Hari itu, Ahad pagi, 26 Desember 2004.
Gempa bumi yang disusul dengan gelombang tsunami raksasa yang menewaskan sedikitnya ratusan ribu warga yang bermukim di Banda Aceh dan beberapa kabupaten lainnya, termasuk juga di sejumlah negara di sekitar Samudera Hindia bahkan sampai ke Afrika.
Minggu pagi itu sebenarnya aku berencana untuk ke kampus, karena ada kuliah tambahan. Ketika gempa yang amat dahsyat itu datang, Mamak berteriak-teriak memanggilku yang baru saja sedang mandi untuk bersiap ke kampus. Lalu tidak lama aku pun ikut bergabung dengan keluarga di halaman muka rumah kami. Di dekat pagar kami yang hanya ada tanaman pagar itu kami mengucap kalimat tahlil berulang kali.
Sekitar sepuluh menit berlalu, gempa pun usai. Kami masuk kembali ke dalam rumah, melihat air di bak mandi yang terguncang sampai ke langit-langitnya, dan air di ember di mana ada pakaian yang siap dicuci meluber ke lantai. Di hari yang cerah itu seorang tetangga lewat di depan rumah, mengabarkan bahwa kubah Masjid Al-Makmur terhempas ke tanah akibat gempa besar tersebut.
Segera saja warga dengan mengendarai motor keluar ke jalan-jalan untuk melihat kondisi sehabis gempa. Abang dan Adik keluar untuk melihat-lihat suasana dengan naik motor, juga seorang abangku yang lain melihat kondisi usaha rental Play Station-nya, usaha yang dijalaninya bersama teman-teman sembari kuliah.
Aku tetap di rumah bersama Bapak dan Mamak, sementara ketiga saudaraku pergi. Bapak menelepon sanak famili menanyakan keadaan mereka. Listrik terputus namun jaringan telepon masih dalam kondisi bagus. Bapak sempat menelepon saudara di Blower dan kemudian di Kampung Pineung. Sesaat setelah menutup telepon, sebuah gempa yang sepertinya hanya satu hentakan kuat kembali mengayun sejenak. Kami melihat ke arah kipas angin yang tergantung di langit-langit rumah lalu bergerak keluar rumah.
Di luar rumah, tetangga pun sudah berhamburan lagi ke luar rumah. Tidak berapa lama kemudian kepada tetangga yang sedang menggendong bayi ponakannya itu kau bertanya, mengapa ada keramaian di jalan raya yang jaraknya hanya sekitar seratus meter saja dari rumah kami. Tetangga menjawab bahwa mereka berteriak ada air naik.
Aku segera berlari, ke jalan raya. Aku saksikan barisan orang-orang yang sangat ramai berlomba-lomba berkejaran pada jarak sekitar 200 meter dari tempat aku berdiri di jalan raya itu. Seperti dikejar setan. Ada seorang pemuda bertopi yang memanggul seperti sebuah kardus lalu jatuh, ia cepat-cepat mengambil kardus itu dan berlari lagi.
Aku berlari kembali ke rumah dan memberitahu Mamak, dan juga Bapak. "Mak, adek takut. Adek tidak bisa berenang." Kembali teringat musibah tepat 3 tahun 4 bulan sebelumnya ketika acara rihlah tafakkur alam bersama teman-teman sekolah pada Ahad, 26 Agustus 2001 ketika aku tenggelam di seputaran Pantai Lampuuk. Saat itu aku menjadi panitia sebuah permainan games dan diminta mengawasi peserta dan untuk mempersingkat jarak temanku mengajak berenang sehingga kami tidak keduluan peserta. Nahas saat itu aku tenggelam namun bersyukur masih dapat diselamatkan.
Saat aku pergi ke rumah sebelah karena ingin naik ke lantai dua mereka, tetangga yang kuberi kabar soal air naik itu langsung menyebut tsunami. Saat aku Aku berpikir apa itu tsunami. Mungkin ada sedikit ingatan kepada pelajaran Geografi dan Gempa di Halmahera tahun 1992. Juga gempa di Liwa, Lampung yang diabadikan dalam sebuah lagu yang dinyanyikan seorang penyanyi cilik di TVRI pada tahun yang sama. Setelah itu Mamak mengajak ke rumah tetangga yang lain lagi karena merasa di sana lantai duanya lebih tinggi.
Kami lalu berlari lagi ke rumah tetangaku yang memiliki lantai dua yang lebih tinggi namun baru saja dibangun itu. Di sana mereka sedang bergotong royong mengangkat barang-barang di lantai satu yang berpotensi terendam, karena perlahan air pun masuk ke dalam rumah. Sebelum kami ke rumah tetangga itu aku saksikan bagaimana air yang hitam pekat yang sangat deras segera saja memenuhi drainase. Kami merasa seperti dikejar-kejar oleh air itu.
Di malam sebelum tsunami, Bapak dan Mamak terkunci di kamarnya. Aku ingat sekali, waktu itu gagang pintu memang agak "labil" dan tepat di malam itu Bapak dan Mamak terkunci. Lalu Abangku mengambil linggis dan membuka paksa pintu itu. Kami juga ingat sempat mencoba-coba untuk mencungkil jendela namun tidak berhasil. Syukurlah akhirnya pintu itu berhasil dibuka oleh Abang.
Jika mengenang itu, sedikit bergidik ngeri juga. Malam itu saat Bapak dan Mamak terkunci di kamar, kami sedang menonton serial Bunda. Di sekitar tempat kami, hanya berjarak ratusan meter, Bapak imam masjid kami, Tgk. H. Ghazali Ibrahim meninggal dunia karena tertinggal di dalam kamar mandi saat tsunami terjadi keesokan harinya.
* * * * *
Air secara perlahan-lahan mulai menaiki rumah tempat kami berlindung tersebut. Pemuda-pemuda kampung bahu membahu menyelamatkan barang-barang ke lantai dua. Aku hanya terkulai lemas bersama Mamak. Bapak juga ikut naik sambil menyisingkan sarung lantaran agak terlambat setelah melihat-lihat hempasan gelombang tsunami di pinggir jalan T. Syaref Thaeb (air tersebut kemudian berhenti kira-kira 1 kilometer dari tempat tersebut).
Di atas itulah Mamak kemudian mengambil air wudhu' dan shalat sunat dua raka'at. Adik tetangga di rumah itu membagikan kami Surat Yasin untuk dibaca. Terus menerus gelisah, hanya do'a yang bisa kami panjatkan. Tetangga sebelah rumah kami juga ikut naik, ibu tetangga sebelah itu sedang hamil sehingga juga hanya bisa duduk pasrah di sana. Kami tidak bisa kemana-mana, seperti terjebak di atas itu bersama belasan, mungkin puluhan tetangga lainnya yang terjebak di situ. Gempa susulan yang terus terjadi membuat kami kian pasrah.
Kami juga terpisah sementara waktu dengan ketiga saudaraku. Abang yang satu yang tadinya berlari menyelamatkan Play Station ketika ramai orang berlarian kemudian mulanya berniat untuk pergi ke arah Lhoknga -- yang sebenarnya adalah kawasan Pantai -- namun di tengah perjalanan kembali disuruh untuk berlari ke arah pegunungan Mata Ie. Sementara saat itu Abang yang satunya lagi membonceng adik saat sampai ke Simpang Lima baru mendengar adanya informasi air laut naik, pergi ke arah bandara Blang Bintang. Abang langsung berpikir untuk berlari ke arah Blang Bintang, lantaran belum lama mengikuti Kerja Praktek dalam rangka tugas kuliahnya di bandara tersebut. Tempat tersebut memang lebih tinggi dari permukaan laut.
Aku, Bapak dan Mamak berpelukan di atas lantai dua rumah tetangga tersebut sembari saling meminta maaf dan terus melantunkan zikir. Di tempat kami, air laut yang sangat deras itu sempat menyurut sesaat, lalu datang lagi dengan tinggi air yang lebih tinggi. Gempa susulan pun berulang kali datang. Puluhan kali, namun kami tak mungkin turun ke bawah lantaran air sudah mencapai tinggi dua meter di badan jalan. Hanya bisa pasrah. Air tersebut kemudian menggenang dan perlahan-lahan surut, meski setelah berjam-jam lamanya.
Aku yang masih trauma melihat air laut, hanya bisa merasa pusing saat mau turun. Bapak dan Mamak kembali ke rumah untuk melihat-lihat namun aku memutuskan untuk tetap tinggal di situ menunggu situasi normal kembali. Bersama beberapa orang tetangga yang mayoritas kaum ibu dan anak-anak aku masih bertahan di rumah itu sementara mereka yang dalam kondisi sehat berputar-putar melihat keadaan.
Gemetaran, itu yang aku rasakan. Kemudian seorang tetangga datang menawarkan biskuit crackers dan sebotol air mineral. Aku meminumnya, hanya sekedarnya. Juga biskuit hanya kumakan beberapa potong. Semua makanan itu merupakan makanan yang tersisa dari toko-toko kelontong yang ada di sekitar tempat kami. Mulanya aku ragu namun tetangga mengatakan kondisinya sangat darurat.
Barulah di sore hari aku kembali, itu pun setelah adik yang menjemputku -- di rumah yang jaraknya hanya selang satu rumah itu. Alhamdulillah saudara-saudara kandungku selamat karena sempat berlari ke tempat yang aman. Siang hari sebenarnya Mamak sempat mengantarkan air gula untuk menambah tenaga, tapi karena masih terjadi gempa susulan, aku belum berani pulang dan air pun saat itu setinggi lutut.
Selepas shalat 'ashar yang agak telat, kira-kira pukul 6 sore, aku kembali berlari keluar dari kamar. Ternyata kembali ada isu bahwa air laut naik. Ternyata ada saja orang yang ingin memanfaatkan situasi. Situasi ini di beberapa tempat dimanfaatkan oleh para pencuri untuk beraksi menjarah harta-harta di rumah warga. Kondisi warga yang panik juga bisa menjadi pemicunya.
Sementara di beberapa titik lainnya, beberapa kilometer saja dari tempat kam mayat-mayat bergelimpangan bersama sapuan air dan puing-puing yang terseret gelombang tsunami. Bahkan helikopter yang parkir di sebuah kantor Polisi terputar-putar oleh sapuan gelombang tsunami. Warga Banda Aceh, Aceh Besar dan sekitarnyayang masih selamat banyak yang terlibat dalam mengevakuasi mayat, di samping tentara dan relawan dari berbagai lembaga turut bekerja keras hari itu.
Isu tsunami yang kembali mengantarkan kami kembali ke rumah tetangga tadi. Ada beberapa rumah berlantai dua yang malam itu menjadi tempat mengungsi. Di rumah itulah kami makan nasi dari nasi yang masih ada di rice cooker tetangga kami. Satu piring berbagi bersama. Saat itu di tempat lainnya bahkan ada yang belum bisa makan hingga berhari-hari kemudian.
Malam itu gempa susulan terus terjadi termasuk sebuah gempa yang agak besar juga menjelang shubuh hingga akhirnya kami "menyerah" dan memilih tidur di beranda. Suasana gelap akibat terputusnya jaringan listrik diimbangi dengan cahaya bulan purnama yang menerpa. Aku berbantalkan tas ransel berisi ijazah yang sempat kubawa tadi pagi. Hingga keesokan paginya barulah kembali ke rumah untuk membersihkan rumah.
Beberapa hari itu isu air laut kembali naik terus saja berdatangan. Aku sampai harus bolak-balik dari rumah ke rumah tetangga menenteng ransel dan selimut. Untuk malam kedua kami masih tidak berani tidur di rumah dan kembali tidur di rumah tetangga. Beliau sekeluarga memutuskan untuk mengungsi ke kampung halaman beliau, sementara kunci dititipkan kepada kami.
Di hari kedua itu, Bapak pulang sebentar ke Kampung Jruek menghadiri pemakaman empat orang dari keluarga kami yang ikut menjadi korban dalam musibah tersebut: Nek Jruek -- isteri pertama Kakek, Dr. Kamariah -- sepupu satu Kakek, Yasmin -- puteri Dr. Kamariah dan Naila -- keponakan Dr. Kamariah. Baru pada hari Keempat, keluarga yang lainnya Kakak dan Adik sampai dari Jakarta dengan pesawat. Hari itu kami mengungsi ke Indrapuri, tempat kami memantau situasi terkini setelah musibah dahsyat itu dari balik layar televisi.
* * * * *
Hari itu telah menjadi sejarah. Kita mendo'akan agar para korban yang meninggal pada saat itu di terima di sisi Allah Swt dan diampuni segala dosa. Sementara bagi kita korban yang selamat agar dapat mengambil hikmah dan mengingatkan generasi seterusnya tentang peristiwa tsunami tersebut agar dapat lebih tanggap dan siap dalam rangka mitigasi bencana.
Musibah tersebut telah meninggalkan trauma dan luka mendalam. Kami kehilangan banyak sekali saudara, guru, orang tua, sahabat. Bahkan orang tua kami belum pernah melihat musibah sedahsyat itu. Namun kita tetap harus bangkit. Membangun dan menjaga agar semangat untuk melanjutkan hidup agar terus menyala.
Pasti ada hikmah yang barangkali belum bisa terjawab oleh kita. Saat ini perdamaian juga telah kembali bersemi di Aceh dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka sehingga konflik puluhan tahun telah dapat diselesaikan secara arif dan bijaksana. Semoga dapat lestari dan abadi demi masa depan generasi penerus kelak.
Tidak lupa kita ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu proses evakuasi korban tsunami serta rehabilitasi dan rekonstruksi baik secara infrastruktur maupun suprastruktur, fisik materiil maupun mental-moril, sehingga hari ini kami telah dapat menatap masa depan kami kembali. Pemerintah yang bergerak cepat, lembaga donatur dalam dan luar negeri serta tak lupa masyarakat yang telah turut menyumbangkan waktu, dana, pikiran dan tenaga. semua pihak yang telah ikut andil membantu pemulihan pasca bencana tersebut.
Semoga Allah Swt senantiasa melindungi kita semua.
Banda Aceh, 26 Desember 2013
Pukul 15.23 WIB
saya selalu merinding membaca kisah 26 Desember 2004. Dihari itu saya menelpon kerabat dan sahabat yang tinggal di Banda Aceh untuk menanyakan kabar mereka. tapi sulit karena komunikasi yang terputus..
ReplyDeleteKita diberi kemampuan mengingat dan melupakan. Mengingat agar bisa mempersiapkan diri bila bencana akan datang dan melupakan kesedihan untuk kembali bangkit (pelajaran dari berbagai tayangan televisi di pengungsian, selama sebulan saya mengungsi ke rumah adik Bapak di Indrapuri, 27 Km dari Banda Aceh)
ReplyDelete