Buat plan menulis ini-itu tapi belum ada yang diwujudkan. Barusan melihat ada beberapa topik menarik untuk diangkat selepas membaca surat kabar Republika edisi hari ini. Kebiasaan makan sambil membaca--bukan kebiasaan yang baik juga sebenarnya lantaran makan tanpa hati alias makan tapi
nggak nyadar kalau kitanya sedang makan juga identik dengan cepat gemuk.
Idiiih, takut
banget ya, jadi gemuk?
By the way, kenyang sering juga bisa menghambat proses berpikir. Dalam kondisi perut kekenyangan--oh iya barusan juga
nyambi minum tiga cangkir air dan penuhlah jadinya perutku malam ini--biasanya ide
nggak mudah
ngalir. Iya,
nggak sih?
Haa, entah juga ya. Banyak juga kok para karyawan dan karyawati eh maksudnya mereka yang berkarya selalu moncer dan
nggak hubungan sama sekali dengan berat badan. Meskipun begitu ya mesti juga kita lebih perhatian sama yang namanya lingkar perut. Konon katanya obesitas atau kegemukan identik dengan beberapa penyakit kelas berat seperti diabetes dan jantung koroner. Konon lagi kegemukan membuat aktivitas kita menjadi lebih "berat" seperti berjalan kaki atau bahkan berlari.
Kenyang. Apa yang terlintas, ya?
K.H. Zainuddin MZ, da'i kondang sejuta umat pernah berujar bahwa adalah suatu hal yang sulit ataupun tidak rasional apabila orang yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya lapar diserahi tanggung jawab untuk mengurusi kaum dhu'afa alias mereka yang lemah seperti fakir miskin, anak-anak terlantar dan para jompo. Oleh karena itu hikmah atau makna puasa di antaranya adalah agar dapat menyambung rasa dengan penderitaan kaum dhu'afa.
Kenyang. Apalagi ya, yang terbayang?
Guru mengajiku dulu pernah berkata bahwa perut kenyang dapat menghalangi kita untuk mengaji dengan nyaman. Ini lantaran kondisi perut yang penuh berisi dapat membuat kesulitan dalam bernafas pada saat mengaji. Jadi sebaiknya waktu makan juga diatur agar tidak terlalu dekat dengan waktu sebelum mengaji.
Nah, ada lagi cerita yang menarik lainnya soal kenyang. Saya pernah membaca dari buku Life is Beautiful karangan Arvan Pradiansyah tentang sebuah fakta mengenai serigala. Tahukan teman bahwa serigala hanya keluar mencari mangsanya saat ia benar-benar lapar dan biasanya sekitar seminggu sekali saja?
Inilah letak bedanya dengan manusia. Manusia seringkali menyebut manusia berhati serigala untuk seseorang yang dianggap tamak. curang dan rakus. Padahal bila dibandingkan dengan serigala, manusia jelas-jelas lebih rakus daripada serigala. Sudah kenyang tapi masih saja mencari pelampiasan untuk memuaskan hawa nafsunya.
Saya kembali teringat kisah Umar bin Abdul Aziz saat baru saja dipercaya menjadi Khalifah di masa pemerintahan Bani Umayya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menyerukan agar seluruh harta rakyat yang dirampas oleh kerajaan yang diambil pada masa raja-raja pendahulunya untuk dikembalikan. Khalifah memerintahkan menghapus segala pemborosan termasuk meniadakan pengawal kerajaan.
Pada suatu hari Khalifah Umar bin Abdul Aziz memanggil seluruh keluarga besarnya untuk menghadiri jamuan makan malam. Tanpa disadari para tamunya, Khalifah menyuruh pembantunya untuk menyiapkan hidangan namun sengaja untuk dilama-lamakan. Khalifah berbicara panjang lebar di hadapan para tamunya sehingga mereka benar-benar merasa lapar. Barulah kemudian Khalifah memanggil pembantunya untuk menghidangkan sajian makanan.
Sajian makanan tersebut adalah makanan yang sederhana. Makan ala rakyat biasa. Bukan jamuan ala raja sebagaimana biasanya. Namun oleh karena sudah sangat lapar, maka mereka semua makan dengan sangat lahapnya.
Di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini juga ada sosok-sosok seperti itu. Sosok yang lebih mementingkan agar hak rakyatnya ditunaikan dan dia sendiri rela berbalut kesederhanaan. Lantaran ia menyadari bahwa hidup yang cuma sekalinya ini bukanlah hidup buat aji mumpung menikmati berbagai fasilitas keduniawian. Hidup ini haruslah bermanfaat untuk sebanyak-banyaknya orang agar ada yang dapat kita wariskan bagi anak cucu kita kelak. Bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya agar dapat menjadi amalan penolong di akhirat kelak.
Salute, dan sungguh salute ketika hari ini membaca sebuah artikel tentang seorang pejabat yang berterus terang bahwa gajinya yang Rp 120 juta per bulan nyaris tidak dinikmatinya sepeser pun lantaran harus melayani rakyatnya yang meminta bantuan kepadanya setiap hari di kantornya. Bahkan ia harus meminta pengertian dari istrinya terhadap cicilan mobilnya yang belum lunas.
Harapan itu masih ada.
Kembali lagi kepada topik kita masalah "kenyang". Apakah kenyang itu sesuatu tujuan untuk dituruti, atau suatu kondisi keadaan di mana kita bisa menerima segala sesuatu yang telah diupayakan dan dido'akan dengan kesungguhan maksimal?
Banda Aceh, 06 Maret 2014.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Kenyang"
Post a Comment