Kian lama manusia modern semakin tergantung kepada teknologi sosial media dan teknologi yang menghubungkan mereka dengan informasi. Kita semakin rancu dan sulit menyeleksi data mana yang ingin kita koleksi sebagai informasi. Semua data berdifusi kian cepat dan kita terima semuanya sebagai informasi.
Mungkin, hanya yang berpegang pada tujuan hidup yang teguh saja yang bisa bertahan laksana karang yang tegar disapu ombak. Buih-buih di lautan adalah informasi yang mungkin sebenarnya hanyalah data, atau lebih buruk dari itu sekedar data yang sebaiknya segera kau masukkan ke dalam recycle bin di komputermu.
Tapi data bagi sebagian orang, atau bahkan sampah, bisa jadi merupakan informasi yang nilainya tak terhingga. Sebuah bahan riset ilmiah atau sekedar sumber gagasan bagi sebuah proyek besar. Siapa tahu?
Di era media sosial seperti ini setiap orang sudah bisa menjadi tokoh bagi audiensnya sendiri. Oh, mungkin kalimat itu terlalu berterus-terang. Setiap orang bisa menjadi tokoh. Misalnya seniman. Siapa yang pernah mengira Youtube lebih dari sekedar menampilkan kucing yang bisa bermain piano? Kita kemudian mencatat fenomena-fenomena seniman yang melejit dari Youtube seperti Duo Sinta dan Jojo serta tarian Oppa Gangnam Style.
Dengan media tulis menulis seperti ini saja, seseorang bisa di-klaim, atau meng-klaim dirinya sendiri sebagai penulis. Seperti saya saja misalnya. Tak usah melihat kepada orang lain. (Hehehe).
Baiklah, dalam kalimat yang lebih serius, setiap orang khususnya para pakar atau
expertise dapat menggunakan media sosial untuk menyampaikan ide, gagasan dan karyanya dan berinteraksi dengan para peminat ide, gagasan dan karya tersebut melalui media sosial yang memanfaatkan teknologi informasi.
Inilah era itu, abad di mana informasi telah menjadi industri yang berkembang sedemikian pesatnya. Sejak dulu perkembangan manusia pra-sejarah (belum dikenal tulis menulis), kemudian terus berkembang kepada masa industri, hingga akhirnya mencapai abad informasi. Jika di masa lalu yang kuat adalah sesiapa yang memegang teknologi persenjataan, maka di masa kini penguasaan teknologi informasi adalah suatu keniscayaan.
Kata adalah senjata, sebagaimana kata seorang penulis bijak. Maka kata dapat saja suatu hari menjadi musuh yang dibenci keberadaannya oleh seorang penutur atau penulisnya sendiri, seperti ramalan akhir zaman di mana seseorang dapat membenci bayangannya sendiri. Tapi kata juga dapat menjadi sahabat, ketika seluruh indera, tangan dan kaki dikunci di hari pembalasan, lalu kata mempersaksikan kebajikan yang telah disebabkan melalui perantaranya.
Jika Nabi akhir zaman, baginda Muhammad SAW. beranugerahkan mukjizat Al-Qur'an yang memuat Kalam atau firman dari Allah Swt., maka tidak heran dewasa ini justru pemegang kata, dan bukannya pemegang senjata yang dianugerahkan kemampuan untuk mengelola alam semesta ini, melalui berbagai cara pemberian amanah tersebut.
Tak terbayangkan memang bila di masa lalu, seseorang "pesakitan" harus menjadi bulan-bulanan media, baik dia benar ataupun salah. Namun kacamata media yang masih bersikap membela kebenaran bisa kita andalkan untuk--setidaknya--menghindari penilaian yang bias. Namun di masa kini, setiap orang telah menjadi juru bicara terhadap dunia melalui akun media sosial pribadinya. Sekali memutuskan berada di dalamnya, barangkali Anda pun harus mengorbankan banyak privasi yang dulu bahkan Anda biarkan terlindungi.
Banda Aceh, 11 Maret 2015
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Serba-serbi Aku dan Media Sosial"
Post a Comment