Akhir-akhir ini, setidaknya dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan, suasana bersosial media seakan memanas. Netizen seolah menjadi sangat reaktif dan gampang sensitif. Sedikit berbeda pendapat, sudah menimbulkan saling curiga dan membenci. Jutaan orang terhubung melalui dunia maya, namun di sisi lain kepedulian untuk menjaga silaturahim kian memudar.
Saya teringat ujaran seorang sahabat di masa-masa awal mulai terjun di sosial media. Katanya, kehadiran sosial media membuat orang-orang bakal menjadi lebih ekspresif. Di sisi lain, sosial media menghubungkan banyak orang untuk dapat melakukan aksi-aksi positif mulai reuni sekolah, aksi sosial hingga aksi keprihatinan massal terhadap issue-issue tertentu.
Udara segar demokrasi melalui proses Reformasi sejak tahun 1998 mendorong masyarakat mulai berminat pada pembahasan politik, meskipun tidak sedikit pula yang masih bersikap apatis. Meskipun demikian kondisi sosial masyarakat yang masih kurang terbuka terhadap perbedaan menjadikan masa-masa pesta demokrasi sebagai masa yang rawan dengan konflik horisontal.
|
Sumber: Fanpage Muslim' Show |
Kehadiran internet menyebabkan arus informasi menjadi sedemikian cepat. Kehadiran para buzzer sebagai pegiat sosial media berpengaruh (social media influencer) laksana laskar digital yang dapat menyebarkan peluru-peluru informasi, baik yang berdampak positif maupun negatif bagi persatuan dan kesatuan masyarakat.
Kecepatan penyebaran informasi mengakibatkan masyarakat harus siap meningkatkan kemampuan dalam mencernanya. Lebih-lebih dalam masa-masa persiapan untuk perhelatan sebuah pesta demokrasi. Para pasukan cyber dari masing-masing tim sukses sudah menyiapkan strategi khusus dalam mensosialisasikan program-program kerjanya apabila sang calon terpilih.
Maka disebarkanlah berbagai berita melalui dunia maya. Seringkali isu-isu dan berita yang dibagikan menyebabkan kita saling terpancing berkomentar. Terjebak dalam bela-membela ala suporter sepak bola. Sayangnya lagi, terkadang sang penyebar berita sendiri merupakan penulis "hantu" alias "zombie" yang berlindung di balik akun anonim alias akun palsu.
Betapa pemberitaan telah menggiring masyarakat pada subyektifitas.
Menyanjung pilihan laksana idola setinggi langit, dan meletakkan pilihan
lainnya dalam status rendah dan bahkan dibenci dan dimusuhi.
Di
antara penyebab kebencian itu adalah sebaran berita yang berseliweran di
dunia maya, baik yang menyanjung setinggi dewa ataupun yang mengutuk
dalam sebaran dusta. Belum lagi komentar demi komentar yang berisikan sumpah serapah yang dapat menimbulkan amarah dan rasa saling curiga.
|
Disadur dari: mizzaiza.com |
Tampaknya kekhawatiran itu mulai nyata adanya, zaman internet menghadirkan era ketika orang-orang mulai begitu rajin membaca tapi yang dibacanya tidak lebih dari sampah. Belum lagi meninjau ketidakpekaan kita pada lingkungan sekitar saat gadget sudah menguasai setidaknya 18 jam sehari.
Fenomena yang mengkhawatirkan lainnya, masyarakat mulai terdorong menjadi semakin reaktif. Menjadi semakin "aku". Ego keakuan itu dapat terpancing manakala pilihannya dalam pesta demokrasi "diserang" dengan berbagai pemberitaan yang menyudutkan. Tak jarang silaturahim yang dikorbankan. Padahal, bukan tidak mungkin, sebaran berita negatif tersebut disebarkan oleh orang-orang yang tidak berkepentingan kecuali melihat masyarakat kita hancur lebur oleh perselisihan.
Hal lain yang menjadi perhatian saya dari kegiatan bersosial media sehari-hari ini betapa masyarakat krisis akan keteladanan, terutama dari generasi muda. Peran keluarga sebagai benteng terakhir bagi kemajuan generasi muda mendapat ujian dengan arus globalisasi. Budaya kerja keras dan bergotong royong dihantam ombak tsunami berupa budaya yang serba instant dan sikap individualistik.
Lalu bertebaranlah motto-motto hidup yang semakin "aku" di bio generasi muda kita. "Inilah hidupku", "This is my life, I don't care what people say" dan semacamnya. Tentu hal tersebut tidak serta merta dianggap salah, namun dapat mewakili rasa khawatir bahwa generasi muda perlahan tapi pasti mulai menjadi semakin "aku" dan apatis terhadap lingkungan nyata di sekitarnya.
Mau tidak mau, di era modern seperti ini seperti kata pakar marketing dunia Hermawan Kartajaya, kita perlu menyeimbangkan kehidupan dunia maya kita dengan dunia nyata. Sebagaimana kita intensif menjaga komunikasi dengan orang-orang di dunia maya, semakin intensif pula komunikasi dunia nyata yang harus kita upayakan.
Semoga kekhawatiran-kekhawatiran saya tak menjadi kenyataan. Saya harap seperti itu.
Banda Aceh, 12 November 2016
Artikel keren lainnya:
menarik tulisannya, bila sekarang manusia begitu membuka segala kehidupan di dunia maya, saya berpikiran di masa depan manusia akan menyukai hal dulu termasuk menutupi kehidupan pribadinya.
ReplyDeletePercepatan adopsi teknologi yang tidak diiringi kesiapan manusianya, karena ada tahapan-tahapan yg terlewati, sedikit banyak akan berdampak bagi suatu masyarakat. Setuju dgn pandangan Iqbal, akan ada masanya...
Delete