Sabtu, dan ini waktunyaa ... ?
Yup, benar. Cerita nostalgia.
Suatu hari, di masa yang amat lalu. Di masa kecil saya sering kali pulang kampung yang jaraknya tidak begitu jauh. Kira-kira ada dua puluh limaan kilometer.
Indrapuri, adalah kampung tempat Bapak dan Mamak tinggal. Letaknya tidak begitu berjauhan. Indrapuri adalah nama Kecamatan. Bapak dan Mamak sama-sama tinggal di sana. Jika Bapak tinggalnya di Desa Indrapuri--nama yang sama dengan nama kecamatan--maka Mamak tinggal di Desa Lheue. Jaraknya hanya lebih kurang tiga kilometer saja.
Bapak menjalani masa kecil di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Orang tua laki-laki Bapak--kami memanggil beliau Abu Chik, telah meninggal ketika Bapak masih berusia sekitar 10 tahun. Di masa itu kalender belum terlalu mudah ditemukan, tanggal lahir Bapak pun merupakan hasil "karangan" dan jika mengira-ngira maka sekitar dua tahun sebelum proklamasi kemerdekaan.
Di masa kecil selain di Indrapuri, Bapak juga tinggal di Desa Jruek, tempat istri pertama Abu Chik tinggal. Bapak memiliki dua saudara sekandung, seorang abang dan seorang adik. Abang beliau adalah Yah Cek Burhan yang telah meninggal beberapa bulan sebelum tsunami oleh sakit yang beliau derita. Sedangkan adik Bapak adalah Cek Neh yang hingga suaminya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa tidak dianugerahi keturunan.
Ada tiga saudara lagi namun semuanya meninggal saat masih bayi. Aku tidak begitu tahu barangkali kondisi saat itu begitu prihatin. Di samping saudara sekandung, Bapak juga memiliki empat orang saudara seayah. Hanya seorang yang masih ada di tengah-tengah kami yaitu Nyakmu Nurhayati dan hingga kini Bapak masih saling menjalin silaturahim erat dengan beliau.
Sebagian keluarga beliau dipanggil pulang dalam musibah tsunami di rumah beliau yang jaraknya hanya beberapa puluh meter dari Museum Tsunami sekarang. Saat musibah tersebut beliau juga terkurung dalam mobil bersama keluarganya, namun Alhamdulillah beberapa dari mereka selamat.
Bapak melanjutkan sekolah menengah beliau di SMEP dan SMEA di Banda Aceh, sekolah menengah kejuruan ekonomi saat itu. Sambil bersekolah, beliau tinggal di Panti Asuhan Seutui. Di sana beliau diasuh oleh Pak Daud yang sempat pula saya temui saat sebuah acara bakti sosial OSIS saat saya belajar di Madrasah Aliyah.
Saat itu cerita Bapak, karena tidak mendapatkan informasi, teman-teman Bapak banyak yang melamar kerja di Bank. Saat itu ijazah SMEA sudah cukup untuk menjadi jabatan yang bonafid di sebuah bank. Bapak waktu itu pulang kampung membajak sawah dan bekerja serabutan. Bapak juga tidak segan bekerja menjagai warung nasi ketika kecil walaupun dimarahi oleh Paman beliau.
Barulah beberapa tahun kemudian Bapak kembali ke Banda Aceh melanjutkan kuliah sambil bekerja di sebuah BUMN Niaga. Seorang warga Indrapuri yang sudah sukses di Banda Aceh, Pak Rusli nama beliau, yang mengajak Bapak bekerja di sana.
Mamak, memiliki delapan orang saudara. Mamak merupakan anak keempat dari sembilan bersaudara. Saudara pertama adalah laki-laki, yaitu Yahmu. Saudara kedelapan dan kesembilan juga laki-laki. Selain itu semuanya perempuan. Mamak bersekolah hingga SKAA Aisyiyah, setara dengan SMKK saat ini. Saat Mamak menikah dengan Bapak, usia mereka terpaut cukup jauh. Bapak berusia 31 tahun dan Mamak 19 tahun.
Hanya sedikit cerita yang saya peroleh tentang kisah perkenalan Bapak dan Mamak. Bapak dan Mamak melalui masa-masa pertunangan. Mamak pertam kali mengenal Bapak saat masih Tsanawiyah. Saat itu Bapak merupakan seorang guru di sekolah tempat Mamak belajar. Tentu saja di masa itu tidak pernah ada pacar-pacaran seperti anak muda zaman sekarang.
Ada satu cerita yang menarik dari Mamak. Saat masa pertunangan, kala itu diadakan sebuah konser akbar seorang penyanyi kondang yang saat ini digadang-gadang menjadi seorang calon presiden, Rhoma Irama. Jangan membayangkan konser akbar pada masa itu memiliki sound system lengkap seperti saat ini.
Konser itu diadakan di kawasan Jambo Tape--kawasan seputaran jalan protokol besar di Banda Aceh--yang dulunya masih dikelilingi dengan sawah. Kira-kira masa itu barangkali sekitar awal 1970-an, karena Bapak dan Mamak menikah pada tahun 11 April 1976. Mamak pernah bercerita bahwa telah bertunangan semenjak masih duduk di Madrasah Tsanawiyah.
Saat itu Bapak dan Mamak tidak berangkat sendirian. Yahmu, abang mamak, membonceng Cek Raiyati, adik mamak. Sementara Bapak membonceng Mamak ... dengan sepeda. Saya tak dapat membayangkan betapa perjuangan menempuh jarak pada saat itu.
Tapi itulah namanya cinta, dan kami tergelak dalam tawa ketika Mamak menceritakan saat Bapak mengerem sepeda, Mamak hampir terjatuh. Lantaran tidak biasa dibonceng dengan sepeda.
Sekian dulu, pemirsa.
Banda Aceh, 29-30 Maret 2014
Belum ada tanggapan untuk "Pernah Muda"
Post a Comment