Kita bisa melakukan aktivitas sehari-hari dan beristirahat dengan nyaman, tidak lain oleh karena adanya orang-orang yang dengan setia dan bertanggung jawab menjalankan fungsinya masing-masing. Saat semua orang tertidur lelap, maka harus ada orang yang selalu terjaga untuk mengurusi mereka. Untuk itulah mengapa kepedulian merupakan hal yang penting yang harus dijaga.
Dalam era masyarakat global yang ditandai dengan semakin luruhnya batas-batas kewilayahan dan bahkan pelan-pelan menyebabkan peleburan kebudayaan ini, penyakit antisosial bernama individualisme adalah sesuatu yang menjadi musuh nyata yang tak tampak. Permisalan sederhana saja, di perkotaan tradisi kebersamaan mencuci piring sesama warga saat perayaan walimah semakin lama semakin sulit ditemukan. Orang menjadi lebih suka menyerahkan kesempatan tersebut kepada juru cuci piring dari tempat mereka memesan menu jamuan walimah.
Kebudayaan muncul dari rasa peduli, dan rasa peduli itu pula yang menjadi penjaga budaya. Seorang pemimpin yang bijak akan dapat menyadari, bahwa ketika perlahan hasil bumi dan kekayaannya telah terus dikuras habis -- oleh nafsu ketamakan dalam pemenuhan kebutuhan manusia, kelak tak ada lagi yang dapat diwariskan untuk "dijual" kepada dunia melainkan kekayaan budaya dari tradisi di daerahnya.
Kepedulian bahwa manusia adalah makhluk berbudaya, merupakan wujud nyata dari kesadaran tersebut. Tidak heran bila dalam beberapa bahan bacaan yang saya temukan, mantan Gubernur Prof. Dr. H. Ibrahim Hasan, MBA, sangat peduli terhadap upaya pelestarian kebudayaan daerah tersebut. Sekurang-kurangnya, kisah itu terekam dari perhatian beliau terhadap industri kerajinan Aceh yang antara lain dapat disebutkan kepada industri kain tenun songket Aceh dan juga batik Aceh yang masih terus bertahan hingga saat ini.
Kekayaan budaya merupakan identitas yang mewakili kebanggaan yang melekat pada masyarakatnya. Rasanya seakan belum lama ketika para pemimpin dunia ramai-ramai mengenakan batik kebanggaan nusantara saat menghadiri konferensi pemimpin Asia Pasifik (APEC) di Bogor tahun 1995 silam. Nilai budaya yang dimiliki oleh suatu produk kebudayaan merupakan aktiva tak ternilai harganya sebagai perekam sejarah kemajuan suatu masyarakat yang berbudaya.
Beragam program yang diluncurkan kembali saat ini oleh berbagai pihak, seperti Kerja Pengabdian Masyarakat (KPM), aksi-aksi solidaritas yang diluncurkan bersama komunitas sosial, bahkan yang berwujud dalam bentuk corporate social responsibility oleh kalangan usahawan menunjukkan adanya upaya yang terus menerus dilakukan untuk mendorong kembali semangat kepedulian itu. Bondan Winarno, sempat menyatakan rasa keprihatinannya akan hilangnya rasa kerelawanan dan budaya gotong royong yang menjadi kebanggaan kita selama ini.
* * *
Perjuangan saat ini, mungkin bukan lagi berpeluh darah menerjang musuh di medan pertempuran sebagaimana perjuangan para pahlawan yang telah mendahului kita atau sebagian di antaranya masih berada di antara kita. Perjuangan saat ini adalah mengembangkan kapabilitas diri dengan sebaik-baiknya, dan bergerak bersama-sama dalam mewujudkan kebaikan dan perbaikan di negeri yang kita cintai ini.
Penutup catatan ini, sebuah tautan yang menarik untuk dibaca. Sebuah surat dari Walikota Bandung Ridwan Kamil yang membanggakan. Dari jauh kami mendo'akan semoga pelaksanaan peringatan ke-60 tahun Konferensi Asia Afrika di Bandung berjalan dengan lancar. Aamiin.
http://ipayk.tumblr.com/post/49774535547/surat-untuk-pemimpin-masa-depan-by-ridwankamil
Banda Aceh, 8 April 2015.
Padat dan inspiratif tulisannya Azhar.. Kepedulian terkadang muncul jika kita sadar kalau kita juga membutuhkan. Ya kan ya?
ReplyDeleteIya bener banget Kak Haya. Kesadaran kata kuncinya .... :-)
Delete