Rasanya masih seperti kemarin saat percakapanku dengan seorang ibu si bus Trans Koetaradja menapak tilas peristiwa Tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 silam. Perasaan yang sama saat berbincang dengan abang becak yang mengungkapkan rasa syukurnya dengan perdamaian yang ditandatangani pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka tepat 12 tahun yang lalu. Kedua percakapan tersebut terjadi dalam perjalananku menuju ke tempat pelatihan Flash Blogging 72 Tahun RI yang digelar oleh @djikp @kemenkominfo di Hotel Permata Hati Banda Aceh hari ini, 15 Agustus 2017.
Proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami telah menyulap kota Banda Aceh dan sekitarnya yang porak poranda lewat musibah dahsyat tersebut. Selang hampir genap delapan bulan kemudian, rasa syukur dan haru kembali menggema saat penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) ditandatangani di Helsinski, Finlandia yang difasilitasi oleh mantan Presiden Finlandia Martii Ahtisaari pada 15 Agustus 2005.
Saat itu masyarakat gegap gempita mensyukuri peristiwa tersebut. Tabuhan rapa'i, alat musik tradisional khas Aceh yang bersafari ke seluruh kabupaten dan kota di provinsi Aceh bergema ke penjuru desa. Berbondongnya bantuan masyarakat internasional membuka akses bagi provinsi terbarat sumatera ini yang seakan terisolir pasca konflik bersenjata dan tsunami. Kelamnya masa lalu seakan dihapus oleh musibah yang kemudian membawa hikmah: Aceh pun tersenyum lagi.
Ujaran abang becak tadi tentu sangat beralasan bila kita menyaksikan pembangunan infrastruktur yang kita saksikan pada hari ini. Dana triliunan rupiah dikucurkan melalui lembaga Multi Donor Fund (MDF). Kehadiran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias sebagai lembaga pengelola bantuan tersebut menjadi sarana transfer pengetahuan karena turut melibatkan putra-putri lokal di dalamnya.
Dulu, kebencian antar suku pernah mewarnai perjalanan Aceh. Sosiolog Ahmad Humam Hamid pernah masyarakat Aceh secara garis lintas waktu telah menjalani 110 tahun dalam silih bergantinya peperangan dan konflik sebelum terjadinya tsunami.
Belum lagi kemiskinan yang pelik yang seakan tidak masuk akal menimbang majunya pembangunan instalasi Migas Arun pada kurun waktu 1970an hingga 1990an. Kekerasan pada masa konflik tentunya masih menyisakan kisah pilu. Pemerintah kemudian mendirikan lembaga Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh sebagai amanat MoU Helsinski.
Kini, Aceh telah saatnya "tinggal landas" dari kesedihan dan kepedihan masa lalu. Sudah saatnya generasi muda Aceh merangkai impian masa depan yang cerah dan cemerlang. Sarungkan rencong asah pena. Tatap masa depan dengan belajar, berkarya dan berjuang.
Ada banyak kesempatan yang membentang. Kemajuan teknologi, informasi dan komputer (TIK) saat ini mempermudah proses transfer pengetahuan. Semoga Aceh dapat kembali berjaya dalam naungan NKRI.
Banda Aceh, 15 Agustus 2017.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Aceh Tersenyum Kembali dalam Naungan NKRI #FlashBlog72RI"
Post a Comment