Melihat
motif-motif menarik dengan ragam warna yang memikat hati ini pastilah
membuat hati bertanya, apa kisah di balik pembuatan kain dan siapa
gerangan pembuatnya. Benar, kain-kain yang terpajang di foto ini
bukanlah sekedar kain. Ini adalah tenun songket Aceh yang dapat kita
temui di sentra pengrajin Songket Jasmani di Desa Miruek Taman,
Kecamatan Darussalam, Aceh Besar.
Jasmani
Daud (50), salah seorang pengrajin dari Desa Miruek Taman mulai
berkarya sebagai penenun songket Aceh sejak tahun 1984. Keterampilan
menenun diperolehnya dengan berguru pada mendiang Nyak Mu (Hj. Maryamu)
yang meraih upakarti atas pengabdiannya sejak tahun 1973 bagi
pelestarian pusaka kerajinan budaya Aceh di Desa Siem, Kecamatan
Darussalam, Aceh Besar.
Para
pengrajin ketika itu masih sangat mengandalkan bahan-bahan alami untuk
pembuatan tenun. Setiap akhir pekan banyak wisatawan yang berkunjung ke
Desa Siem untuk melihat proses pembuatan tenun. Di samping itu banyak
yang datang dari berbagai daerah di Aceh untuk berguru pada Nyak Mu,
termasuk di antaranya Jasmani.
Pemerintah
daerah melalui mantan Gubernur (Alm.) Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA
bersama sang isteri Siti Maryam sangat berperan dalam pengembangan
industri kerajinan souvenir Aceh. Begitu pula mantan Bupati Aceh Besar
(Alm.) Drs. H. Sanusi Wahab beserta isterinya Herawati yang konsisten
dalam membina para pengrajin souvenir khas Aceh.
Menurut
penuturan Herawati saat ditemui team I Love Songket Aceh, atas
inisiatif dan komitmen pemerintah daerah saat itu maka dibinalah
industri kerajinan budaya Aceh berbasis rumah tangga (home industry).
Herawati yang saat ini aktif di Dekranasda Aceh dan sebagai Dosen FKIP
PKK Universitas Syiah Kuala menggambarkan masa-masa tersebut sebagai
masa kejayaan para pengrajin souvenir khas Aceh.
Industri
rumah tangga songket Aceh ternyata berpotensi sebagai wisata atraksi
bagi pelancong yang ingin menyaksikan proses pembuatan songket Aceh.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, didirikanlah Balee Buet Jaroe (Pusat
Kerajinan Tangan) Siti Maryam di Desa Miruek Taman, Aceh Besar.
Pemerintah
daerah saat itu juga aktif mengirimkan para pengrajin sebagai delegasi
ke berbagai event seni dan budaya berskala domestik maupun mancanegara.
Dari kegiatan tersebut diharapkan dapat diperoleh umpan balik untuk
pengembangan industri kerajinan budaya Aceh. Di antara event yang
diikuti oleh Jasmani adalah Festival Budaya Tongtong di Belanda pada
tahun 1984.
Pada
tahun 2003, Jasmani menikah dengan Parliansyah, seorang pemuda asal
Samadua Aceh Selatan. Dari abang Jasmani yang sedang merantau ke Aceh
Selatan itulah jodoh mereka dipertemukan. Pada 30 Agustus 2004 mereka
dianugerahi seorang buah hati bernama Alfarrizqi.
Musibah
gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 turut menimpa
sebagian wilayah Desa Miruek Taman. Namun, seiring perdamaian dan
keberhasilan proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami membuat
pariwisata Aceh mulai dilirik oleh masyarakat dunia.
Parliansyah
(39) saat itu sering menyaksikan kegiatan warga di desanya yang bekerja
sebagai penenun. Ia tergerak untuk belajar menenun dan berkat
kesungguhan dan kerja keras itulah ia pun telah memiliki keterampilan
menenun sebagaimana sang istri. Berbagai event dan pelatihan telah
mereka ikuti dalam rangka meningkatkan keterampilan mereka dalam bidang
tenun ini.
Parliansyah
dan Jasmani terus membina silaturahim dengan berbagai pihak baik
pemerintah, sesama pengrajin maupun segenap stakeholder. Pasangan suami
istri ini terus berjuang melestarikan budaya tenun songket Aceh meskipun
keberadaan tenun songket Aceh kian tenggelam dalam arus perkembangan
zaman.
Harapan untuk Keberlangsungan Songket Aceh
Kini,
lebih tiga puluh tahun Jasmani menyalurkan kecintaannya pada bidang
kerajinan tenun songket Aceh. Banyak hal yang telah berubah. Semarak
kecintaan budaya lokal Aceh pada generasi muda belum lagi segempita di
masa silam.
Balee
Buet Jaroe Siti Maryam pun hanya tinggal kenangan. Padahal dahulu di
lokasi ini tersusun rapi peralatan tenun bukan mesin (ATBM)
sekurang-kurangnya sebanyak 20 unit. Di tempat inilah para pengrajin di
Desa Miruek Taman mengerjakan tenun songket Aceh.
Meskipun
dengan segala keterbatasan, dedikasi Jasmani pada pelestarian tenun
songket Aceh patut mendapat apresiasi penuh. Kualitas produksi, inovasi
serta pemasaran harus senantiasa diupayakan dalam melahirkan produk yang
dapat bersaing di pasaran.
Dari
puluhan wanita yang pernah berprofesi sebagai penenun di Desa Miruek
Taman, hanya tinggal sekitar lima orang yang terbilang masih aktif
mengerjakan pesanan tenun dari rumah-rumah mereka. Itupun, di desa
tersebut sepertinya hanya Jasmani saja yang masih menguasai pembuatan
motif.
Sebagai
pengrajin, Jasmani juga mengharapkan perhatian serius pada regenerasi
pengrajin. Hal tersebut dapat diwujudkan antara lain dengan pemberian
muatan lokal menenun bagi pelajar dan mahasiswa di bidang terkait.
Kini,
sebuah pamflet dengan corak motif awan meurante telah menghiasi rumah
dan sekaligus tempat produksi Songket Jasmani. Pamflet kreasi Piyoh
Design tersebut diharapkan dapat membantu pengunjung menemukan lokasi
tersebut.
Songket
Aceh yang indah dan menawan hasil kreasi Songket Jasmani dapat
dijadikan sebagai hantaran (asoe talam) dalam upacara pernikahan adat
Aceh. Biasanya satu set songket Aceh terdiri dari masing-masing sehelai
selendang dan sarung.
Pemesanan
juga dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Bila anda berminat, silakan
berkunjung langsung ke Desa Miruek Taman atau dapat menghubungi akun Instagram Songket Jasmani.
Video Kompas TV Aceh:
Jasmani Daud, Tertatih Menjaga Tenun Songket Aceh
Banda Aceh, 5 Maret 2016.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Songket Jasmani, Tenun Aceh Penuh Kreasi"
Post a Comment