Pagi itu 26
Desember 2004.
Seperti biasanya
Ahad pagi, maka tak ada suasana anak-anak pergi ke sekolah. Para orang tua
melakukan kegiatan sebagaimana biasanya. Ada yang menghabiskannya di rumah
bersama keluarga. Ada pula yang bertamasya ke Pantai Ulee Lheue, yang hanya
berjarak sekitar 4 km dari pusat kota Banda Aceh. Di lapangan Blang Padang,
dekat pusat kota, sedang diadakan suatu even lomba lari massal.
Pukul 08.07, bumi
bergetar hebat. Orang-orang lari berhamburan keluar rumah untuk menghindari
adanya bangunan yang rubuh. Khawatir dan cemas. Kami terayun-ayun dalam gempa
mahadahsyat itu. Jangankan berlari, berdiri saja tak kuat. Bahkanuntuk
berlari keluar rumah saja langkah ini sempat terpaku begitu lama. Suara gemuruh
besar diiringi dentuman-dentuman dari suara bangunan yang rubuh dan
berderik-derik membuat siapapun menjadi gemetar.
Sempat bertanya
dalam hati, jika benar ini kiamat mengapakah tak terlihat matahari terbit di
barat. Lalu pandangan sebentar-sebentar ke langit mengharap gempa segera
berhenti sambil melihat-lihat apakah langit telah terbelah?
Kira-kira sepuluh
menit lamanya, kemudian gempa pun berhenti. Kami terhenyak sesaat. Belum reda
rasa takut, sebuah gempa besar lagi mengguncang selama beberapa detik saja,
lima belas menit kemudian. Lalu sebentar kemudian aku terheran-heran, karena
tiba-tiba saja telah ada keributan dari jalan raya.
“Ada apa, Kak?”,
aku bertanya kepada seorang tetangga sebelah rumahku yang sedang menggendong
keponakannya.
“Tidak tahu,
mereka bilang ada air naik.”
“Air apa?”, aku
tak lagi menunggu jawabannya karena tetanggaku itu juga tampak amat
kebingungan. Aku berlari untuk melihat ke jalan raya yang jaraknya hanya 100
meter saja dari rumahku.
Dari kejauhan
terlihatlah puluhan bahkan mungkin ratusan orang berlari-lari seperti dikejar setan.
Amat gaduh suasananya. Entah apa yang mereka teriakkan. Ada seorang lelaki
bertopi membawa sebuah kardus, lalu terjatuh, lalu diambilnya lagi sambil terus
berlari. Dari balik jembatan di belakang mereka rupanya telah ada kejaran ombak
tsunami yang siap menyeret mereka.
Mendengar kata
air laut aku segera berlari ke rumah. Mengajak Mamak dan Bapak berlari.
Saudara-saudaraku sedang ke pusat kota untuk melihat-lihat kondisi pasca gempa,
jadi hanya ada aku, Bapak dan Mamak. Kami naik ke rumah tetangga sebelah karena
mereka memiliki lantai dua yang cukup tinggi dan membantu menaikkan
barang-barang mereka di lantai satu tanpa memikirkan lagi rumah kami yang
perlahan-lahan direndam oleh air tsunami tersebut.
Perlahan-lahan
air pun mulai masuk ke rumah itu. Di lantai dua itu kami tak sedetik pun dapat
tenang. Mamak mengambil wudhu’ lalu shalat sunat. Bapak yang agak telat sampai
karena melihat-lihat dulu keadaan di sekitar rumah. Air di sekitar rumah kami
memang hanya air yang sudah tak terlalu deras lagi. Tak ada tiba mayat, tak ada
tiba sampah-sampah reruntuhan rumah dan bangunan seperti halnya wilayah-wilayah
lain yang berjarak hanya beberapa kilometer saja dari tempat tinggal kami.
Barangkali karena gelombang besar itu telah sempat menghantam rumah-rumah dan
gedung-gedung bertingkat lainnya sebelum air sampai ke tempat kami. Namun
tinggi air yang sempat mencapai sekitar 2 meter itu membuat kami tak mampu
bergerak kemana-mana.
Di atas rumah
tetangga berlantai dua yang baru saja direnovasi tersebut berulang kali
kalimat-kalimat thayyibah terucap. Aku, Mamak dan Bapak sudah saling mengucap
maaf. Di lantai dua tersebut, berulang kali goncangan gempa susulan terjadi.
Kami hanya bisa pasrah dan terus menerus menyebut nama Ilahi. Berdo’a agar
masih diberi kesempatan untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang kami
kasihi.
Dua jam kemudian
berlalu. Kami perlahan-lahan mulai dapat mendengar kabar yang pasti. Malam
harinya rasanya tak ada yang dapat memejamkan mata. Karena masih khawatir dan
gempa susulan pun terus terjadi. Semua sepertinya saling bercerita.
Malam itu, aku teringat
kembali mimpi yang kualami beberapa minggu sebelumnya. Dalam mimpi itu aku
mengikuti lomba lari, menyusuri rute yang terasa begitu lama. Sampai akhirnya
aku jadi pemenang. Lalu kalungan medali itu oleh seorang Bapak. Dan saat aku
menatap ke belakang, kosong. Yang aku ingat dalam mimpi itu, sama seperti hari
tsunami tersebut, bahwa hari itu matahari bersinar cerah. Aku bersama adikku
hanya bisa menduga-duga, barangkali maksud dari mimpi itu adalah aku
diselamatkan oleh Allah Swt. dalam bencana itu. Tak terbayangkan jika hari itu
aku jadi ke kampus mengikuti kuliah tambahan. Namun bila mengingat kuasa Allah
Swt. hanya rasa syukur dan sabar saja yang dapat kita perbuat.
Sungguh, saat itu
kami tengah diuji dengan ujian yang teramat dahsyat. Tidak sedikit mereka yang
kini sebatang kara, menduda atau menjanda setelah hampir seluruh anggota
keluarganya menjadi korban dalam musibah tersebut. Rumah-rumah dan mata
pencaharian mereka pun luluh lantak oleh tsunami.
Atas
Rahmat Allah Swt., Aceh Kini Tersenyum Lagi
Berbagai bantuan
telah disalurkan dari berbagai wilayah baik dari saudara-saudara kami di
nusantara maupun dari masyarakat internasional. Hal ini menggambarkan betapa
tingginya solidaritas kemanusiaan yang dihadirkan melalui sebuah peristiwa
bencana alam maha dahsyat, gempa bumi 9,0 SR – gempa terkuat dalam 40 tahun
terakhir – mendera di dasar Samudera Hindia posisi barat laut Sumatera.
Hentakannya membalapkan tsunami paling besar dalam sejarah, menghantam penduduk
sepanjang tepian Samudera Hindia, dari Asia, pantai Afrika Selatan bahkan
gelombangnya menderap menyapu Pantai Amerika.
Tragedi Ahad, 26
Desember 2004 itu memang pantas membuat kita shock,histeris,
depresi, bahkan sebagian besar korban hidup terganggu kejiwaannya. Kengerian
pada jam-jam pertama pasca gempa dilaporkan secara langsung oleh reporter Metro
TV Najwa Shihab dengan emosional, dengan isak tangis, dengan kata-kata
terbata-bata. Jiwanya tampak terguncang hebat di tengah banjir sampah dan
gunungan mayat yang campur aduk berserak-serak. Penonton pun tak kuasa menahan
tangis.
Dan dari
kengerian itulah, kita memanen hikmah. Sehingga kapal tanker yang terlempar
jauh ke darat, mobil yang terbelit kabel listrik, mayat-mayat yang terkapar,
terapung, tersangkut… bukan lagi panorama yang meremas hati. Pemandangan itu
adalah sinyal-sinyal Ilahi agar hidup memaknainya untuk meningkatkan kualitas
kehidupannya.
Seperti
masjid-masjid yang tetap kokoh di tengah kehancuran. Dan sebaliknya pasar yang
porak poranda seisinya; apakah ini isyarat agar masjid kelak seramai, bahkan
lebih ramai ketimbang pasar. Dan jalan-jalan yang terbelah itu, apakah
mempertanyakan jalan hidup kita selama ini; luruskah kita membuat jalan
berkelok itu. Sungguh, pada mayat yang bergelimpangan, maut berkata tak
mengenal waktu, tak mengenal tempat, tak mengenal siapa kita.
Atas rahmat Allah
Swt., pada tanggal 15 Agustus 2006, hampir dua tahun setelah peristiwa Tsunami,
ditandatangani perjanjian kesepahaman (Memorandum of Understanding) perdamaian
antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Hasil ini menjadi anugerah terbesar bagi rakyat Aceh,
sehingga rakyat Aceh mulai dapat menatap kembali masa depannya, dari suatu
wilayah yang terisolasi dan tercabik-cabik dalam konflik berkepanjangan,
menjadi wilayah yang berisikan di dalamnya kesejahteraan dan perdamaian
abadi.
Tsunami
mengajarkan kami, bahwa bahkan dalam puncak suatu badai, saat tak tersisa
harapan, tak tersisa lagi ketakutan. Dalam malam yang kelam pun, saat terkelam
adalah saat di mana fajar akan segera menyingsing. Di balik kesulitan, ada
kemudahan.
“Maka
sesungguhnya beserta kesulitan, ada kemudahan. Sesungguhnya, beserta kesulitan
ada kemudahan.” (Q.S. Al-Insyirah
(94): 5-6)
Kota Banda Aceh
kemudian berbenah dan merias kembali dirinya dengan wajah yang lebih cantik dan
menarik berlandaskan syari’at Islam. Puncaknya adalah kegiatan Visit Banda Aceh
Year 2011 yang lalu. Berbagai kegiatan diselenggarakan untuk menunjukkan kepada
dunia rasa terima kasih mendalam dari kami rakyat Aceh, atas segala bantuan dan
perhatian yang telah diberikan kepada kami dalam merangkai kembali mimpi-mimpi
yang sempat tergoyahkan oleh nestapa.
Kini, kami mulai
menata lagi satu per satu batu bata impian dan harapan itu. Agar kami sebagai
generasi muda kelak dapat mewarisi pelajaran dan pengalaman berharga tersebut
dalam membangun mimpi Aceh, serambi Mekkah yang cantik dan menarik berlandaskan
syari’at Islam. Semoga.
"Aku tertidur dan
bermimpi bahwa hidup ini adalah kesenangan.
Aku terbangun dan
melihat bahwa hidup ini adalah sebuah pengabdian.
Aku bertindak,
dan lihatlah, pengabdian memang menyenangkan."
(Rabindranath Tagore)
Banda Aceh, 15
Agustus 2012
Pukul 23.40
Tepat
Peringatan 7 tahun perdamaian Aceh
Referensi Pendukung:
Sunaryo
A. Nurbowo, (Ed.), Mengukir Asa di
Serambi Mekkah, Jakarta: Dompet Dhuafa Republika, 2006.
Belum ada tanggapan untuk "Saat Tak Tersisa Harapan, Tak Tersisa Ketakutan"
Post a Comment