Sebuah peristiwa tentunya akan menimbulkan sejuta kenangan dalam rasa, citra dan nada. Sebuah peristiwa yang tertanam dalam ingatan tentang sebuah bencana dahsyat yang melanda Jepang tiga tahun silam, 11 Maret 2011 tentulah akan diperingati banyak orang tak terkecuali para korban.
Bagi saya pribadi, tsunami juga merupakan sebuah hal yang terekam dalam memori ketika mengalaminya saat gempa dan tsunami melanda Aceh, Nias dan sejumlah besar negara di dunia pada 26 Desember 2004 silam.
Dari pengungsian di Indrapuri, Aceh Besar, dari layar televisi 16 inchi di rumah Makcik kami, saya terus menyaksikan bagaimana bantuan demi bantuan kemanusiaan baik yang sifatnya moril maupu materiil diterjunkan ke kawasan-kawasan terkena dampak bencana. Sementara setiap hari keluarga kami juga bolak-balik ke Banda Aceh untuk membersihkan rumah, di bawah bayang-bayang gempa susulan yang terus terjadi dan ingatan tsunami yang nyaris tidak kami kenali melainkan sekedar dari berita televisi ataupun sebait kalimat pada pelajaran Geografi.
Dari layar televisi 16 inchi itulah berbagai pelajaran disajikan. Berbagai tokoh dari lintas bidang, agamawan, psikolog, psikiater, relawan lapangan, sosiolog, budayawan, praktisi, semua membagikan ilmu dan pengalaman yang mereka punyai. Berbagai tim dan kelompok relawan diterjunkan untuk memandu anak-anak belajar di tenda-tenda pengungsian.
Masyarakat juga bekerjasama dengan para relawan untuk bahu membahu menyiapkan kebutuhan sehari-hari mereka--berbelanja di pasar, menyiapkan makanan di dapur umum. Layanan rumah sakit dan klinik-klinik darurat juga dipermudah dengan banyaknya tenaga medis yang dikirimkan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Pemerintah juga telah membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD dan Nias dalam upaya membangun kembali gunungan puing menjadi istana-istana yang megah nan indah.
Ada satu kalimat yang selalu saya ingat, bahwa kita diberi kemampuan untuk mengingat dan melupakan. Mengingat, agar kita dapat mengambil pelajaran. Melupakan, agar kita dapat mengumpulkan semangat untuk kembali melanjutkan kehidupan.
Bayangan tsunami itu juga seakan menjelma pada 11 April 2012, ketika sebuah gempa besar yang nyaris sama dengan guncangan pada 26 Desember 2004 mengayun kota Banda Aceh. Di siang hari menjelang adzan 'ashar tersebut terjadi gempa yang sangat kuat yang menyebabkan orang-orang berlari panik menuju ke arah pegunungan. Sayangnya ketika itu banyak sekali masyarakat yang terjebak kemacetan di jalur evakuasi. Hal ini tentunya harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah bersama segenap elemen masyarakat.
Di tengah keresahan tersebut, terlihat upaya-upaya nyata yang dilakukan oleh segenap warga masyarakat bersama dengan pemerintah, lembaga pendidikan, media cetak dan elektronik, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kepemudaan dan sebagainya dalam memasyarakatkan nilai-nilai sadar bencana. Kesiapsiagaan dalam menghadapi situasi yang tidak diharapkan seperti bencana alam merupakan sesuatu yang mesti diajarkan serta dididik agar dapat menjadi pribadi yang terlatih.
Seperti hal yang pernah saya kutip dari seorang pakar mitigasi bencana bahwa bencana selalu terjadi ketika kita tidak siap. Jika kita siap, maka tidak terjadi bencana. Tentunya pernyataan ini sama sekali tidak bermaksud menafikan kelemahan dan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi takdir dari Sang Khalik.
Gempa bumi dan tsunami yang dahsyat yang melanda Jepang pada 11 Maret 2011. Gempa ini seperti dicatat oleh situs
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/03/110311_japanquakescience.shtml merupakan salahsatu gempa terdahsyat di Jepang. Saat itu saya tidak begitu ingat dari mana pertama kali mendengar kabar tersebut, saya membuka saluran TV berita internasional dan terlihatlah gambar yang diambil dari udara (atau satelit?) mengenai bagaimana detik demi detik gelombang tsunami naik ke daratan dan menghantam apa saja yang ada di dekatnya.
Tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata bagaimana perasaan melihat kejadian tersebut. Hari itu hari Jum'at. Saya pun teringat akan kengerian yang terjadi pada saat tsunami. Sebuah dokumentasi yang pernah disajikan dari televisi mengenai tsunami juga pernah menceritakan bahwa di sekitar tahun 1960-an pernah terjadi adanya tsunami yang melanda sebuah negara (kalau tidak salah Jepang) yang terjadi 24 jam setelah gempa besar (dan tsunami?) yang melanda Chile. Jadi tak jarang jika ada sebuah gempa besar maka saya sendiri beranggapan dalam 24 jam ke depan mesti tetap waspada.
Entahlah, saya beranggapan tak ada salahnya bersiap-siap. Seorang paman yang pernah bekerja di NGO pernah bercerita tentang sebuah materi pelatihan mitigasi bencana. Intinya kita mesti siap dengan kondisi tersulit apalagi bagi kami yang berada di daerah yang rawan gempa. Menyiapkan tas kecil berisi perlengkapan khusus untuk mengungsi tak ada salahnya. Seingatku saat tsunami yang lalu aku membawa lari tas, air minum, ijazah dan sekedar obat-obatan. Itu juga lantaran aku tadinya bermaksud ke kampus untuk mengikuti kuliah tambahan.
Ngomong-ngomong lagi soal mitigasi bencana, seorang teman di komunitas Gaminong Blogger, Aslan Saputra, saat ini mendapat undangan setelah video yang dibuatnya bersama teman-temannya dalam wadah Geumeutoe mengenai kegiatan mereka dalam mengedukasi warga khususnya anak-anak dalam menghadapi bencana. Oh iya, maskot dari gerakan sadar bencana ini juga cukup unik, yaitu gambar seekor gajah berwarna kuning yang sangat lucu. Kamu bisa mengikuti kiprah mereka di sini:
http://eliteword.blogspot.com/2014/02/going-to-japan-bagian-1-dari-sekedar.html
Hmm, apa lagi ya yang bisa saya bagikan malam ini?
Ini, sebuah video yang di-upload di Youtube dalam rangka memperingati peristiwa gempa bumi dan tsunami di Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 yang lalu. Saya terkesan akan video klip dan lagunya. Sangat menarik. Sesuai pesan dalam versi youtube-nya, kita juga dipersilakan untuk menge-share video ini kepada keluarga atau siapapun yang kita cintai.
Banda Aceh, 11 Maret 2014
Belum ada tanggapan untuk "Mengingat dan Melupakan: Belajar dari Bencana"
Post a Comment