Beberapa hari yang lalu saya telah menuliskan catatan harian dengan tema yang masih berhubungan. Di hari Minggu saya menulis "Why So Serious?" berkaitan dengan fenomena maraknya pemberitaan hoax di masa Pemilu. Kemarin saya menulis "The Hoax Effect" yang menjabarkan beberapa kiat untuk mencegah meluasnya pemberitaan palsu (hoax). Kali ini saya ingin menuliskan tentang dampak positif dan negatif dari media sosial.
Teknologi ibarat pisau yang dapat bermanfaat namun juga dapat merugikan bila disalahgunakan. Demikian pula sosial media. Dengan kemudahan akses internet yang bahkan telah menjangkau pelosok desa, informasi kini telah dapat disebarluaskan dan diakses dengan mudah. Social media merupakan sarana
eletronic word of mouth marketing yang dapat menyebarluaskan informasi secara berantai dalam durasi waktu yang relatif sangat singkat.
Kebebasan berpendapat yang semakin mendapat ruang setelah era reformasi juga menyebabkan social media semakin digandrungi. Kementerian Komunikasi dan Informatika merilis data pengguna internet di Indonesia adalah sebanyak 63 juta orang, di mana 95 persen dari jumlah tersebut merupakan pengguna jejaring sosial. Penduduk Indonesia menempati peringkat keempat pengguna facebook terbesar, dan peringkat kelima pengguna twitter dari seluruh negara di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa bersosial media telah menjadi kebiasaan yang mengakar pada masyarakat Indonesia.
Pada rubrik Dialog Jum'at, suplemen terbitan Republika edisi Jum'at 11 April 2014 yang lalu mengangkat tema "Arif di Media Sosial". Ada beberapa pertanyaan yang patut direnungkan terkait dengan kebiasaan kita sehari-hari dalam bersosial media:
Apakah kita telah matang dalam pergaulan di dunia nyata sebelum memperluas pergaulan dengan media sosial?
Terutama dalam hubungan dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Keterampilan membangun komunikasi dengan orang-orang terdekat dapat sangat membantu manakala seseorang mengalami masalah dengan pergaulan di dunia mayanya.
Salah satu dampak buruk dari media sosial adalah adanya sekelompok orang yang memanfaatkan media sosial untuk mem-bully orang lain, atau dikenal dengan
cyber bullying. Menurut psikolog Universitas Islam Indonesia (UII) FUad Nashori, korban cyber bullying ini bisa merasa ia dikepung oleh ribuan orang atau bahkan semua orang di dunia ini menghujatnya.
Fuad melanjutkan, sebagai dampak dari kegiatan cyber bullying tersebut, korban bisa saja terlarut dalam depresi bahkan merasa hidupnya menjadi tidak berharga lagi. Bahkan korban bisa saja berpikir untuk bunuh diri. Media sosial dapat menjadi masalah apabila seseorang tidak memiliki kompetensi dalam kehidupan sosial sehingga menjadikan kehidupan social medianya sebagai pelarian semata.
Fuad melanjutkan, seseorang bisa dikatakan siap secara emosional untuk memasuki pergaulan dunia maya manakala ia mampu mengontrol dan mengendalikan diri ketika bergaul di dunia maya. Orang yang mampu menjaga keseimbangan antara pergaulan dunia nyata
dan dunia maya akan lebih berpeluang untuk berhasil dalam memperoleh manfaat baik bersosial media.
Apakah kita menyadari bahwa pergaulan di dunia maya ada etikanya, seperti halnya dunia nyata?
Lha, ini cuma di facebook
aja, pun? Benarkah demikian?
Seorang teman pernah menceritakan bagaimana ia dihapus dari pertemanan dunia maya hanya karena dianggap berkomentar terlalu sinis. Saat dipertanyakan kembali bagian mana yang dianggap sinis, sang teman menyebut karena komentarnya tidak disisipi "haha" atau "hehe" sehingga terkesan sinis dan menyebabkan akhirnya ia menghapus pertemanan social media-nya.
Kadang kala kita berpikir bahwa di dunia maya merupakan dunia
awang-awang tempat kita melepaskan canda tawa sesuka hati. Celotehan
demi celotehan bisa kita kemukakan dengan bebasnya. Tanpa harus mengerti
suasana hati penerimanya. Meskipun demikian ternyata dunia maya
memiliki aturan atau etikanya. Bahkan dewasa ini telah diberlakukan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE). di mana pelaku yang menyebarluaskan fitnah
di dunia maya dapat dikenai hukuman 7-12 tahun penjara.
Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring mengatakan, pemanfaatan media sosial sebagai alat berkomunikasi mesti dimanfaatkan dengan cara berkomunikasi secara baik dan sopan. Hindari menyinggung orang lain terutama dalam isu agama, ras, suku dan adat istiadat setempat. Tifatul juga menyampaikan sebuah gurindam dua belas yang disampaikan Raja Ali Haji, yaitu:
Siapa yang berkata kasar, banyak orang yang akan gusar.
Siapa yang berkata lembut, banyak orang akan jadi pengikut.
Hal-hal sepele, dari masalah kecil bisa menjadi masalah besar. Peran dunia maya seakan bisa menjadi senjata makan tuan yang tak pernah diharapkan kehadirannya. Maka kehati-hatian atau sikap waspada dalam batas yang sewajarnya juga tetap diperlukan dalam bersosialisasi di dunia maya.
Bagaimanakah kesiapan kita dalam mengendalikan dampak negatif dari interaksi dunia maya?
Adalah fakta bahwa dunia maya saat ini masih dipenuhi oleh beragam
situs-situs yang mengarahkan kepada ketidaksenonohan dan kesesatan. Sebagai pengguna internet dalam hal ini social media, kita diharuskan menjadi pengguna internet yang cerdas dan menjaga norma-norma agama, kesopanan dan budaya. Demikian pula halnya ketika menyebarluaskan keterampilan ber-internet, kita memiliki tanggung jawab untuk saling mengingatkan bahwa internet sebagaimana teknologi lainnya memiliki dampak positif dan negatif.
Kita bisa memanfaatkan internet dan lebih khusus lagi jejaring sosial dalam rangka belajar. Ada banyak sekali situs-situs yang bisa kita manfaatkan dalam rangka mempelajari ilmu dan keterampilan yang bermanfaat dunia dan akhirat.
Banyak motivator yang juga senantiasa berbagi inspirasi dan jadwal kegiatan mereka yang dengan mudah dapat kita ikuti melalui jejaring sosial mereka seperti melalui twitter atau fanpage facebook mereka. Komunitas keterampilan tertentu juga memanfaatkan jejaring sosial untuk saling berbagi dan tidak jarang berlanjut dengan pertemuan di dunia nyata.
Akhirnya, sebagai pengguna social media secara moril kita berkewajiban untuk saling mendorong pemakaian dunia
maya untuk kegiatan-kegiatan positif dan menghindari hal-hal yang
negatif. Kedekatan dengan keluarga, tetangga dan sahabat di dunia nyata dapat menjadi kunci sukses dalam menjaga keseimbangan antara pergaulan di dunia nyata dan dunia maya. Kita juga semestinya menyadari bahwa sama halnya dengan dunia nyata, pergaulan di dunia maya memiliki batas-batas etika yang harus diperhatikan.
Banda Aceh, 15 April 2014
Sumber pendukung:
Ratna Ajeng Tejomukti,
Hitam Putih Media Sosial, Dialog Jumat Republika, 11 April 2014, halaman 2.
Hannan Putra,
Tifatul Sembiring: Gunakan Media Sosial dengan Bijak (wawancara), Dialog Jumat Republika, 11 April 2014, halaman 3.
Belum ada tanggapan untuk "Dunia Maya: Antara Ada dan Tiada"
Post a Comment