Bijak bestari berkata, perilaku kita di
jalan raya mencerminkan budaya dan bahkan peradaban yang melingkupi kita. Sebagai pejalan kaki dan pengguna fasilitas umum, saya merasakan betapa sulitnya menyeberang di
jalan raya kota Banda Aceh.
Saya ingin membagikan pengalaman seorang backpacker muslim
bernama Michael Ruppert saat ia berkunjung ke Banda Aceh tepatnya tahun 2015 silam. Saya mengenalnya dari teman blogger saya, Kak
Khairiah. Mike, begitu ia disapa, ternyata seorang mantan tentara dan atlet thriatlon
berkewarganegaraan Belanda-Belgia yang beralih menjadi seorang backpacker.
Sebagai backpacker, ia senang mengikuti kehidupan sosial wilayah yang
dikunjunginya. Saat itu saja, sekitar 60 negara telah dikunjunginya berbekal
persahabatan dan korespondensi dengan para penggemarnya di seluruh dunia. Kisah
bagaimana ia menjadi muallaf setelah pertemuannya dengan muslimah asal Medan –
yang kemudian menjadi istrinya -- menjadi viral belakangan ini.
Michael saat itu menginap di
rumah seorang teman korespondennya di Gampong Beurawe. Michael ikut berpuasa
bersama warga di rumah itu, meskipun saat itu ia belum memeluk agama Islam.
Kami juga mengajaknya berbuka puasa bersama komunitas pegiat bahasa Polyglot
Indonesia Chapter Aceh. Namun yang ingin saya bagikan adalah cerita pribadi
Michael kepada saya tentang betapa sulitnya menyeberang jalan di kota Banda
Aceh.
Sebagaimana lazimnya bulan
Ramadhan, sore hari jalan raya dipadati kendaraan di mana orang-orang mencari
penganan berbuka atau yang biasa kita sebut dengan ta’jil. Bayangkan saja,
untuk menyeberang dari Gapura Beurawe menuju ke arah sebuah toko buku di
kawasan Jl. T. Hasan Dek itu, Michael harus menunggu selama lebih kurang 30
menit.
Tidak ada pengendara yang mau
mengalah, baik pengendara roda dua maupun roda empat. Seperti itulah gambaran
perilaku umum masyarakat kita di jalan raya. Semakin lebar jalanan, maka
semakin kuat pula pengendara menginjak gas kendaraannya. Seakan-akan ia ingin
mengatakan: “akulah raja jalanan, akulah penguasa jalanan, jalanan ini hanya
milikku saja”.
Memang tentu saja tidak semuanya seperti itu, namun – setidaknya
saat itu – hal itulah yang dirasakan oleh Michael. Mendengar cerita Michael,
saya teringat hal tersebut sering saya alami juga. Meskipun juga bukan sekali dua kali ada pengendara yang melambatkan kendaraannya untuk memudahkan saya menyeberang. Apa yang saya gambarkan lebih kepada keadaan umum saja.
Di kota besar seperti Bandung, saya pernah merasakan pengalaman menyeberang yang ‘luar biasa’. Saat itu saya bersama keluarga sedang berjalan-jalan di kota Cihampelas, Bandung. Penulis merasa gamang untuk menyeberang karena lalu lintas kendaraan yang padat, apalagi siang hari itu adalah hari Jumat.
Tiba-tiba, ajaibnya, seorang ibu menghentikan kendaraannya. Seolah tanpa dikomando, tindakan ini diikuti oleh kendaraan-kendaraan lain di belakangnya. Saya yang agak kebingungan melihat peristiwa itu sempat terhenyak sesaat sebelum kemudian menyeberang jalan. Saya terkagum-kagum akan kesantunan dan keramahan penduduk setempat yang menurut saya luar biasa. Pantaslah seorang sastrawan Belanda menyebutkan bahwa kota Bandung diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum.
Hal lainnya yang mengusik saya
adalah kondisi terkini jalanan kita, di mana sudah dipenuhi dengan taman-taman
yang indah. Bukan, bukan taman yang indah itu yang menjadi kegelisahan saya,
justru melihat taman dapat menjadi pengobat hati penawar rindu. Hal yang rancu menurut saya adalah posisi taman seringkali tidak
mempertimbangkan bahwa di titik-titik kepadatan tertentu seperti di depan rumah
sakit, diperlukan adanya jalur-jalur penyeberangan.
Akibat kurang diperhatikannya jalur-jalur penyeberangan tersebut, para pejalan
kaki harus berjalan kaki lebih jauh lagi untuk mencari area penyeberangan terdekat.
Tidak jarang terlihat, mereka harus melompati tali tambang pengaman taman.
Bayangkan jika penyeberang itu adalah seorang manula atau Disabilitas.
Saya berharap dengan gencarnya
penggunaan teknologi untuk mempermudah pembangunan, apalagi dengan isu Industry
Revolution 4.0 dan Society 5.0, kita menjadi semakin peka mengenai hal ini.
Terlebih bagi mereka yang diamanahi jabatan untuk mengurusi hal-hal tersebut,
atau bagi kalangan pengusaha “aghniyaa’” (orang-orang berkecukupan) yang
berkenan mendonasikan hartanya untuk fasilitas umum di kota Banda Aceh yang
lebih baik. Semoga mereka yang diberi masukan tidak alergi dengan
saran dan kritik yang membangun, toh kesemuanya untuk perbaikan fasilitas umum
kota Banda Aceh yang kita cintai.
Secara umum, saya melihat telah
banyak perkembangan untuk pelayanan fasilitas di kota Banda Aceh, namun kita
perlu untuk terus mengupayakan peningkatan di segala sektor. Apalagi saat ini
tengah gencar dipromosikan sebagai pusat wisata budaya halal dunia, sehingga dapat
menjadi landasan dalam memperhatikan ketersediaan fasilitas layanan umum khususnya
yang berkaitan dengan ibadah, makan dan minum, tempat tinggal, transportasi dan
komunikasi baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Bukti fisik,
keandalan, kebersihan, kehalalan, serta pelayanan prima adalah hal-hal yang
sangat kita harapkan dapat kita tampilkan dari kota Banda Aceh ini.
Menjadi pejalan kaki di kota
Banda Aceh tentu saja masih merupakan pilihan yang relatif sehat. Apalagi bila
dibandingkan dengan kota-kota besar seperti Jakarta yang memiliki kadar polusi
yang ‘aduhai’. Adanya kendaraan umum seperti Trans Koetaradja cukup membantu,
apalagi masih digratiskan, meskipun belum mampu menjawab keterhubungan dengan
seluruh sudut kota yang pernah bernama “Koetaradja” pada masa pendudukan
Belanda ini.
Fasilitas seperti jembatan penyeberangan perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Jumlah jembatan penyeberangan masih bisa dihitung dengan jari. Kondisinya pun terbilang seakan tidak terurus. Beberapa bagian jembatan penyeberangan di kawasan dekat Masjid Al-Makmur Lamprit misalnya, sudah terlihat berkarat sehingga setiap kali saya menyeberang maka akan menimbulkan sensasi berdebar, hehe.
|
Jenbatan Harapan, salah satu obyek menarik pada Museum Tsunami Aceh |
Semoga layanan fasilitas umum kita semakin ramah bagi siapa pun
warganya sehingga dapat menjadi rumah yang berperadaban (baca: madani) dan
berprestasi gemilang di masa depan.
Banda Aceh, 15 Maret 2019
Belum ada tanggapan untuk "Susahnya Menyeberang Jalan di Kota Banda Aceh (Sebuah Renungan Sore Hari)"
Post a Comment