Tenun songket Aceh atau songket Aceh
merupakan mahakarya kerajinan budaya Aceh sejak berabad silam. Di masa lalu,
tenun sutera asal Aceh menjadi komoditas utama dalam perdagangan dunia, di mana
Aceh menjadi salah satu pusat transit pelayaran dunia yang cukup sibuk dengan
letak geografisnya yang sangat strategis di Selat Malaka.
Alih-alih menjadikannya sebagai
produk warisan budaya semata, kerajinan tenun songket yang berkembang di
sejumlah wilayah yang memiliki budaya Melayu, justru lebih mudah dikembangkan
saat dipadupadankan dengan fashion modern. Tren fashion terkini sudah
berkembang modest fashion, yaitu mode pakaian yang mengutamakan gaya kesopanan.
Tren ini bahkan telah diterima di masyarakat Barat yang serba terbuka.
Ketika masyarakat melirik pasar dan
peluang busana muslimah – yang justru hidup saat dijadikan mode daripada
diberlakukan sebagai aturan yang ketat – di sinilah peluang bagi masyarakat
Aceh untuk mengembangkan potensi dan kreativitasnya memasuki pasar global.
Mewakili
komunitas sadar budaya I Love Songket Aceh, di mana saya merupakan salah
seorang co-founder, saya pernah diundang menghadiri pembahasan mengenai fashion tradisional
Aceh di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. Pertemuan itu dihadiri oleh
sejumlah budayawan, pelaku fashion, pakar sejarah serta para
pejabat terkait di dinas tersebut.
Budayawan
Aceh Barlian AW, budayawan Aceh yang turut diundang saat itu, menyampaikan
kutipan naskah kuno "The Atjeh Code" atau Pohon Kerajaan Aceh.
Manuskrip itu memuat 21 kewajiban bagi rakyat Aceh di masa silam
yang dipermaklumatkan Sultan Ali Mughayat Syah pada Ahad, 12 Rabi'ul Awwal 913
H, yang berbunyi sebagai berikut:
"...
Kelima. Diwajibkan atas sekalian rakyat Aceh yang perempuan iaitu mengajar dan
belajar membikin tepun (tenun) bikin kain sutera dan kain benang dan menjaid
(menjahit) dan menyulam dan melukis bunga-bunga pada kain pakaian dan barang
sebagainya."
Manuskrip
itu dapat ditemukan di perpustakaan Universiti Kebangsaan Malaysia yang dapat
pula diakses di sini.
Dalam
kesempatan itu, turut hadir pula sejumlah pakar sejarah dan budaya, serta para
desainer berbakat. Kala itu kami diundang dalam rangka sumbang saran bagi
penyusunan peraturan gubernur mengenai pakaian daerah.
Satu hal yang saya ingat dari
pertemuan tersebut adalah pernyataan seorang budayawan bahwasanya budaya dapat
mengalami perubahan karena sangat erat kaitannya dengan perilaku manusia.
Sifatnya pun dinamis sehingga tidak dapat disikapi secara saklek.
Tenun Songket Aceh
Mahakarya Budaya Warisan Indatu
Berbicara
kebudayaan lokal tentunya tidak dapat terpisahkan dari industri kerajinan
tradisional. Pembenahan aspek manajerial dan pemasaran tak boleh diabaikan
apabila kerajinan tradisional kita ingin tetap berdaya saing dalam arus
perdagangan global. Di samping itu, kebanggaan dalam mengangkat warisan budaya
leluhur melalui sebuah produk karya seni budaya dengan nilai estetika yang
tinggi patut untuk terus dilestarikan.
|
Foto bertajuk : "Vrouw bezig met het weven van een kain te Atjeh" yang diperoleh dari koleksi KITLV Digital Media Library. Foto ini diambil di Aceh Besar, Provinsi Aceh. Sumber foto di sini |
Seperti halnya usaha tenun Songket Aceh Nyakmu yang
berdomisili di Desa Siem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. Songket Nyakmu
merupakan brand lokal wastu citra atau kain tradisional nusantara -- yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya menenun merupakan warisan leluhur
masyarakat Aceh, seperti halnya budaya membatik pada masyarakat di Pulau Jawa.
Upaya
Songket Nyakmu mengembangkan wastu citra daerah mendapat dukungan penuh dari
Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh (nama Provinsi Aceh ketika itu) yaitu
Prof. Dr. H. Ibrahim Hasan, MBA. Pada periode 1980-an hingga 1990-an,
karya-karya Songket Nyakmu dijual dan dipamerkan di Jakarta dan Bali, bahkan
hingga ke mancanegara seperti Singapura, Malaysia dan Sri Langka. Pada tahun
1991 beliau dianugerahi penghargaan Upakarti yang diserahkan langsung oleh
Presiden H. M. Soeharto.
Belum lama menikmati kesuksesannya, usaha Songket
Nyakmu menghadapi berbagai kendala. Bermula konflik yang melanda sejak sekitar
tahun 1999, kala itu tak jarang para pengrajin menghentikan kegiatan menenun
untuk berlindung dari kontak tembak. Pada tanggal 26 Desember 2004, musibah
gempa dan tsunami melanda yang mengakibatkan sebuah galeri karya songket Nyakmu
yang disimpan di Banda Aceh rusak parah dan mengalami kerugian tidak sedikit.
Di samping
usaha tenun Songket Nyakmu di Desa Siem, Aceh Besar, terdapat pula usaha tenun
songket Aceh lainnya di Desa Miruek Taman, Aceh Besar yang dikelola oleh Ibu
Jasmani. Ibu Jasmani adalah murid dari Nyakmu yang membina sejumlah ibu rumah
tangga di desanya bekerja paruh waktu menenun songket. Pada masa jayanya,
banyak murid-murid yang berguru pada Nyakmu dari berbagai daerah di Provinsi
Aceh.
Pemerintah daerah melalui mantan Gubernur (Alm.) Prof. Dr.
Ibrahim Hasan, MBA bersama sang isteri Siti Maryam sangat berperan dalam
pengembangan industri kerajinan souvenir Aceh. Begitu pula mantan Bupati Aceh
Besar (Alm.) Drs. H. Sanusi Wahab beserta isterinya Herawati yang konsisten
dalam membina para pengrajin souvenir khas Aceh.
Menurut penuturan Herawati saat ditemui team I Love Songket
Aceh, atas inisiatif dan komitmen pemerintah daerah saat itu maka dibinalah
industri kerajinan budaya Aceh berbasis rumah tangga (home industry). Herawati
yang saat ini aktif di Dekranasda Aceh dan sebagai Dosen FKIP PKK Universitas
Syiah Kuala menggambarkan masa-masa tersebut sebagai masa kejayaan para
pengrajin souvenir khas Aceh.
Industri rumah tangga songket Aceh ternyata berpotensi sebagai wisata
atraksi bagi pelancong yang ingin menyaksikan proses pembuatan songket Aceh.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, didirikanlah Balee Buet Jaroe (Pusat
Kerajinan Tangan) Siti Maryam di Desa Miruek Taman, Aceh Besar.
Pemerintah daerah saat itu juga aktif mengirimkan para pengrajin sebagai
delegasi ke berbagai event seni dan budaya berskala domestik maupun
mancanegara. Dari kegiatan tersebut diharapkan dapat diperoleh umpan balik
untuk pengembangan industri kerajinan budaya Aceh. Di antara event yang diikuti
oleh Jasmani adalah Festival Budaya Tongtong di Belanda pada tahun 1984.
Pada tahun 2003, Jasmani menikah dengan Parliansyah, seorang
pemuda asal Samadua Aceh Selatan. Dari abang Jasmani yang sedang merantau ke
Aceh Selatan itulah jodoh mereka dipertemukan. Pada 30 Agustus 2004 mereka
dianugerahi seorang buah hati bernama Alfarrizqi.
Musibah gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 turut
menimpa sebagian wilayah Desa Miruek Taman. Namun, seiring perdamaian dan
keberhasilan proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami membuat
pariwisata Aceh mulai dilirik oleh masyarakat dunia.
Dari puluhan wanita yang pernah berprofesi sebagai penenun di Desa Miruek
Taman, hanya tinggal sekitar lima orang yang terbilang masih aktif mengerjakan
pesanan tenun dari rumah-rumah mereka. Itupun, di desa tersebut sepertinya
hanya Jasmani saja yang masih menguasai pembuatan motif.
Sebagai pengrajin, Jasmani juga mengharapkan perhatian serius pada
regenerasi pengrajin. Hal tersebut dapat diwujudkan antara lain dengan
pemberian muatan lokal menenun bagi pelajar dan mahasiswa di bidang terkait.
Kreasi Kontemporer dari Tenun Songket Aceh, Mengapa Tidak?
Berbicara
kebudayaan lokal tentunya tidak dapat terpisahkan dari industri kerajinan
tradisional. Pembenahan aspek manajerial dan pemasaran tak boleh diabaikan
apabila kerajinan tradisional kita ingin tetap berdaya saing dalam arus
perdagangan global. Di samping itu, kebanggaan dalam mengangkat warisan budaya leluhur
melalui sebuah produk karya seni budaya dengan nilai estetika yang tinggi patut
untuk terus dilestarikan.
Rekomendasi
penting yang dapat kami sampaikan melalui komunitas I Love Songket Aceh adalah
pentingnya regenerasi pengrajin. Hal ini juga telah disuarakan oleh kalangan
pengrajin sendiri, di mana pada umumnya telah berusia lanjut. Hanya semangat
dan bekal keterampilan yang diwarisi turun temurun, yang memberi napas terakhir
bagi keberlangsungan tenun songket Aceh ini dalam menghadapi penetrasi produk
tekstil yang diproduksi secara masif dewasa ini. Bila perlu, mereka
dipekerjakan sebagai pegawai daerah sehingga dapat fokus untuk menekuni profesi
sebagai pengrajin profesional.
|
Diskusi Gathering Tenun Songket Aceh (DGTSA) 2015. Sumber foto di sini. |
Hal
lainnya yang tidak kalah penting adalah upaya penggalian secara terus menerus
mengenai motif-motif khas Aceh. Apa dan bagaimana makna filosofisnya. Selama
ini kita hanya mengenal motif Pinto Aceh dan Pucok Rebong. Benarkah hanya kedua
motif itu saja?
Dra. Hj. Mukhirah, M.Pd,
dosen Prodi Tata Busana Jurusan PKK Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP)
Universitas Syiah Kuala, menyatakan bahwa terdapat banyak motif khas Aceh dengan
ragam makna dan filosofi tersendiri. Namun, tidak banyak lagi generasi muda
yang tertarik untuk mempelajari dan mengenal lebih dekat.
Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta.
Ungkapan tersebut tampaknya tepat untuk menjelaskan fenomena tergerusnya motif-motif
khas Aceh dalam era modern. Ibu Mukhirah dalam kesempatan tersebut
menggambarkan sejumlah motif khas Aceh dari berbagai daerah di Aceh, antara
lain Aceh Besar, Aceh Pidie, Aceh Barat dan Aceh Timur.
Terbuka peluang untuk mengeksplorasi motif-motif tersebut
sesuai perkembangan zaman, namun tetap tidak boleh meninggalkan
sekurang-kurangnya satu ciri khas yang melekat pada motif tersebut. Di antara
ciri khas motif Aceh adalah terdapat banyak lekukan. Selain itu, motif khas
Aceh cenderung lebih banyak kepada flora atau tumbuh-tumbuhan.
Zulhadi Sahputra, ST, MT
yang juga dosen Jurusan Arsitektur Universitas Syiah Kuala ini, budaya dilihat
bukan sekadar sebagai warisan masa lalu, (yang harus dilestarikan), tetapi
menjadi sumber pengetahuan untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Zulhadi menambahkan,
transformasi budaya merupakan keniscayaan karena kebutuhan dan persoalan
masyarakat akan selalu berubah dari masa ke masa. Generasi muda menurut Zulhadi
seharusnya tidak menjadikan pandangan negatif terhadap inovasi sebagai
penghalang untuk berkarya dan unjuk diri. Sehingga, dapat bermanfaat untuk
lingkungan yang lebih luas.
Para
perancang busana ternama pun tidak kurang menampilkan tenun songket Aceh dalam
karya desainnya. Seperti Didiet Maulana, sang desainer pemilik brand Ikat
Indonesia dan Svarna yang menggunakan tenun songket Aceh dalam rancangan busana
pengantin Aceh kreasinya. Demikian pula Yurita Fuji di Milan Fashion Week SS
2019 pada bulan September 2018 yang lalu. Keduanya menggunakan tenun songket
Aceh yang diproduksi langsung oleh para pengrajin dari Aceh.
|
Kreasi Tenun Songket Aceh oleh Didiet Maulana, perancang busana dan owner brand Ikat Indonesia |
Prestasi-prestasi
yang telah dicatatkan dengan tinta emas tersebut tentulah sangat membanggakan
dan membuktikan tenun songket Aceh layak mendunia. Namun prestasi tersebut
tidak boleh membuat kita terlena dan hendaknya dapat memicu untuk terus
bergerak demi kebangkitan tenun songket Aceh sebagaimana abad ke-18 dan ke-19
di mana ia menjadi komoditi utama perdagangan nusantara.
Semoga.
Belum ada tanggapan untuk "Dilema Kerajinan Aceh Antara Warisan Budaya dan Kreasi Kontemporer"
Post a Comment