Sedianya saya menyediakan hari Sabtu untuk bercerita atau sekedar mem-posting hal-hal bernuansa nostalgia, dan hari Minggu untuk hal bernuansa santai, serta hari Senin untuk refleksi diri. Sedianya seperti itu. Malah kalau bisa hari-hari lainnya saya isi dengan tema-tema tertentu, seperti halnya harian Republika yang di masa-masa mulanya memiliki suplemen khusus untuk hari-hari tertentu pula.
Peristiwa malam kemarin sedikit banyak mengusik pikiranku dan jadi ingin untuk menuliskannya di sini. Entah bermakna atau tidak.
Di saat seperti ini, saat waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, seharusnya kejadian itu tidak mengganggu istirahat kami. Di lorong kecil yang gelap dekat tempat tinggal kami, lantaran lampu jalan yang sudah lama tidak lagi difungsikan, terjadi keributan kecil. Pelakunya? Dua orang muda-mudi yang sedang dilanda pertengkaran. Teriakan minta tolong dari seorang perempuan yang memaksaku keluar di dalam udara dingin malam yang menusuk itu.
Seorang lelaki dan seorang perempuan, dengan sebuah motor di samping mereka.
Dalam kondisi malam minggu. Di sebuah lorong yang gelap karena
kurangnya lampu jalan. Sepertinya si pemuda sengaja membawa gadis itu ke
sini.
Di lorong tempat kami tinggal, karena rumahku di samping sebuah bangunan rumah sakit umum tingkat provinsi, maka ada banyak orang yang pastinya mendengar pertengkaran itu. Termasuk tukang parkir yang bisa memanjat pagar rumah sakit itu dan segera memberikan bantuan. Tapi barangkali posisi mereka masih melihat-lihat. Dalam gelap, tak ada yang tak mungkin. Bisa saja lelaki yang sedang menggenggam erat dengan kasar tangan perempuan itu punya senjata tajam. Persis di filem-filem atau kejadian-kejadian sadis yang diberitakan di media belakangan ini.
Ini bukan peristiwa pertama aku menyaksikan pertengkaran muda-mudi yang nyaris menuju kepada kekerasan. Satu kali di siang hari. Seorang remaja tanggung--paling banter mahasiswa baru masuk kuliah--hendak mengangkat kakinya untuk memberikan jurus tendangannya kepada perempuan yang kuduga adalah pacarnya yang masih berseragam olahraga SMA yang segera dihalangi teman-teman sekolahnya yang juga perempuan. Pengecut sekali, batinku. Aku bergegas membuka pintu dan berharap pemuda itu tak melanjutkan tindakannya. Tak lama mereka bubar. Entah apa yang selanjutnya terjadi.
Aku berdiri di depan pintu pagar rumahku, dengan jarak hanya tiga meter saja. Perempuan itu sudah berteriak minta tolong sejak aku berada di teras rumah. Tukang parkir rumah sakit sudah pasti menyaksikan. Tak lama aku berdiri di situ lewatlah seorang pemuda menghentikan motornya karena melihat ada yang tidak beres di situ. Lorong tempat kami tinggal, meskipun gelap namun ada saja yang melewati karena selain berada di dekat rumah sakit juga ada sebuah sarana olahraga yang dibuka sampai malam hari. Meskipun sebenarnya mengganggu kenyamanan warga setempat. Saya pikir, mungkin pemuda ini baru selesai berolahraga dari tempat itu.
Tanpa kata. Kami berdua diam. Menunggu dan menyaksikan apa tindakan nekat yang bakal dilakukan lelaki yang jaraknya tinggal beberapa meter saja dari kami. Hanya mereka berdua yang bersuara. Si gadis yang berteriak minta tolong dan pemuda yang terus menerus mengancam si gadis. Pemuda yang baru turun dari motornya tadi semakin mendekat dan aku pun rasanya mulai terlibat dalam suasana itu. Pemuda tadi mulai takut dan melepaskan gengamannya pad si gadis. Gadis itu berlari sampai ke ujung lorong di mana ada jalan raya dan pangkalan becak di situ.
Tinggal kami bertiga. Pemuda tadi seperti terlihat salah tingkah dan segera mengambil motornya untuk meninggalkan tempat itu. Aku berpikir semoga keadaannya sudah aman. Gadis itu bisa memanggil becak dan segera pergi dari pemuda itu. Setelah pemuda bermotor tadi mengucap sekedar salam ia pun memacu gasnya ke arah yang sama.
Aku masuk kembali ke rumah. Tak kusadari ternyata udara dingin di luar benar-benar membuatku gemetar. Mana lagi pengalaman tadi baru pertama kalinya bagiku untuk mencoba berhadapan. Meski tidak satu lawan satu juga. Teringat lagi cerita temanku tentang kekerasan yang beberapa hari lalu dipublikasikan oleh media. Nyawa seakan menjadi sangat murahnya hanya oleh rasa cemburu buta remaja yang bahkan baru saja menempuh jenjang mahasiswa.
Sedemikian memprihatinkannya kondisi sebagian dari generasi muda kita saat ini?
Meski di luar dugaanku si gadis kembali dijemput paksa oleh si pemuda tadi dan dibawa lagi ke tempat yang sama, tapi aku kini hanya menyaksikan saja. Beberapa orang pemuda--seorang dari warga lorong kami dan lainnya aku tak tahu--segera melerai dan memisahkan mereka. Kulihat teman-teman perempuan si perempuan tadi juga ikut datang.
Entah mereka warga di mana. Tapi mereka juga adik-adik kita. Hari ini satu peristiwa kita biarka, belum tentu tidak akan menghampiri kita atau keluarga kita. Mari kita saling mengingatkan.
Seorang penjual buah langgananku pernah berujar suatu ketika, semakin lama moral generasi muda semakin sulit untuk diarahkan, maka cepat-cepatlah menikah. Dalam hatiku, in sya Allah, Pak. Do'akan ya ... :-)
Berikut status facebook yang kutulis kemarin malam, dalam tangan yang
masih gemetaran antara udara dingin dan rasa kaget melihat perilaku anak
muda zaman sekarang.
Lorong-lorong
gelap kemudian menjadi sasaran untuk menjadi tempat bersunyi. Tidak
hanya untuk berasyik-asyik dengan maksiat, tapi juga untuk meraung-raung
karena pertengkaran kekasih yang menjurus pada kekerasan.
Teringat kutipan seorang ustaz di sebuah surat kabar harian, bahwa
lelaki jauh lebih merasa hampa ketika berpisah dengan perempuan,
manakala mereka sudah terbiasa untuk berasyik-masyuk, berlarut
dalam asmara yang bukan dalam pernikahan. Sementara wanita, barulah
menyesali, merana, meraung-raung setelah janin tumbuh dalam rahim. Saat
penyesalan sudah tiada lagi artinya ...
Aduhai adik-adik perempuan, jangan mudah percaya mulut lelaki. Jangan pula umbar pesona pada ia yang belum mengikat janji suci.
Aduhai adik-adik lelaki, jangan terhanyut oleh cinta sesaat namun sesal
berkepanjangan. Buktikan dulu diri bisa menjadi lelaki kebanggaan.
Banda Aceh, 09 Maret 2014
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Tidak Lagi"
Post a Comment