolah lama tidak bertemu. Tidak ada firasat buruk apapun pada hari itu.
Siang hari, selepas makan siang bersama kami menuju ke tepi sebuah kuala. Di bawah rindangnya pohon pinus itu seorang instruktur memimpin sesi simulasi. Dalam sesi yang diisi dengan games tersebut panitia membagi peserta ke dalam beberapa kelompok. Seorang temanku dan aku dimintai menjadi pemandu meski kami tak pernah mendapat pengarahan tentang games tersebut sebelumnya.
Aku dan temanku menyimak arahan tersebut dengan seksama. Aku tidak begitu jelas tentang bagaimana permainan itu dijalankan. Inti dari tugas kami adalah berlari secepat mungkin menyusuri tepi kuala agar tidak keduluan sampai oleh peserta. Begitu temanku mengangguk tanda paham, aku pun merasa tak perlu bertanya lagi.
Tak lama peserta sudah mulai saling bertanding. Aku tak begitu ingat jenis permainan apa yang dimainkan. Yang aku ingat masing-masing kelompok peserta harus sampai di finish tanpa kebasahan. Itu saja.
Temanku melihat para peserta sudah mulai bergerak memberi aba-aba kepadaku untuk mengikutinya. Ia menceburkan diri ke dalam kuala yang tenang itu. Aku yang masih dalam kebingungan perlahan mengikutinya sambil berpikir bahwa kuala itu dangkal semata.
Ketika mulai sampai di tengah barulah aku merasa perairan itu tidak sedangkal yang aku kira. Aku mulai terasa seperti botol minuman plastik yang setengah Isi yang dilempar lalu mengapung lagi. Tapi hanya sesaat aku rasakan sensasi itu.
Aku tak pernah belajar berenang! Sesaat rasa panikku muncul. Berusaha mencari sesuatu untuk berpegang tapi hanya ada rerumputan atau dedaunan kering yang menghampiri. Dalam kalut itu aku memberi isyarat kepada seorang teman yang menyaksikan aku dari jauh. Namun ia hanya dapat menyaksikan lantaran juga tidak pandai berenang.
Syahadat. Dua kali sudah aku memasrahkan diri lalu tenggelam dalam kuala yang dalam. Sesekali aku melihat temanku yang telah berenang lebih dulu. Ia hampir sampai di tujuan. Tepi kuala di seberang pandangan yang rindang dipenuhi pepohonan pinus. Sementara aku sedang berjuang untuk bisa sampai lantaran hanya punya satu gaya untuk berenang: gaya batu!
Aku kehilangan kesadaran lalu tenggelam. Seingatku sempat beberapa kali tersadar. Salah satunya ketika temanku kembali menceburkan diri ke kuala itu untuk mengajakku terus berjuang. Tidak banyak cerita yang bisa aku bagikan. Hanya saat itu temanku bercerita ketika aku sampai di tepi pantai wajahku pucat dan jari-jariku telah membiru.
Secepat mungkin supir Damri mengantarkan aku ke rumah sakit. Yang terdekat saat itu di RS Malahayati. Dalam perjalanan aku sempat tersadar ketika supir menanyakan alamat rumahku. Di Rumah sakit itu entah benar penglihatanku atau karena masih kepayahan aku melihat dua dokter atau paramedis yang sangat mirip satu sama lain.
Mungkin karena hari Ahad tak banyak dokter ataupun tidak ada dokter maka suasana rumah sakit sangat sepi. Aku pun sepertinya hanya merasakan rasa asin akibat terlalu banyak menelan air laut. Aku masih sering terlelap pulas dan tak lama kemudian ambulans membawaku ke RSU Dr. Zainoel Abidin.
Aku tersadar sejenak dan saat aku membuka mataku di hadapanku ada sebuah senyuman. Senyuman dari Mamak. Lalu di samping beliau ada beberapa orang teman-temanku. Aku rasa waktu sudah petang hari. Aku kembali terlelap tapi rasanya sudah lebih baik. Saat kembali terjaga seorang temanku bersama ibunya sedang menjenguk tepat saat aku shalat maghrib. Lalu aku kembali lelap.
Saat terjaga kemudian Kakak dan Abangku yang berada di samping. Mereka menemaniku sambil memberiku semangat. Hari itu hari Ahad dan dokter spesialis penyakit dalam baru datang keesokan paginya. Malam itu aku tidur bersama selang kapiler yang dimasukkan ke paru-paruku untuk memastikan tidak tersisa air laut di dalamnya. Aku juga tidak boleh minum air kecuali beberapa sendok saja. Aku tak ingat apakah Aku diizinkan makan.
Dengan segala keterbatasan sarana dan dokter ketika itu, aku baru dapat menjalani rontgen Senin siangnya serta elektrokardiogram atau pengecekan kondisi jantung pada hari Selasa. Ada banyak saudara dan teman yang berkunjung ketika itu dan para perawat yang sangat bersahabat.
Di antara para pengunjung tersebut ada banyak semangat yang dihadirkan. Salahsatunya adalah dari seorang sahabat sepupuku yang secara kebetulan sedang menjenguk sepupuku yang juga sedang dirawat di rumah sakit tersebut. Ia bercerita bahwa ia pernah jatuh ke dalam sumur dan mengkhatamkan tiga kali ayat kursi. Tak lama kemudian istrinya bersandar ke arahnya mesra. Duh, meleleh dibuatnya. Hehehe ...
Yang membuat istimewa adalah beberapa tahun kemudian beliau mendapat amanah yang sangat besar untuk memimpin daerah kami. Mungkin jika saat itu beliau sudah berjabatan tinggi tidaklah sempat berkunjung apalagi berbagi cerita ya? Wallahu a'lam.
Hari Jum'at pagi setelah sehari sebelumnya bertemu dengan para dokter, menjalani elektrokardiogram sekali lagi dan diperintahkan membuka selang oksigen, aku diizinkan pulang ke rumah. Atas saran seorang Makcik, aku sempat dibelikan sebuah buku tulis tipis 30-an lembar lalu memenuhkan semuanya dengan tulisan tentang kisahku selamat dari peristiwa nahas tersebut selama masa perawatan. Juga sebuah "surat cinta" kepada para perawat tanda terima kasih atas ketelatenan mereka mengurusku selama 4 hari 5 malam di rumah sakit. (Sayangnya buku tersebut tidak diketahui lagi rimbanya)
Kini, 13 tahun setelah itu aku kembali memperingati suatu hari di mana aku pernah menyerah, berpasrah. Hari di mana aku bisa menjadikannya sebuah pelajaran yang mungkin bisa jauh lebih berharga dari permata.
Barangkali juga sebuah puisi telah lahir untuk peristiwa itu ketika beberapa tahun kemudian aku membaca puisi bertanggal lahir sama dengan peristiwa itu. Sebuah puisi yang dilahirkan di kota yang sama dengan kotaku. Puisi nasehat akan runtuhnya sebuah kesombongan (puisi tersebut dimuat di sebuah majalah Islami).
Banda Aceh, 26 Agustus 2014
Pukul 22.24
Disunting seperlunya pada 28 Agustus 2014
sebuah reflesi bg yaaa...
ReplyDeleteterharu :D
aku jadi ingat beberapa peristiwa yang pernah tejadi dalam hidupku dan membuatku berpikir bahwa apa yang terjadi di masa lalu, yang menyisakan bekas luka dan jahitan di badan ini. itu sebuah peringatan bahwa saya harus menjalani hidup saya lebih berhati-hati dan lebih baik. Sebuah peringatan bahwa saya bisa berpulang kapan saja dengan jalan yang tidak pernah saya sangka-sangka..
ReplyDeleteIya Mursal dan Mas Goiq. Sebuah catatan untuk diri senfiri semoga dapat bermanfaat kiranya. Terima lasih telah berkunjung. Lama nian tak menulis Di blog dan blogwalking ;)
ReplyDelete