Di antara kisah-kisah nostalgia yang masih dikenang hingga saat ini adalah kisah tentang dua raket bulu tangkis seharga masing-masing Rp 7.500 (waktu itu masih tergolong mahal) yang dibelikan Bapak pada suatu hari. Dengan kedua raket itu, kami sekeluarga bisa saling bergantian bermain bulu tangkis. Biasanya di ruang tamu atau ruang tengah, meskipun sebenarnya lebih nyaman bermain di luar rumah karena shuttlecock alias bola pada permainan bulu tangkis itu lebih bebas melayang di udara.
Ini adalah kisah yang terjadi sekitar tahun 1993-1994, ketika aku masih duduk di kelas 3 atau 4 Madrasah Ibtidaiyah. Waktu permainannya pun bisa beragam, bisa sore atau malam hari. Bisa menjadi alternatif permainan menarik di samping bermain sepakbola dengan bola kecil dan gawang kecil yang agak beresiko terhadap barang-barang yang ada di rumah.
Barangkali semua sama tahu jika di Indonesia olahraga yang paling populer di samping sepakbola adalah bulu tangkis. Sejak kecil atau lebih tepatnya ketika kami bersama-sama menyaksikan kepahlawanan Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti yang meraih masing-masing sebuah medali emas Olympiade Barcelona tahun 1992, dan berikutnya pasangan Ganda Putra Ricky Subagdja dan Rexy Mainaky membawa pulang emas di Olympiade Atlanta 1996, kesukaan pada olahraga yang relatif lebih aman dari resiko cedera ini semakin bertambah.
Gaya-gaya pebulutangkis, semisal gaya service Susi Susanti yang bakal melingkarkan raket melalui kepalanya sering jadi favorit. Bermain di luar rumah ataupun di ruang garasi jadi pilihan yang lebih menarik karena shuttlecock lebih bebas melayang di udara. Bahkan tidak jarang tetangga juga ikut bermain bersama kami. Saat itu kami membuat turnamen kecil-kecilan. Abang yang kemudian mengecat lantai garasi sehingga ada pembatas untuk menentukan bola masuk atau keluar lapangan.
Tidak jauh dari rumah kami sebenarnya ada sebuah lapangan, tapi itu lapangan tenis. Lebih tepatnya lapangan tenis tempat para dokter yang kebetulan berkompleks yang bersebelahan dengan rumah-rumah kami. Sekarang lapangan tenis itu sudah "digusur" karena perluasan pembangunan Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin atas bantuan pemerintah Jerman.
Tiba-tiba aku menjadi rindu akan hadirnya sebuah ruang terbuka hijau di kotaku. Dulu di samping lapangan tenis itu luas sekali tanah terhampar yang bisa menjadi tempat bermain bola, atau sekedar mencari belalang atau capung seperti kegemaranku dan teman-temanku waktu kecil.
Saluran-saluran air di sekitar rumahku yang dulu masih banyak areal persawahan juga menjadi tempat mencari ikan semacam ikan cupang, ikan gabus atau ikan lele. Bahkan tak jarang jika hujan lebat maka ikan-ikan sungai itu melompat dari saluran air ke badan jalan. Di rumah tetanggaku malah ikan-ikan itu dengan mudahnya melompat ke beranda rumah mereka.
Sayangnya sekarang perlahan ruang-ruang kosong tempat bermain itu perlahan-lahan mulai berkurang. Anak-anak pun sepertinya mulai berkurang lahan bermainnya. Pemerintah Kota Banda Aceh seharusnya dapat segera memikirkan hal ini. Masih banyak tempat-tempat yang potensial untuk dijadikan ruang terbuka hijau sebagai ruang bernapas bagi masyarakat kota Banda Aceh.
antarafoto.com
Saya ingat dulu ketika jogging di pagi hari, di ujung jalan rumah saya, saya masih dapat menyaksikan matahari terbit dan sejumlah kawanan burung yang baru saja berangkat untuk mengunduh rezeki mereka. Ada pula sejumlah bangau putih yang indah nian dipandang yang bermain-main menyambut pagi. Kini, dengan banyaknya perumahan yang baru dibangun, perlahan-lahan pemandangan itu mulai tergantikan.
Memang pada saat ini pemerintah telah melakukan sejumlah pembangunan, seperti misalnya Hutan Kota BNI yang diresmikan oleh Presiden SBY beberapa tahun silam. Namun seiring dengan mulai bertambah padantnya penduduk kota Banda Aceh, bertambahnya jumlah kendaraan dan polusi, juga kebutuhan anak-anak untuk ruang bermain sebagai sarana meningkatkan kreativitas mereka, keberadaan ruang hijau-ruang hijau yang baru adalah sebuah hal yang patut untuk diupayakan bersama.
Kita tidak mengharapkan anak-anak tumbuh dalam suasana perkotaan yang "modern"; lingkungan yang sumpek, hari-harinya berkutat dengan media elektronik dan tidak mau bergaul dengan lingkungan sosial. Orang tua memberikan mereka sejumlah gadget tapi mereka malah menjadi asosial, lebih suka menyendiri bersama gadget. Pada akhirnya hasil pendidikan yang diharapkan yaitu generasi muda yang berilmu pengetahuan sekaligus peduli terhadap sesama menjadi sulit diwujudkan.
slideshare.net
Nah, demikian pemirsa. Sekedar catatan nostalgia dari hari Sabtu saya. Lagi-lagi terjebak untuk tidak fokus ya. Dari bulu tangkis menjadi ruang terbuka hijau bahasan kita. Hihihi ...
Banda Aceh, 18 Mei 2014
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Bulu Tangkis dan Ruang Terbuka Hijau di Kotaku"
Post a Comment