Beranda · Wisata · My Extraordinary Life · Menu 2

Di Pesta Pernikahan Keluarga

Sabtu kembali tiba, dan ini adalah waktunya bercerita tentang nostalgia. Nostalgia yang ingin aku bagikan adalah tentang pesta-pesta pernikahan keluarga yang pernah terekam dalam ingatan.

Paling lama, adalah saat aku baru berumur sekitar 3 tahun. Itu adalah pesta pernikahan adik dari Mamakku. Aku masih teringat sekali menangis saat melihat sosok yang sepertinya hampir tidak aku kenali lantaran sudah berbalut make up. Padahal semenjak kecil aku kabarnya selalu dekat dengan adik mamakku lantaran semenjak beliau tinggal di Banda Aceh untuk kuliah beliau tinggal di rumah kami dan waktu itu aku baru saja lahir. Maka tak jarang adik Mamakku memanggilku dengan sebutan "adiknya Cecek".
Selanjutnya adalah pernikahan dari adik Mamakku yang laki-laki, aku masih teringat waktu itu kami menunggu agak lama lantaran istri Pamanku berasal dari Tangse, Pidie. Dengan gagahnya Paman yang  mengenakan pakaian Aceh tersenyum ke arah para undangan dari atas rumah panggung di kampung kami, Indrapuri, Aceh Besar.

Oh iya, ada juga pesta beberapa kakak sepupu yang sepertinya ada juga beberapa yang mendahului paman kami. Usia kakak sepupuku yang paling tua memang tidak terlampau jauh dengan usia paman-paman kami, yang merupakan saudara bungsu dari Mamakku. Jadinya tidak heran juga jika masa pernikahan mereka saling mendahului.

Sebagian besar pesta tersebut berlangsung di rumah kakak dari Mamakku, di desa Lheue, Indrapuri, Aceh Besar. Di rumah tersebut terbagi kepada dua bagian yang saling bergandengan. Ada bagian yang mengikuti rumah model baru dan satu bagian lainnya adalah rumah panggung khas Aceh.

Sementara di hadapannya adalah rumah nenek yang masih menggunakan konstruksi rumah panggung yang sesuai dengan tatanan konvensional. Ada serambi depan dan serambi belakang serta ada tangga untuk tamu di serambi depan dan tangga satunya lagi untuk dapur. Di antara dua serambi ada dua kamar tidur yang memiliki pintu depan dan pintu belakang. Di sebelah tangga selalu ada bak besar untuk mencuci kaki sebelum naik ke rumah panggung. Gambaran dalam rumah ini persis dengan penjelasan mengenai denah Rumoh Aceh yang pernah aku pelajari saat bermain ke Museum Aceh di saat Madrasah Aliyah dulu.

Saat kami kecil, jika esok harinya--biasanya hari Minggu--ada pesta pernikahan, maka kami keluarga besar sudah hadir paling lambat Sabtu sore untuk menginap semalam di rumah nenek. Laki-laki akan tidur di serambi depan dan perempuan tidur di serambi belakang atau sebagian di rumah kakak Mamak. Aku masih teringat akan keramaian panitia masak memasak di bawah rumah panggung milik nenek. Kadang aku ikut turun juga ke bawah menyaksikan keramaian itu, kadang sambil bermain juga dengan adik-adik dan sepupuku.

Pernah suatu ketika, aku sangat lasak. Aku berlari-lari di sekitar ruang tamu rumah Kakak Mamak. Di situ terpasang pelaminan pengantin lengkap dengan "singgasana" pengantin. Saat sedang berkejar-kejaran itulah, tanpa sengaja aku menarik manik-manik yang menggantung di sisi pelaminan. Pamanku kemudian datang untuk membetulkannya.

Di pesta pernikahan keluarga, saat usiaku sekitar 8 tahun aku mendapat kepercayaan untuk menjadi panitia untuk menerima kado dari para undangan. Aku hanya menemani saja kedua sepupuku yang telah dihias cantuk dengan pakaian Aceh. Sepertinya mereka mendapat tugas untuk mengipas-kipas pengantin, namun entah oleh karena pengantinnya belum datang, mereka ikut menjagai buku tamu.

Setelah kadonya mencapai jumlah tertentu kami juga bergantian membawa kadonya naik ke kamar pengantin di rumah panggung. Kemudian seorang kakak sepupuku men-suit-suiti kami seolah-olah kami adalah pasangan yang sangat serasi.

Sekarang semua tokoh dalam ceritaku tersebut sudah melalui pesta pernikahannya sendiri-sendiri. Sudah menikah dan dikaruniani putra-putri yang sangat lucu. Tak kalah lucunya dengan kami sewaktu kami masih kecil. (Narsis detected -- sensor acitvated)

Sekarang setelah beranjak dewasa, saat saudara-saudaraku menikah maka aku tak akan melewatkan peran sebagai panitia undangan. Di samping bisa lebih banyak mengenali saudara, kerabat dan handai taulan dalam rangka silaturahim, aku juga jadi bisa mengetahui cerita-cerita nostalgia kedua orang tuaku di masa lalu. Dan sst, lebih mudah menggali cerita-cerita tersebut saat sedang berkumpul bersama keluarga untuk membahas tamu-tamu yang akan diundang ke walimahan nantinya.

Suatu saat kisah-kisah itu mungkin akan aku ceritakan di sini, mungkin juga tidak. May be yes, may be not! (Hehehe)


 Banda Aceh, 15 Maret 2014

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Di Pesta Pernikahan Keluarga"

Post a Comment