Beranda · Wisata · My Extraordinary Life · Menu 2

Syukurku

Hijau
Pohon
Gunung
Berdesir
Angin
Berjalan
Kemilau
Bintang

Aku
Bertasbih
Memuji
Kekasih
Cinta
Tak hingga
Hembusan
Nafas

Pesona
Bunga
Harum
Semerbak
Syukurku
Pada-Mu
Menerima
Segala titah


Banda Aceh, 18 Juli 2014

Artikel keren lainnya:

Mari Berbahasa Sambil Berpuasa: Wir Sprechen Während des Fastens

Minggu 13 Juli 2014. Hari itu saya bersama sahabat saya Baiquni Hasbi diminta menjadi pembahas dalam acara Mari Berbahasa Sambil Berpuasa di Episentrum Ulee Kareng. Acara ini digelar oleh Polyglot Indonesia Chapter Aceh bekerjasama dengan Komunitas Tikar Pandan. Dalam kesempatan tersebut diadakan pemutaran film Turki-Jerman berjudul "Die Fremde" yang dilanjutkan dengan Meet Up Polyglot Indonesia Chapter Aceh yang dipandu oleh Kak Issana Burhan serta ditutup dengan buka puasa bersama.

Acara "Mari Berbahasa sambil Berpuasa ini diselenggarakan atas kerjasama Komunitas Tikar Pandan, Goethe-Institut, Jakarta, Polyglot Indonesia Chapter Aceh, Aneuk Mulieng Publishing, Episentrum Ulee Kareng, Sekolah Menulis Dokarim, Kedai Buku Dokarim, Metamorfosa Institute, Epicentrum Entertainment, LPM Perspektif Unsyiah, Aliansi Jurnalis Independen Kota Banda Aceh, Muharram Journalism College, ruangrupa, Iloveaceh, Banda Aceh Info, Suarakomunikasi.com dan AJNN.net.

Artikel keren lainnya:

Sebab Relawan Tak Sebatas Tsunami: Tasyakkur 3 Tahun TPM Tanyoe Desa Lambirah, Aceh Besar

Adalah Husnul Khatimah Adnan, teman-temannya memanggil Husnul, pencetus dan pendiri TPM Tanyoe bagi masyarakat di sekitar tempat tinggalnya di Desa Lambirah, Aceh Besar. Berbekal kegelisahan atas kondisi masyarakat di desanya yang masih tertinggal dalam hal kemudahan memperoleh akses pendidikan, ia pun bekerja keras untuk mewujudkan mimpi mulianya dalam membangkitkan pendidikan anak-anak di desanya. Tak bekerja sendirian, Husnul mengajak serta teman-temannya untuk ikut membaktikan diri di TPM Tanyoe.

Di sini terlihat upaya tidak kenal henti dari para relawan pendidikan tersebut. Tanpa upah, bahkan harus siap mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan juga dana--minimal ongkos transportasi untuk menempuh perjalanan ke TPM Tanyoe di Desa Lambirah. Tidak kurang teman-teman aktivis yang berkuliah di Banda Aceh turut serta menyumbangkan waktu mereka untuk menjadi relawan pengajar--padahal jarak Desa Lambirah, Aceh Besar dari pusat kota Banda Aceh bisa mencapai 20 kilometer! Sebuah jarak yang subhanallah jauhnya--meminjam istilah dari pengurus TPM Tanyoe.

Artikel keren lainnya:

Sekuntum Do'a untuk Saudara di Palestina

Kita bisa belajar
Dari nilai kehidupan
Ketika nyawa menjadi disiakan
Ketika darah tertumpah seakan dibiarkan

Kita bisa belajar
Dari semangat yang ditunjukkan
Ketika setiap jiwa tidak meratap
Malahan bertempur dengan segenap harap

Yang diperjuangkannya adalah kebebasan
Sesuatu yang selama ini kita seminarkan
Yang dilakoninya adalah hak asasi
Mengusir penjajah dari negeri

Akankah selamanya terus begini
Dunia mengutuk
Kebiadaban itu terus dilangsungkan
Dunia pun menyaksikan

Mereka berada di garis terdepan
Mempertahankan kota suci dari kezaliman
Wajah-wajah syuhada dan zikir tauhid yang mengiringi
Seperti menjadi syair yang dilagukan

Kita tidak akan menjadi lemah
Kita akan terus bersama walau hanya dalam sekuntum do'a
Yang mengalir ba'da shalat fardhu untukmu saudaraku
Bahwa kita berpijak di bumi yang sama--di bumi yang sama





Banda Aceh, 12 Juli 2014




1000 Tulisan untuk Palestina
#SavePalestine
#SaveGaza

Banner Save Palestine by: Hijrah Saputra Yunus @hijrahheiji 

Artikel keren lainnya:

Antara Piala Dunia, Pilpres dan Keseharian Berlalu Lintas Kita

Setelah lama tidak menulis secara rutin, rasanya malam.ini ingin kembali menyapa blog ini. Meski masih setia membaca komentar demi komentar dan mencoba untuk melihat kembali tulisan-tulisan lama, namun rasa rindu untuk menulis dengan tekun seperti masa-masa sebelumnya tidak memudar. Kali ini saya ingin mencoba untuk menuliskan fenomena belakangan ini mengenai Piala Dunia, Pilpres dan Kebiasaan Kita Berlalu Lintas.

Bulan Ramadhan kali ini terasa istimewa bagi bangsa Indonesia. Dalam bulan Ramadhan kali ini kita akan melalui sebuah pesta demokrasi bernama Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Di bulan ini pula, malam-malam Ramadhan kita akan ditemani suguhan siaran langsung pertandingan Piala Dunia Brasil 2014. Nah, saya akan menyampaikan opini saya terkait kedua hal tersebut sebelum kita mengkaitkannya dengan keseharian berlalun lintas kita.

Artikel keren lainnya:

Meski Gagal Lolos, Fans Jepang Punguti Sampah di Stadion

Salam pemirsa, apa kabar di malam Ramadhan ke-5 ini. Semoga selalu dalam kondisi sehat wal 'afiyat dan dalam lindungan Allah Swt. Malam ini saat saya menge-check twitter saya menemukan sebua tweet menarik dari pemilik akun Addie MS yang di-retweet oleh akun twitter penyiar Sandrina Malakiano. Bunyi tweet tersebut seperti tercantum dalam gambar berikut:



Wah, sangat simpatik ya? Di samping mendukung tim yang kita sayangi secara sportif, ada hal yang jauh lebih berharga daripada kemenangan timnya. Padahal jika melihat seberapa jauh perjuangan fans tim nasional Jepang ini tidaklah bisa dipandang sebelah mata. Tahukah pemirsa, jarak dari kota Tokyo ke Rio de Janeiro adalah 18.523 km (sumber bisa dilihat di sini) dan jarak tersebut merupakan jarak terjauh bagi fans yang mendukung tim nasional mereka dalam ajang Piala Dunia 2014 kali ini.

Artikel keren lainnya:

Ketika Demam Piala Dunia 2014 Melanda

Hari-hari di bulan Ramadhan ini agak berbeda dari biasanya. Meskipun Ramadhan telah hadir dengan nuansa khasnya di kota Banda Aceh tercinta ini di mana kelengangan mewarnai pagi hari dan masa-masa tarawih serta keramaian di jalan raya sesaat menjelang waktu berbuka--setidaknya untuk dua minggu pertama puasa-- namun ada suasana keceriaan lainnya yang merasuk ke dalam sukma (duile): Piala Dunia 2014 di Brasil.

Bercerita Piala Dunia seakan membagi lagi nostalgia cerita Piala Dunia 1994 dan 1998 saat aku menghabiskan liburan sekolah untuk begadang. Saat final Piala Dunia 1998 antara tuan rumah Prancis dan Brasil saya masih ingat suara penonton di kota Banda Aceh baik yang menyaksikan di rumah ataupun di warung-warung kopi bergema memecah keheningan malam. Belum lagi kenangan bermain sepakbola di lapangan bekas sawah yang tiba-tiba menjadi ramai oleh karena demam Piala Dunia tersebut. Saya pernah berbagi kisah nostalgia tersebut di sini:

Piala Dunia 2014 di Brasil diwarnai berbagai demo dan penolakan di negeri penyelenggaranya Brasil, namun pro dan kontra tersebut seakan tidak menghalangi hasrat warganya untuk tetap berbondong-bondong memenuhi stadion untuk menonton pertandingan sepakbola sejagad tersebut. Panasnya suhu udara di Brasil yang jauh berbeda dengan suhu udara di Eropa menyebabkan banyaknya peserta Piala Dunia yang berasal dari benua Eropa yang lazimnya merajai perhelatan akbar empat tahunan itu harus angkat kopor lebih awal.

Artikel keren lainnya: