Akhir pekan sebentar lagi berlalu, dan hari Minggu adalah tanda untuk membuat tulisan-tulisan bertema santai. Santai sebenarnya kata yang masih terlalu umum, inginnya membatasinya lebih khusus lagi misalnya kuliner, atau travelling. Tapi sepertinya belum ada hal yang bisa dibagi atau saya yang masih kurang mengeksplorasinya lebih jauh.
Di antara dua cinta. Tidak-tidak. Ini bukan soal seorang jomblo yang sedang bingung memilih jodoh, atau seorang yang sudah berpasangan yang hendak mendua. Ini lebih pada sebuah perjalanan dalam memahami cinta. Ups, sepertinya saya memilih tema yang agak terlalu jauh dari kesan santai lagi, ya, pemirsa?
Saya sama sekali tidak memiliki latar belakang pendidikan Psikologi meskipun ilmu manajemen sedikit banyak berkaitan dengan ilmu tersebut. Dalam
menuliskan hal ini.saya hanya sekedar menuangkan isi pikiran semata.
Saat masih kecil saya hanya bisa memahami cinta seperti yang dilafalkan oleh lagu-lagu cinta, film-film cinta atau syair-syair cinta yang dipopulerkan di radio dan televisi. Cinta ya suka, tidak cinta berarti tidak suka lagi. Meski ada kata-kata benci sebagai lawan kata sifatnya, tidak cinta barangkali tidak harus juga dikaitkan dengan benci. Meski barangkali hal itu bergantung pula kepada peristiwa-peristiwa traumatik tentang cinta, hubungan dan perkawinan.
Saat saya membaca buku The Roadless Travelled karangan M. Scott Peck, saya berusaha memahami paragraf-paragraf yang menjelaskan bahwa cinta atau hubungan akan selalu berada pada dua titik. Satu titik adalah ketika Anda berusaha membahagiakan pasangan Anda, atau anak Anda. Anda menghabiskan waktu bersamanya. Anda berusaha menyenangkan hatinya. Anda memberinya apa yang ia inginkan. Anda memanjakannya, Namun ada satu titik lainnya di mana Anda berusaha memberikannya kepercayaan bahwa ia bisa bebas. Anda menganggapnya sebagai seorang individu yang merdeka. Anda membiarkannya dewasa.
Cinta menurut buku tersebut sepertinya akan selalu ada pada dua titik itu. Apakah itu cinta orang tua kepada anaknya, cinta pasangan kepada pasangannya. Cinta akan selalu ada pada kedua titik itu; berganti-gantian.
Saya kemudian teringat lagi kepada paragraf-paragraf lainnya dari Anis Matta tentang kehidupan berumah tangga. Keadaan kejiwaan seorang yang berumah tangga yang bisa dengan sekejap berubah-ubah. Di saat pulang kerja baru saja mendapat kabar kenaikan pangkat dan pulang ke rumah dengan perasaan begitu gembira, namun dapat berubah seketika saat pulang ke rumah menyaksikan anaknya jatuh sakit. Dua keadaan yang sama-sama menguji pada keteguhan cinta.
Ada sebuah pepatah mengatakan, kesetiaan seorang wanita diuji pada saat ia sedang mengalami kesusahan, sedangkan kesetiaan seorang lelaki diuji pada saat ia sedang diuji dengan kesenangan. Kita akan selalu ada pada dua titik itu. Dua keadaan yang akan membawa kita selalu berada
di antara dua kondisi yang menguji keteguhan cinta.
Kesusahan atau kesenangan. Kebersamaan atau membiarkannya sendiri untuk waktu tertentu. Kasih sayang atau kemandirian. Di antara dua pilihan cinta. Cinta yang membuat kita bersama bermanja-manja dengannya atau cinta yang membiarkannya tumbuh dewasa.
Bukankah nasehat baik sering mengingatkan kita untuk senantiasa memperbaiki diri agar mendapatkan cinta dalam pelipatgandaan tak terkira. Agar diri menjadi lebih bermakna bagi orang-orang di sekitarnya. Atau dalam kasus cinta orang tua meskipun saya belum penah mengalaminya, bukankah orang yang telah menikah dan juga memiliki keturunan dituntut untuk terus meng-upgrade dirinya dengan ilmu dan wawasan? Maka dari itu tetaplah membersamai cinta.
akinini.com
Banda Aceh, 23 Maret 2014
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Di Antara Dua Cinta"
Post a Comment