Sedianya, perjalanan ke Sabang kali kedua ini menjadi alasan sempurna bagiku untuk menyelesaikan beberapa misi yang tertunda. Serangkaian pekerjaan membuat misi tersebut tidak dapat diwujudkan dalam perjalanan pertama ke Sabang sebulan yang lalu. Maka ketika perjalanan dengan kapal lambat kali ini bermula, sejumlah rencana pun kutabulasikan.
Aku duduk di sebelah Ihsan, setelah hampir saja tidak menemukan bangku kosong di tempat kelas yang kami pesan. Ihsan adalah seorang pengusaha di bidang travel, yang pekerjaannya sehari-hari memandu para turis. Ihsan juga memperkenalkan penumpang di sampingnya yang bernama Ihsan juga, yang ternyata adalah pemilik usaha Taman Wisata Kuliner di Pantai Paradiso, Sabang Fair.
Perjalanan dengan kapal lambat bermula. Kalau dalam tulisan-tulisan sebelumnya saya mengisahkan kecemasan saya saat duduk di dalam ayunan kapal cepat, maka di kapal lambat relatif lebih santai. Meskipun sebenarnya, seperti kata beberapa teman, semuanya soal kebiasaan saja.
Tadinya kami mengira akan berangkat bersama Didit, namun kondisi kesehatannya masih belum memungkinkan. Didit sudah tampak kelelahan saat sebuah acara kepanitiaan dan puncaknya Didit jadi tidak ikut serta. Kali ini aku berangkat ke Sabang bersama Iroel.
Sesampainya di pelabuhan Balohan, seperti biasa pada saat kapal masuk akan ada banyak supir taksi alias mobil pribadi yang disulap jadi angkutan umum yang menawarkan tumpangan. Kami memesan nasi soto di rumah makan di dekat pelabuhan. Jika tidak ada kapal masuk, pemandangan ramainya supir taksi itu mendadak hilang. Maka tak heran ketika seorang supir taksi yang ternyata sudah mengenali Iroel menunggui kami makan dan kemudian mengantar kami mencari penginapan.
Ini adalah perjalanan kedua ku di Sabang. Meski aku sendiri masih terasa lelah setelah kesibukan menjadi volunteer di sebuah kepanitiaan, aku bersyukur masih sanggup berangkat ke Sabang. Sejujurnya, udara segar Sabang selalu buat kangen. Kesan pertama saat sampai di Sabang dan sempat menginap di daerah Sumur Tiga meninggalkan kesan bahwa Sabang memang benar-benar buatmu Santai Banget.
Namun lantaran kali ini harus kembali ke Sabang untuk sebuah misi yang tidak jauh-jauh dari kepenulisan, maka sejumlah persiapan mengiringi keberangkatanku kali ini. Sebuah ransel mini dan satu tas besar berisi pakaian dan bahan-bahan penelitian ikut serta. Setelah membereskan barang-barang tersebut dan ngopi sore di Desagoe. kami beristirahat di penginapan.
Keesokan paginya aku terjaga agak awal. Kubuka laptop untuk sekedar mengedit tulisan sambil menunggu adzan. Sejenak kemudian suasana pagi di Sabang kuabadikan lewat kamera smartphone Asus Zenphone 5. Tap, tap, jreng ...
Selamat pagi, Sabang !
Suasana jalan yang lengang membuat rasa penasaran untuk menikmatinya berjogging ria. Setelah sejenak berjalan dan menemukan kenyataan (halah) bahwa tidak ditemukan warung nasi yang ramai dalam radius dekat, aku menelepon temanku Khosim untuk menanyakan tempat sarapan terdekat. Dan ternyata Desagoe jaraknya hanya sepelemparan batu, eh nggak ding, dua kali itu deh jadi dengan niat juang sampailah di Desagoe buat menikmati pemandangan Simpang Jam di pagi hari.
Sarapan? Belum. Khosim tiba-tiba sampai dengan motor matic-nya dan menawarkan tumpangan untuk sarapan di sebuah warung nasi di Jl. Perdagangan. Sambil bercanda Khosim mengatakan bahwa kami akan sarapan ke Jl. Perdagangan dan ketika kami pulang sudah akan lapar lagi. Saking jauhnya jarak perjalanan menuju ke sana.
Ya, Jalan Perdagangan memang menjadi pusat kegiatan ekonomi di kota Sabang. Di sini terdapat pertokoan, rumah makan dan juga bank/ATM. Meskipun Sabang secara wilayah tidak terlalu luas, hanya terdiri dari dua kecamatan, namun pengaturan jalan yang dibuat searah (satu jalur) membuat kamu harus berpandai-pandai membuat rencana terutama urusan makan dan mencari ATM.
Belum lagi, tidak ada angkutan umum yang bisa dengan bebas kamu temui. Menyewa kendaraan seperti mobil atau motor matic bisa sangat membantu kamu. Sedikit berhati-hati bila mengemudi sendiri karena banyaknya ruas jalan dengan kontur berbukit. Konon pula, babi hutan atau kera bisa saja tiba-tiba melenggang dan mengganggu perjalanan.
Dan legenda yang tak terbantahkan adalah banyaknya warga Sabang yang tidur siang. Setidaknya, untuk sebuah makan s
iang yang "representatif", kami harus rela jauh-jauh ke Jalan Perdagangan.
Ups, kita sudah bicara soal makan siang ya, Pemirsa? Padahal hari masih pagi. Dan pagi itu setelah kenyang sarapan Khosim mengajak mampir sejenak ke Piyoh. Sebelumnya saya juga menyempatkan diri untuk mengabadikan sebuah toko di Jalan Perdagangan yang bernama sama dengan owner-nya Piyoh. Nama toko itu adalah Hijrah Mulya.
Sesampainya di Piyoh, kami segera mencari Bang Hijrah yang ternyata sedang sibuk menge-press pin-pin souvenir rancangan Piyoh Design yang merupakan usaha binaannya. Setelah berbasa-basi sejenak--atau malah tanpa basa-basi--segera saja kami ke halaman belakang untuk melihat dua kelinci imut piaraan Bang Hijrah yang sering kulihat di status-status facebook beliau ini. Sebuah media tanam berisikan Strawberry yang sedang dalam masa pertumbuhan berada tak jauh dari kandang kelinci. Abang ini juga punya
hobby berkebun dan juga seorang aktivis Aceh Berkebun.
Pertemuan yang singkat, lantaran aku pun harus bergegas ke penginapan yang ternyata dekat sekantong snack isi dua kue saja dari markas kreatif Piyoh. Jika terakhir kali ke Piyoh Bang Hijrah ngucek-ngucek mata ngantuk karena jemputan kami datang kemalaman, maka pagi itu justru matahari pagi Sabang yang menyilaukan matanya.
Dan lihatlah Pemirsa, apa yang saya bawa pulang pagi itu...
Tadaa, sebuah pin gantungan kunci bertuliskan "Tugu 0 Kilometer Sabang". Inilah pin buatan sendiri pertamaku dan langsung dari markas kreatif Piyoh dan sebagai hadiahnya boleh langsung dibawa pulang! Cihuuy, terima kasih ya, Bang Hijrah!
^__^
Banda Aceh, 30 November - 6 Desember 2014.
Belum ada tanggapan untuk "Souvenir Cantik Mister Piyoh Pertamaku (Goes to Sabang Part 4)"
Post a Comment