Sepak bola kini sudah menjadi olahraga yang begitu digemari. Entah bagaimana mulanya. Tapi sepakbola telah menjadi simbol pemersatu di beberapa kasus politik di dunia. Sepak bola tak dapat dimungkiri mampu mengaduk-aduk emosi para penonton menjadi satu. Layaknya tayangan pertarungan para gladiator yang digelandang ke tengah lapangan untuk menampilkan pertarungan di hadapan rakyat dan penguasa.
Sepakbola melibatkan banyak sekali stakeholder, mulai dari wasit, pemain, penonton, perusahaan pemasang iklan alias sponsor, percetakan penjual aksesoris klub, wartawan, komentator, penjual asongan hingga para istri yang kehilangan suami-suami mereka yang tiba-tiba menjadi "autis". Tidak heran begitu banyak uang yang tersedot ke dalam dunia ini. Dunia di mana sebuah bola disepak-sepak lalu dikejar lagi untuk disepak lagi hingga masuk ke jala gawang, atau tidak sama sekali.
Kenapa bola yang bulat itu hanya disepak lalu dikejar lagi dan bukannya dibungkus lalu dibawa pulang -- meminjam istilah anekdot dari sebuah serial komedi situasi beberapa dekade silam. Kenapa saking seriusnya kadang-kadang bukannya bola yang disepak malah anggota badan yang jadi bulan-bulanan. Iya, soalnya tidak jarang ada pemain yang harus istirahat bermain karena menderita cedera berbulan-bulan.
Alkisah Fahri, anak kampung sebelah. Jago bermain bola sampai-sampai jasanya dimanfaatkan untuk mencari penghasilan tambahan buat keluarganya. Jasanya disewa dari kampung ke kampung untuk turnamen musiman yang acapkali digelar di daerah kami. Posisinya yang luwes sebagai libero yang sering membantu penyerangan hingga bergerak ke depan menjadi playmaker bahkan striker membuatnya selalu jadi bintang lapangan. Kemampuannya menggocek bola dan menghindari tackling keras dari lawan tak dapat dipungkiri merupakan hasil latihan dari sang ayah yang dulunya sempat menjadi pemain nasional di tingkat junior.
Sayang, prestasi Fahri di lapangan bola tak berbanding lurus dengan prestasinya di sekolah. Hal ini menggelisahkan hati sang ibu. Tidak jarang kegelisahannya berujung pada pertengkaran dengan sang suami. Kalau sudah begini Fahri biasanya memilih untuk menghindar. Dia akan menginap di rumah neneknya sampai situasi di "dalam negeri" kembali kondusif. Sebuah efek samping dari bakat besar yang dimilikinya.
Inilah sepak bola negeri kita yang selalu melahirkan dilema. Andai Fahri memiliki dana lebih, mungkin dia akan seperti Steven Gerrard di masa kecilnya, yang bersama sang ayah sudah mencari klub-klub sepakbola ternama untuk mengembangkan bakat emasnya. Seperti halnya Gerrard, yang tergiur untuk berjuang menembus tempat utama di tim senior setelah didahului sang kompatriotnya Michael Owen. Ia yang kemudian menjadi kapten legendaris Liverpool, klub yang didambakannya sejak kecil.
Bagiku sendiri, sepakbola adalah tantangan untuk mengendalikan kebiasaan tidur larut. Ayolah, demi kesehatanmu.
Eh malam! *)
*) (Tidur! / bahasa aceh)
Banda Aceh, 17 Februari 2015
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Sepak Bola Sepak"
Post a Comment