Sedang asyik facebook-an ceritanya. Tau-tau dari ujung gagang telepon, eh, salah, dari layar chatting seorang teman menyapa.
Waktu menunjukkan pukul 18.35.
Jadi pemateri di Radio Harmoni mau? (nama Radio sengaja saya samarkan)
Hah, aku terkejut. Iya, lah. Belum pernah temanku ini chating langsung to de point begitu ... Lantaran sudah pernah beberapa kali mendengar siarannya, yang seringkali menghadirkan pemateri dari kalangan Ustadz/Ustadzah, aku pun menjawab. Setengah to de point juga.
Materi apa? Masalah agama? Jangan saya, saya basic-nya ekonomi :-)
(Materinya) motivasi. Ada rekomendasi?
Dari siapa?
Maksud saya Abang punya rekomendasi yang lain selain Abang?
Ooo, siapa yah. Ada. Namanya Azhar Ilyas. Hehe.
Ooo, siapa yah. Ada. Namanya Azhar Ilyas. Hehe.
Jawabku mengasal karena bingung juga dalam waktu singkat begitu untuk meminta kesediaan seseorang untuk mengisi acara. Kecuali kenal dekat, atau lebih bagus lagi masih keluarga. Timbangku.
Lalu setelah basa-basi dan bingung mencari sejumlah nama, akhirnya kusanggupi juga.
Selepas maghrib temanku menjemputku ke studio. Selepas shalat 'Isya berjama'ah, aku mulai mencorat-coret kertas yang kubawa. Juga sebuah buku berjudul "Yakinlah, Dosa Pasti Diampuni" karangan Dr. 'Aidh Abdullah Al-Qarni, pengarang buku La Tahzan. Kupikir, karena acara ini bertema motivasi bakal banyak hal yang bisa dibagikan untuk itu.
Pemirsa, buatku tampil di hadapan publik bukanlah hal yang mudah. Meskipun dalam riwayat curriculum vitae hidupku tampil di publik bukanlah kali yang pertama, tetap saja rasa gugup selalu mewarnai detik-detik menjelang tampil. Kesempatan-kesempatan yang kuperoleh saat menjadi guru mengaji di TPQ ataupun saat memimpin rapat di rohis. Terlebih, aku sudah lama tak menggeluti kesibukan tersebut selepas lulus kuliah.
Mungkin itu maksud Mario Teguh bahwa hal yang paling berat setelah mati adalah berbicara di depan umum. Soalnya biasanya seseorang kalau disuruh menjadi pembicara langsung berujar, "Mati aku!"
:-)
Dan siaran pertama itu pun dimulai. Eh, nggak kali pertama juga, ding. Ini kali kedua aku tampil di radio setelah yang pertama kalinya masuk final ikut kuis lebaran (kalau nggak salah, udah lupa sih, udah lama banget soalnya). Radio-nya pun udah nggak siaran lagi karena sepertinya dulu merupakan project pemerintah. Soalnya gedungnya pun nebeng di sebuah aula kantor pemerintah.
Setelah temanku sang penyiar ini membuka acara dan memutar beberapa lagu nasyid, aku pun bercakap sejenak dengannya. Si penyiar bercerita tentang gambaran umum mengenai acara. Aku menulis beberapa "resep" kecil untuk kubawakan sebagai pembuka. Resep ini dulu pernah berhasil dengan materi yang sama, ketika untuk pertama kalinya aku membawakan kuliah tujuh menit ba'da shalat dhuhur di mushalla kampus. Selama kuliah, aku juga sempat aktif di Lembaga Dakwah Kampus.
Tededeng ...
Tibalah saat presentasi. Selepas mukaddimah, aku dengan terbata-bata mencoba merangkai kalimat. Tidak terbayangkan sebelumnya kegugupan yang melanda. Ya, ternyata tak semudah yang dibayangkan saat rasa gugup itu kembali menyerang. Dan "resep kecil" itu pun berubah menjadi bumerang ketika semua yang ada di pikiranku mendadak hilang.
Duh, kenapa jadi begini, ya?
Temanku sang penyiar cepat membaca situasi. Dia memberikan beberapa pertanyaan untuk mencairkan suasana. Namun lantaran aku masih saja terbata-bata, sesi nasyd pun kembali diputar.
Semula aku datang ke studio Radio tersebut dengan keyakinan, bahwa meskipun sudah lama tidak berbicara di muka umum, aku akan menggunakan kesempatan ini untuk sebanyak-banyaknya belajar. Malah semula aku ingin meminta jadi penyiar saja. Tapi itu tidak mungkin, lantaran ini adalah acara yang diasuh oleh temanku sebagai penyiarnya.
Lalu, jadilah sesi pemutaran nasyid kedua sebagai acara bincang-bincang antara kami berdua. Bahkan menghabiskan waktu belasan menit hanya untuk sekedar pemutaran nasyid! Sesuatu hal yang tidak biasa untuk acara tersebut.
Namun setelah "briefing" itu aku lantas menyadari beberapa kesalahan besar yang kubuat. Aku menyimpan buku dan catatan kecil yang kupersiapkan tadi. Lalu mulai merangkai kata, menikmati detik demi detik siaran pertamaku itu dengan lebih tenang. Hasilnya Alhamdulillah lebih baik dari sebelumnya. Setidaknya, aku tidak segugup tadi.
Demikian pula saat sesi telepon, kami menerima seorang penelepon dan aku pun mencoba menjawab semampuku. Berbekal sedikit wawasan yang pernah kudapat dalam bacaan ataupun perkuliahanku yang tak jauh-jauh dari bidang pengembangan diri: ilmu manajemen. Memang, seharusnya untuk menjadi pemateri dalam acara psikologi semacam ini dibutuhkan seseorang yang berpengalaman. Namun aku bersyukur juga bisa memperoleh kesempatan langka tersebut. Sekaligus belajar menghargai profesi seorang pembicara dan juga seorang konselor.
Dalam bincang-bincangku di sela pemutaran nasyid tersebut, temanku membagi pengalamannya sebagai seorang trainer. Dia pernah menjadi trainer untuk sebuah sekolah favorit di kita Lhokseumawe. Saat itu seorang siswa menangis terisak-isak curhat bahwa ia sedang mengalami masalah dengan orang tuanya. Padahal sebelumnya ia belum pernah menceritakan hal tersebut pada siapapun juga. Lalu temanku, masih dalam acara pelatihan tersebut meminta siswa tersebut menelepon dan menyapa orang tuanya. Meminta maaf atas segala kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat. Alhamdulillah, melalui acara tersebut, siswa tadi dapat membangun kembali komunikasi dengan orang tuanya. Sesuatu yang menjadi jawaban atas segala keresahannya selama ini.
Temanku juga bercerita, pernah suatu ketika ada seseorang yang pernah terjerumus ke dalam kenistaan. Lalu ia menelepon ke sesi acara yang diasuhnya itu. Curhat, menyesali segala kesalahan yang diperbuatnya. Setelah telepon tersebut, banyak sekali pendengar yang ingin menyumbang perlengkapan shalat untuk penelepon tadi. Keesokan harinya studio tersebut dibanjiri oleh bingkisan berisi perlengkapan untuk ibadah. Sebuah kisah yang mengharukan. Aku tidak menyangka ternyata acara yang sedang kuikuti tadi begitu berkesan bagi orang-orang yang pernah mendengarnya. Sehingga bahkan dapat menjadi jalan taubat bagi mereka yang mendengarnya.
Siaran pun selesai. Aku merasakan dinginnya udara malam itu sepanjang perjalanan pulang, lantaran selama kami siaran ternyata hujan turun dengan derasnya. Namun hujan tidak terdengar dari kamar studio tempat kami siaran yang tertutup rapat.
Malam itu aku belajar banyak hal. Aku bersyukur bisa memperoleh banyak hal baru karena aku sudah berani untuk mencobanya. Semoga bermanfaat untuk hari esok.
Banda Aceh, 04 Oktober 2013
Pukul 15.55
Abang tau.... Radio lalala kan ya?
ReplyDeletemungkin, bisa jadi, hehe ...
Delete