Akhirnya, Didit jadi juga bergabung bersamaku dan Iroel. Malam itu sepulang dari kedai kuliner rujak khas Sabang untuk bertemu dengan Pak Keuchik, aku mendapat blackberry messenger dari Didit bahwa ia sedang menunggu kami di warung kopi Desagoe. Malam itu juga Didit, aku dan Iroel membahas seputar rencana kami selama di Sabang.
Udara malam semakin dingin seperti halnya beberapa minggu ini. Di seberang Desagoe ada sebuah kedai yang menjual minuman penghangat badan bertuliskan "STMJ" yang berarti susu, telur, madu dan jahe. Kamu dapat memesan minuman tersebut dari Desagoe. Obrolan terus berlanjut di warung kopi tersebut. Dengan jaringan Wi-Fi yang tersedia kamu juga bisa dapat membuka email, media social atau berselancar ria sambil mengerjakan tugas atau pekerjaan. Makanya kami senang berkumpul di sini.
Ngopi sambil bersosialisasi sudah menjadi layaknya budaya di negeri seribu masjid ini. Suasana tersebut dapat kamu rasakan apabila kamu bekerja atau menetap di Aceh. Saya pernah memperhatikan kebiasaan tersebut secara langsung.
Ketika itu saya dan beberapa rekan alumni sebuah organisasi diundang ikut duduk ngopi bersama teman-teman seorang pembina organisasi tersebut. Sebenarnya ada hal yang secara khusus ingin kami bahas namun dapat kami sampaikan dalam forum tersebut secara santai. Di sinilah uniknya budaya ngopi di Aceh. Banyak hal yang dapat diselesaikan di meja ngopi. Dan itulah mengapa suasana kota ini barang kali dapat membuat mereka yang telah berangkat pergi rindu untuk kembali.
Keesokan harinya adalah hari Jum'at. Siang harinya, setelah shalat Jum'at di Masjid Agung Babussalam, Kota Sabang, kami bertiga mencari makan siang di Jalan Perdagangan. Dengan motor matic kami meluncur untuk memenuhi hajat kami mengganjal rasa lapar di perut. Laparnya
tuh di sini--
nunjukin perut. Beragam jenis ikan karang dengan mudahnya kamu temukan di sini. Lezat dan mantaplah pokoknya. (Malah jadi promosi, ya, Pemirsa?)
.
Selepas maghrib, dengan motor matic yang ditumpangi Iroel, kami menggila sejenak sambil menikmati dinginnya sapuan udara pantai. Dari kejauhan kelap-kelip lampu memperindah pemandangan Sabang. Andaikan Sabang itu seorang gadis, aku pasti sudah bilang, "Sabang, kamu cantik, ya?"
Dan meskipun sudah berulang kali angin di perut ini bernyanyi-nyanyi dengan berbagai tembang, mulai dari jazz, rock, dangdut, dari yang bit-nya agak kencang sampai yang gemulai, tapi tetap saja hasrat anak muda kedua temanku ini tetap menantang ganasnya belaian angin laut. Beberapa kali kami melewati daerah Sabang Hill dan Didit menunjuk-nunjuk ke atas sambil berkata, "penginapan Sabang Hill itu tuh di situ." Soalnya kamu bisa menyaksikan seluruh Kota Sabang dari sana.
Dan, akhirnya: makan-makan di Taman Wisata Kuliner. Di sini aku kembali bertemu dengan Bang Ihsan, pengelola Taman Wisata Kuliner yang tadi beberapa hari sebelumnya aku jumpai di kapal lambat. Kami memesan menu masing-masing. Dua sate gurita bumbu kacang, satu sate gurita bumbu padang, dan untuk minumnya teh tarik hangat, teh dingin dan air perasan jeruk nipis. Makan di sini ya, Bang?
Ehehe ... Paragraf yang tadi jangan diambil hati ya, Pemirsa? Tidak bermaksud membuat pemirsa ikut lapar dan seterusnya. :D
Malam semakin larut, dari tepi Taman Wisata Kuliner yang berbatasan langsung dengan laut ini sesekali bisa terlihat boat nelayan yang berputar-putar mengelilingi jernihnya perairan di Pantai Paradiso. Bahkan ada pula seorang yang berjalan-jalan di air laut yang terlihat dangkal tersebut sambil menyenter dan menikmati pemandangan laut. Benar-benar suasana santai banget kembali hadir. Kalau saja tidak karena penelitian yang harus segea dituntaskan, ingin rasanya menikmati suasana santai tersebut lebih lama.
Setelah membayar pesanan dan berpamitan dengan Bang Ihsan, kami melanjutkan kembali aktivitas kami. Akhirnya terpenuhi juga salah satu keinginanku untuk mencicipi kuliner di kota Sabang yang terkenal itu: Sate Gurita. Rasa lezat dan nikmat yang tak terkatakan sampai tusuk terakhir mengobati pula rasa penasaran yang tertunda satu bulan lamanya. Dan, tunggu dulu, sebenarnya masih ada lagi menu-menu kuliner khas Sabang lainnya yang wajib dicoba.
Sayangnya perjalanan kedua kami harus berakhir keesokan harinya karena beberapa penundaan pekerjaan. Sambil mengemasi barang-barang dan bahan penelitian kami pun bersiap pulang dengan kapal cepat Sabtu siang itu.
Kelelahan yang sangat dan oleh karena tidak mampu menjaga jadwal makan selama disibukkan oleh kegiatan penelitian, menyebabkan kondisi kesehatanku sempat agak mengkhawatirkan di hari terakhir kami berada di Sabang. Akhirnya, kami kembali menunda perampungan pekerjaan kami dan aku pun beristirahat total selama beberapa hari sekembalinya ke Banda Aceh.
"Ahahaha, biasalah anak muda. Be strong,
beuh!"
Sebagai penutup artikel tentang perjalanan kedua ke Sabang ini, aku mengutip pesan Pak Bondan Winarno:
"Tetap sehat, tetap semangat, supaya kita tetap bisa jalan-jalan dan makan-makan bersama wisata kuliner. Pokoknya, maknyuus ..."
^__^
Banda Aceh, 7 Desember 2014.
penasaran rasa sate gurita, cuma ada di sabang yaa?
ReplyDeleteApa cuma ada di Sabang? Wah rasanya saya mesti tanya dulu sama abang Sabang, nih...
Delete