Hari ini tanggal 2 Mei dan Google menampilkan sosok Ki Hajar Dewantara di laman utama pencariannya. Di kesempatan ini saya ingin menuangkan beberapa inspirasi dalam mewujudkan pendidikan bagi semua kalangan.
Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti seminar Aceh Luar Biasa yang diselenggarakan The Leader. Saat itu Pak Tabrani Yunis, pendiri majalah Potret berbagi kisah inspirasinya dalam mengupayakan kesempatan belajar seluas-luasnya bagi masyarakat. Hal tersebut merupakan tekadnya lantaran ia sendiri sempat merasakan perjuangan yang berat untuk memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan.
Lewat majalah Potret yang didirikannya, ia memberi kesempatan bagi para perempuan untuk menulis, karena menurutnya sangat sedikit media yang memberi kesempatan bagi para penulis perempuan. Bahkan pada media perempuan sendiri. Sejenak saya mencoba untuk memperbandingkan fenomena tersebut dengan kondisi di dunia maya. Secara umum saya melihat fenomana masa kini yaitu keaktifan perempuan dari berbagai latar belakang usia, profesi dan tingkat pendidikan dalam berekspresi di media sosial baik di facebook, twitter maupun blog. Hal ini membuktikan bahwa perempuan membutuhkan media dalam menyalurkan ekspresi mereka, antara lain dengan menulis.
Di salah satu sudut kabupaten Aceh Besar, tepatnya di Gampong Lambirah, Kecamatan Sibreh ada sebuah gerakan yang juga muncul dalam memperjuangkan pendidikan untuk semua kalangan. Adalah Husnul Khatimah bersama teman-temannya yang mendirikan TPM (Taman Pendidikan Masyarakat) Tanyoe. Berawal dari keprihatinan akan kondisi desanya, Husnul dkk menggerakkan kegiatan belajar mengajar melalui les tambahan yang diberikan secara cuma-cuma kepada anak-anak di desa tersebut.
Tidak sedikit kendala yang dihadapi oleh Husnul dkk. Keterbatasan pemahaman sebagian besar masyarakat akan makna penting pendidikan, keterbatasan sarana dan prasarana belajar mengajar, keterbatasan dalam kemudahan akses menuju lokasi desanya dan sejumlah kendala lainnya tidak menyurutkan langkah TPM Tanyoe untuk menjadi oase bagi dahaga masyarakat untuk mengakses pendidikan. Perjuangan yang telah sempat memberikan sejumlah penghargaan antara lain Pelita Nusantara dalam rangkaian Indonesia MDG's Award (IMA) tahun 2013.
Inspirasi bisa datang dari mana saja, seperti halnya teman-teman pecinta bahasa asing dan bahasa daerah di Banda Aceh. Atas inisiatif sendiri, mereka membentuk klub-klub belajar bahasa Inggris untuk berdiskusi, membahas soal dan tidak jarang sambil berekreasi menjelajahi situs-situs budaya dan wisata untuk mempraktekkan bahasa asing mereka. Dengan kemudahan akses internet, banyak media pembelajaran otodidak yang dapat menjadi alternatif di samping mengikuti kursus dan privat yang digelar oleh sejumlah lembaga bahasa yang ada, antara lain Polyglot Indonesia Chapter Aceh yang merupakan bagian dari Polyglot Indonesia.
Belum lama ini, gerakan mempelajari bahasa asing kian masif digencarkan dalam rangka menghadapi era ASEAN Economic Community (AEC) yang sedianya akan dimulai pada 31 Desember 2015 ini. Walikota Bandung Ridwan Kamil atau Kang Emil mencanangkan "Kamis Inggris" sementara Walikota Surabaya Tri Rismaharini a.k.a. Ibu Risma mendirikan Rumah Bahasa yang memberikan pendidikan bahasa secara cuma-cuma bagi masyarakat dalam upaya meningkatkan kesiapan masyarakat menghadapi era "pasar bebas" yang antara lain akan memudahkan arus keluar masuk tenaga kerja antarnegara tersebut.
Wah, ternyata banyak juga cara mewujudkan pendidikan bagi semua kalangan. Semoga terus dapat menginspirasi kita untuk terus meng-up grade kemampuan diri, karena belajar adalah wajib hukumnya sejak dari buaian hingga ke liang lahat.
Banda Aceh, 2 Mei 2015
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Pendidikan Untuk Semua, Why Not?"
Post a Comment