Tetapi baiklah, kali ini kita tidak sedang membahas
korupsi, akan tetapi sepakbola. Kedatangan tiga klub liga premier Inggris:
Arsenal, Liverpool dan Chelsea untuk menguji kualitas anak-anak nusantara dalam
keterampilan menggocek bola menjadi topik hangat belakangan ini. Dan pernyataan
Jose Mourinho, pelatih klub Chelsea menggelitik saya untuk mengkaitkan
sepakbola dengan budaya.
Dalam suatu kesempatan wawancara, Jose Mourinho
mengatakan bahwa kembalinya ia ke Chelsea dengan membawa segudang pengalaman, lantaran
ia baru saja kembali dari menukangi dua klub besar dengan latar belakang budaya
sepakbola yang berbeda. Kedua klub itu adalah Inter Milan dari Italia yang
mewakili budaya sepakbola yang sangat mementingkan strategi dengan Real Madrid
dari Spanyol yang mementingkan keindahan.
Konferensi Pers Klub Chelsea FC sebelum Pertandingan Eksibisi
Antara Indonesia Selection melawan Chelsea FC
Nilai-nilai! Hal itulah yang semestinya kita pelajari dari sepakbola Eropa yang
telah ratusan tahun berkembang dan melahirkan sebuah perpaduan antara disiplin,
seni, manajemen dan sains olahraga. Ketegasan dalam menerapkan aturan dan
penghargaan atas independensi wasit begitu dijaga oleh otoritas sepakbola yang
berwenang sehingga berbagai bentuk penghinaan ataupun tindakan yang dinilai
berupaya mempengaruhi independensi wasit tersebut dapat diganjar hukuman berat
melalui penetapan sanksi yang tegas.
Namun nilai-nilai tersebut juga tak akan berarti bila hanya
diterapkan oleh wasit, pemain dan otoritas yang berwenang. Masih ada suporter
yang dengan jumlahnya yang masif dapat saja menjadi penentu arah dari
pertandingan yang berusia minimal 90 menit itu. Sebuah kerusuhan yang mungkin
saja dipicu oleh hal-hal sepele sudah cukup untuk menyudahi kerja keras dari
latihan berbulan-bulan para pemain di lapangan.
Ketegasan wasit dan kelapanghatian penonton sering jadi kambing hitam. Wasit
sudah cukup tegas, namun penonton membuat ulah lantaran kecewa karena timnya
kalah bisa saja terjadi. Jika sepakbola Eropa yang jadi acuannya, memang
tetap saja ada peluang hal semacam itu terjadi. Sebut saja kerusuhan antara
tifosi Lazio dan AS Roma dalam derby capitale beberapa waktu
silam. Meskipun demikian, hal tersebut merupakan pengecualian, lantaran dalam
pertandingan besar serupa macam derby Manchester atau el-clasico antara
Barcelona dan Real Madrid tetap ada perdebatan mengenai ketegasan wasit, namun
penonton tetap mampu mengendalikan emosi sehingga tidak berujung pada
kerusuhan.
Dalam upaya mereka untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia
2022–meskipun gagal pada akhirnya lantaran Qatar yang terpilih sebagai
penyelenggara even tersebut–Inggris juga telah berhasil mewujudkan
stadion-stadion sepakbola mereka sebagai yang teraman di dunia. Mereka
sepertinya belajar banyak dari kerusuhan yang terjadi pada tahun 1980-an di
mana jumlah pengunjung stadion membludak yang menyebabkan pendukung Liverpool
tewas dalam tragedi Heysel.
Dengan stadion yang aman di mana penonton dan pemain hanya terpisah oleh jarak
yang cukup dekat, hal ini memungkinkan penonton mengajak serta keluarga mereka
untuk menonton sepakbola sebagai pilihan hiburan. Terlebih Liga Inggris kini
merupakan liga terbaik di mana para bintang dari seluruh dunia bermain dalam
banyak big match dan menampilkan berbagai pertandingan yang
menghibur.
Perayaan juara liga Premier Inggris musim kompetisi 2011/2012
oleh tim Manchester City di mana para penggemar harus menunggu
kepastian juara hingga menit -menit terakhir
Peran media juga teramat penting dalam mendukung
perkembangan pemain. Di Inggris, para pemain muda dapat bermanjakan pujian bak
selebriti, namun dalam seejap dapat berbalik arah menjadi kritik yang
menjatuhkan. Hal ini bisa saja menyebabkan tekanan psikologis yang menyebabkan
mereka sulit berkembang. Meski demikian ada juga hal yang tak patut dicontoh
oleh pemain kita, seperti misalnya kebiasaan pemain muda mereka yang digosipkan
suka keluyuran.
Peran media adalah hal yang membuat liga Inggris menjadi
tontonan yang menarik. Hal ini dikarenakan media Inggris cenderung sangat “gila
data” statistik pertandingan. Hal ini menyebabkan klub menjadi mudah
mengevaluasi kinerja pemain dan melakukan perbaikan secara berkesinambungan
atau apa yang disebut dengan “Total Quality Management”. Meskipun pada akhirnya
berdampak buruk pada sepakbola Inggris lantaran para pemain lokal jarang diberi
kesempatan bermain, namun hal tersebut menjadikan liga Inggris menjadi tontonan
yang menarik dan tidak diragukan kualitasnya. Belum lagi dengan perkembangan
sains olahraga, di mana tak jarang klub menjadikan rekaman pertandingan sebagai
bahan evaluasi dalam menentukan strategi untuk pertandingan berikutnya.
Akuisisi klub
D.C. United yang bermain di Major League Soccer (MLS), USA
Tampak Erick
Thohir (kiri)
Pada akhirnya, kita berharap ujicoba
ini dapat menjadi pemicu bagi segenap insan sepakbola di tanah air untuk
merencanakan ulang arah sepakbola Indonesia di masa mendatang. Langkah
Erick Tohir membeli klub Major League Soccer (MLS), D.C. United dalam rangka
“belajar sampai ke negeri Amerika” merupakan langkah yang semestinya bermakna
besar dalam transfer ilmu pengetahuan khususnya pengelolaan manajemen olahraga.
Agar alih-alih menjadi beban bagi pembangunan, sepakbola justru dapat
mewujudkan kesejahteraan insan sepakbola khususnya para pemain, pelatih dan
ofisial. Dan juga sebuah tontonan berkualitas yang menghibur bagi segenap
masyarakat Indonesia tentunya. Semoga.
Banda Aceh, 19 Juli 2013
Pukul 00.15
Belum ada tanggapan untuk "Sudahkah Sepakbola Menjadi Budaya di Indonesia?"
Post a Comment