Matahari kian meninggi. Tidak sehembus angin pun menghampiri. Tiga orang sahabat tergeletak tak berdaya dalam lemah kepayahan. Tak seorang pun datang untuk menolong.
Lalu satu di antara mereka memiliki kantung air yang masih berisi. Dalam kepayahan ia melihat sahabat lainnya tengah berada dalam kondisi yang sama. Tak diminumnya, ia serahkan pada sahabatnya. Sang sahabat, yang melihat seorang sahabat lainnya dalam kondisi lemah yang bertambah, maka ia serahkan kepadanya.
Diminumkah oleh sahabatnya yang terakhir itu? Tidak, kantung air itu kembali lagi kepada sahabat pertama. Begitu seterusnya, begitu seterusnya. Hingga akhirnya mereka semua mati syahid dalam kepayahan mereka di antara para korban suatu peperangan.
Cerita ini pasti telah sedemikian lama diulang-ulang sehingga membekas dalam memori kita. Atau katakanlah ini baru kali pertama Anda membacanya. Adakah pesan yang tersirat dalam kisah tersebut sehingga ia diulang dan diulang ceritanya oleh para penceramah agama di mimbar-mimbar masjid?
Betapa rumit kita melukiskan cinta dengan kata, tapi dari cerita-cerita keteladanan semacam itu cinta diajarkan. Begitulah cinta-cinta itu diuji. Keikhlasan pada hakikatnya adalah cinta tertinggi, dalam beramal upaya menjadi bukti.
Kita sering terjebak menurunkan derajat cinta hanya pada cinta memiliki. Harus berharta, berpangkat, berkasta agar orang mau melihat. Harus bertabur sejuta topeng mulia, karena tanpanya hampa dirasa.
Hati ini dapat berbolak-balik dengan mudah-Nya, begitulah dalam penjelasan baginda Nabi. Berdo'alah agar didekatkan-Nya pada cinta yang mendekatkan kita kepada-Nya. Berdo'alah pada Sang Pemilik Cinta.
Banda Aceh, 03 November 2014
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Begitulah Cinta(-cinta) itu Diuji"
Post a Comment