Di ruang itu kami bersama mengerjakan tugas kami masing-masing. Ada sebuah event yang tak lama kemudian segera digelar. Kami turut menjadi volunteer sejak awal mula kepanitiaan dibentuk.
Suasana kantor belum ramai, karena hari H masih beberapa minggu lagi. Kadang aku membawa tugas kuliahku untuk dikerjakan di kantor, untuk menemani sang teman. Sebagai relawan, kami saling bahu membahu di kepanitiaan. Di samping itu, kami juga sudah lama bersahabat.
Lantaran kantor relawan belum ditamaikan oleh panitia lainnya, tak jarang kami mrnghidupkan suasana dengan menghidupkan musik. Tak jarang aku ikut bernyanyi seperti kegemaranku saat di rumah. Sekedar membunuh kesunyian.
Hari itu di tengah pekerjaan, temanku mengambil jarak sejenak dari laptopnya. Dia memuji suaraku. Katanya suaraku merdu. Enak didengarnya.
Aku biasa-biasa saja. Jarang juga sih dengar pujian begitu. Habisnya juga bernyanyi srkedar buat didengar sendiri. Persis seperti pesan imam buat makmum. Agar bacaan shalat bagi makmum cukup didengar untuk sendiri saja. Hehee ...
Sejenak kemudian temanku memelankan suaranya, ia mengulang lagi pujiannya. "Suara antum merdu," katanya pelan. Tapi sayang waktu disuruh adzan shubuh masa tidak baca "ashshalaatu khairum minan naum" katanya sedikit tergelak.
Aku mendengar penuturan temanku itu menjadi sedikit kebingungan. Mencoba mengingat-ingat moment apa gerangan yang menjadi begitu berkesan bagi sang teman. Aku tak dapat mengerti makna ucapannya.
Melihatku kebingungan, sang teman langsung menimpali, "itu lho, waktu i'tikaf tempo hari. Pas shalat shubuhnya kan antum yang adzan." Ah, iya, benar ternyata itu peristiwa yang temanku sebutkan. Sudah cukup lama juga, ada selang empat bulan juga.
"Itu toh," aku tersenyum. Temanku masih sedikit tertawa. "Masa enggak baca, itu kan adzan shubuh," katanya. Aku tak hendak buru-buru menjelaskan. Aku perhatikan, sepertinya apa yang hendak disampaikan tenanku ini sebenarnya sudah sejak lama ingin disampaikan, hanya ia menanti saat yang tepat.
Aku salut pada temanku. Di masa keterbukaan informasi seperti saat ini, berterus terang seakan sudah menjadi hal yang biasa. Dengan adanya sosial media. menjadi lebih bebas menyampaikan ide, pikiran atau perasaan. Tapi temanku memilih untuk menyampaikan langsung secara empat mata mengenai keprihatinan atau sesuatu yang mengganjal di pikiran.
Tidak sedikit kita lihat, dengar dan rasakan hanya karena kritik yang disampaikan, di muka umum, atau dunia maya, persahabatan bisa menjadi permusuhan. Mulanya hanya sekedar ingin mengingatkan, lalu mengabaikan privasi seorang teman dengan alasan hanya bercanda. Padahal mana tau, teman kita sudah benci bulat-bulat, karena merasa dipermalukan di depan khalayak. Bencinya sampai ke akhirat.
Tapi dengan menahan diri dan mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan, rasanya banyak hal yang masih bisa berjalan dengan harmonis. Sebelum menyesal marilah kita ber-antena panjang" sebelum menulis sesuatu di dunia maya.
Oh iya, saya belum menjelaskan kenapa saya tak membaca "ashshalaatu khairum minan naum" waktu itu. Adalah lantaran permintaan dari Bapak Teungku Imeum, yang menjadi imam waktu itu. Seingatku, Pak Imam beralasan pada adzan setengah jam sebelumnya, yang berfungsi sebagai pemanggil jama'ah, sudah dibacakan sehingga tidak perlu dibacakan lagi.
Hari itu temanku menyadarkan aku akan sebuah pelajaran. Untuk menyampaikan nasehat secara pribadi sekaligus ber-tabayyun. Sangat mudah memberikan stigma pada seseorang, namun saat itulah hati kita diuji. Semoga terhindar dari penyakit hati yang akan membakar amalan kita laksana api memakan kayu bakar.
Banda Aceh, 11 Desember 2014.
Saya tak hendak buru-buru menjelaskan, maksudnya setelah teman saya melepaskan semua uneg-unegnya baru saya menjelaskan duduk perkaranya ... :)
ReplyDelete