Kepemimpinan
kolaboratif berbeda dengan kepemimpinan tradisional. Kepemimpinan
tradisional membangun sosok "pemimpin yang heroik" di mana seorang
individu pemimpin memiliki visi, menegaskannya, mempengaruhi
orang-orang dan memperoleh pengikutnya. Sebaliknya, kepemimpinan
kolaboratif mengarahkan orang-orang baik dengan concern yang sama
secara konstruktif, sehingga dapat diperoleh keputusan-keputusan bersama
secara sadar dan melibatkan semua anggotanya (inklusif).
Pemahaman mengenai kepemimpinan kolaboratif
(collaborative leadership) menurut situs tamarackcommunity.ca dapat
dijelaskan melalui tiga syarat berikut:
1.
Kolaborasi haruslah bersifat inklusif: kolaborasi dapat mengarahkan
sekelompok orang yang memiliki kesesuaian atau kecocokan perhatian
(concern) bersama.
2. Kolaborasi
haruslah bersifat membangun (constructive): kolaborasi merancang proses
yang memungkinkan kelompok untuk menyepakati perbedaan pemahaman akan
isu-isu tertentu, keragaman tingkat saling percaya (trust) dan pada
akhirnya proses tersebut mendorong para anggotanya untuk dapat bekerja
bersama-sama.
3. Informasi yang
baik merupakan komponen penting dalam kolaborasi. Libatkan para pakar di
bidangnya sebagai informan, bukan sebagai penyebar informasi (dalam
rantai prosesnya).
Patut
digarisbawahi, bagaimana kita mengambil keputusan jauh lebih penting
daripada apa yang diputuskan. Seringkali kita memilih berfokus kepada
sebuah solusi daripada memikirkan proses yang mengantarkan kita kepada
solusi tersebut.
Ketika
kolaborasi bekerja dengan baik, maka dapat memproduksi dan membangun
karakteristik komunitas sipil (civic community), yang sigap dan cermat
menghadapi isu-isu atau permasalahan di masa depan dengan cara yang
konstruktif. Kolaborasi dapat berperan sebagai modal sosial (social
capital). Kolaborasi merupakan kepemimpinan gaya baru.
Selayang Pandang Mengenai Kolaborasi Komunitas di Aceh
Dalam pandangan penulis, isu-isu utama yang
mendominasi gerakan kepemudaan di Aceh saat ini terdiri atas
kemanusiaan, mitigasi bencana serta konservasi lingkungan dan ekosistem.
Ini terlihat antara lain dalam isu Palestina dan pengungsi Rohingya
serta aksi kemanusiaan pada saat bencana gempa Aceh Tengah dan Pidie
Jaya.
Di
samping itu, isu-isu yang tampaknya terus hangat dibicarakan termasuk
pendidikan dan syariat, kesehatan, kesejahteraan sosial, perlindungan
kaum wanita, anak-anak dan Disabilitas, pelayanan publik serta seni,
budaya, pariwisata dan ekonomi kreatif.
Secara
khusus, komunitas dalam arti sempit sebagaimana dibahas di awal tulisan
ini merupakan hal yang tergolong baru di Aceh. Era digital memudahkan
pemuda-pemudi Aceh untuk memanfaatkan kesempatan yang dimilikinya untuk
peningkatan kapasitas dan kapabilitasnya (baca: soft skill dan hard
skill).
Inilah
masa di mana pemuda harus ambil bagian untuk tidak hanya menjadi
penonton atau mencari sensasi namun juga turut serta dalam perwujudan
aksi.
(Bersambung)
#kolaborasi
#komunitas
#aksi
#pemuda
#komunitasaceh
#pemudaaceh
|
www.redbooth.com |
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Suka dan Duka Berkolaborasi dan Berkomunitas (Bagian 2 dari 3 Tulisan)"
Post a Comment