RUMAH
Jika sepuluh orang ingin memasuki sebuah rumah,
dan hanya sembilan yang menemukan jalan masuk,
yang kesepuluh mestinya tidak mengatakan, "ini sudah takdir Tuhan."
Ia seharusnya mencari tahu apa kekurangannya.
Bait-bait tersebut seakan secara langsung mengetuk pintu hati kesadaran kita manakala terjebak dalam keputusasaan. Puisi memang dapat lebih banyak berbicara apalagi yang lahir dari hati. Rasanya begitu mengenai apa yang disampaikan oleh Rumi.
Menyalahkan takdir tidaklah menjadi solusi, menyerah dalam suatu pekerjaan, terutama apabila ternyata orang-orang yang telah menempuhnya sama-sama berjalan ke arah tersebut dan ternyata kita merupakan bagian yang sedikit yang belum bernasib baik, sementara yang lainnya sudah beroleh keberhasilan.
Jika sepuluh orang ingin memasuki sebuah rumah,
dan hanya sembilan yang menemukan jalan masuk,
yang kesepuluh mestinya tidak mengatakan, "ini sudah takdir Tuhan."
Ia seharusnya mencari tahu apa kekurangannya.
Rasanya kita masing-masing dapat mengevaluasi diri sendiri dengan petuah-petuah bijak yang disampaikan secara santun tersebut. Kedalaman makna yang mudah-mudahan diberikan kemudahan bagi kita untuk
mencerapnya.
Puisi berisi kiasan-kiasan, seringkali mesti memperoleh perenungan kembali untuk bisa menikmati atau mengambil saripatinya. Bait dari Rumi tersebut dalam pandangan terbatas penulis merupakan nasehat yang mengajak kita untuk ber-muhasabah. Tidak buru-buru menyalahkan keadaan manakala apa yang kita peroleh belum sesuai dengan yang kita harapkan.
Namun bila kita kaji lagi bahwa ini adalah puisi, apakah mudah untuk menafsirkannya? Mengapa Rumi memberi judul Rumah, mengapa bukan kata yang lainnya. Ah, sepertinya tidak perlu dibahas. Bukankah yang diperlukan adalah maknanya. Hanya apakah maknanya sebatas itu saja, ya, pemirsa?
"Sebatas itu saja" pun sudah merupakan pelajaran yang luar biasa. Betapa banyak dari kita yang suka mengeluh oleh karena sifat manusia yang suka mengeluh lagi kikir. Memandang apa yang diperolehnya tanpa rasa syukur. Buru-buru mengkambinghitamkan takdir manakala usaha menemui jalan buntu.
Perjuangan hidup kadang berliku, adalah suatu kewajaran karena sudah begitulah adanya kehidupan. Ujian dan tantangan merupakan kesempatan bagi pribadi-pribadi yang kreatif untuk terus berkarya mempersembahkan yang terbaik bagi masyarakat dan kehidupan. Semakin matang dan dewasa kita dalam meraih cita dan pengharapan.
Takdir, sebagaimana penjelasan seorang guru, adalah batas-batas yang telah ditentukan oleh Tuhan, yang batas-batas itu hanya diketahui oleh-Nya. Batas-batas itu baru bisa kita sadari setelah berulang kali mencoba namun menemui batas-batas itu. Sementara Qadha adalah ketetapan yang telah ditentukan semenjak zaman azali atau sebelum penciptaan manusia yang tak dapat diubah bagaimanapun caranya.
Saya pernah mendengar penjelasan dari beberapa guru atau ustadz di televisi bahwa antara do'a dan takdir itu berkelahi di langit. Maka jika sudah melakukan sepenuh usaha dan belum berbuah hasil yang diharapkan, ingatlah masih ada do'a yang menjadi senjatanya orang beriman.
Tidurlah lebih awal, bangunlah lebih awal. Ketuk pintu-pintu langit lewat sujud dan dzikir di sepertiga malam terakhir. Karena di masa itulah munajat do'a dan istighfar lebih bernilai.
Banda Aceh, 09 April 2014
Belum ada tanggapan untuk "Rumah"
Post a Comment