Setelah menguasai 95 persen saham Bank NISP, perlahan namun pasti masyarakat mulai melihat NISP sebagai bank yang sangat menjaga kepercayaan nasabah. Berbekal vespa, Karmaka bergerilya mencari nasabah baru. Puncaknya adalah pada masa krisis moneter tahun 1968 di mana terjadi devaluasi pertama pada masa Orde Baru. Banyak bank yang kolaps, namun sebaliknya bagi Bank NISP justru menjadi tempat masyarakat mengalihkan dana mereka. Suasana kondusif tersebut ditambah lagi dengan suntikan dana dari mitra baru mereka Daiwa Bank asal Jepang. Meski belum termasuk dalam jajaran bank yang terbesar, Bank NISP termasuk dalam kategori bank yang terkenal akan kehati-hatian, reputasi baik dan memiliki nasabah-nasabah yang sangat setia.
Di saat-saat Bank NISP memasuki era jayanya, musibah pun berdatangan. Musibah pertama adalah meninggalnya sang mertua, Lim Khe Tjie. Musibah kedua adalah Karmaka divonis menderita sirosis hati atau pengerasan hati dan tidak akan hidup lebih lama dari lima tahun.
Kisah ini kemudian berlanjut ketika putra-putrinya distudikan setinggi-tingginya untuk dipersiapkan sebagai kader penerus Karmaka dalam memimpin Bank NISP. Ternyata Karmaka sanggup bertahan dan berjuang hingga 18 tahun kemudian setelah vonis mati pada tahun 1978 tersebut dinyatakan oleh dokter. Barangkali hal itu tidak luput dari kedisiplinannya dalam menjaga fisik saat menjadi guru olahraga di masa mudanya.
Pada tahun 1996, dalam sebuah rapat Karmaka tiba-tiba muntah darah. Dari hasil pemeriksaan di RS Boromeus, Bandung diketahui saluran pencernaan Karmaka pecah di tujuh titik, yang diakibatkan terhambatnya aliran darah yang hendak masuk ke liver karena sudah terlanjur mengeras. Setelah berulangkali transfusi darah, Karmaka diputuskan untuk melakukan transplantasi hati dan diterbangkan ke New York melalui Singapore meski dalam keadaan tidak sadarkan diri. Namun di sana ternyata Karmaka diminta menunggu lantaran panjangnya antrean pasien, bahkan bisa saja penantian tersebut mencapai lebih dari satu tahun.
Sementara dari Indonesia kondisi krisis moneter kembali menerpa dan menyebabkan banyak bank yang kolaps. Karmaka meski terbaring lemah di ICU namun pikirannya tidak dapat lepas dari bank yang dipimpinnya. Karmaka memutuskan agar seluruh anaknya tidak perlu menungguinya lagi dan segera kembali ke Indonesia untuk memimpin Bank NISP secara langsung. Tanpa sepengetahuan Karmaka, salah satu putrinya, Sanitri Surjaudaja tetap tinggal di New York melaporkan kondisi ayah mereka dari waktu ke waktu sampai waktu transplan tiba.
Hari yang ditunggu pun tiba, Karmaka memperoleh donor liver dari seorang korban kecelakaan yang tewas dan masih berusia 31 tahun dengan kondisi liver yang masih sangat baik. Sanitri segera mengabari keluarganya dan pada Desember 1997 Karmaka yang kondisinya sudah semakin membaik pulang ke Indonesia.
Kondisi krisis moneter tak disangka membuat banyak nasabah yang mengantre untuk menyimpan uang mereka di Bank NISP . Saat kerusuhan pada Mei 1998, karyawannya dengan gigih berjuang menjaga agar Bank NISP tidak ikut menjadi korban penjarahan dan amuk massa. Keberhasilan Bank NISP melewati masa krisis tidak lepas dari baiknya Bank NISP dalam menjaga hubungan dengan masyarakat di sekitar Bank sebagai tanggung jawab sosial perusahaan. Di samping itu, Bank NISP tidak terjebak untuk ikut-ikutan mengenakan bunga gila-gilaan seperti langkah yang diambil bank lainnya ketika indikator instrumen Bank Indonesia mencapai angka 70 persen. NISP tetap mengenakan bunga pinjaman yang lebih rendah dari pasar bahkan di bawah bunga deposito. NISP tetap menjaga komitmennya untuk menjaga kepercayaan nasabahnya sepanjang masa.
Pada tahun 2008, NISP memasuki era baru dengan melakukan
strategic partner di mana sebanyak 70 persen sahamnya dilepas kepada OCBC. Kemitraan ini dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas bank tersebut di masa mendatang. Atas jasa-jasanya yang sangat besar, Bank OCBC memberikan gelar seumur hidup Chairman Emeritus kepada Karmaka.
Seiring usia dan berbagai pengobatan yang dijalaninya, Karmaka harus melakukan transplantasi ginjal sebanyak dua kali. Atas saran putranya, Pramukti, Karmaka rajin berolahraga pernafasan Tai Chi Quen sehingga fisik dan kekebalan tubuhnya sangat kuat. Ini juga sangat mendukung Karmaka, sehingga fisiknya dapat bertahan hingga kini!
Sebagaimana dituturkan Dahlan Iskan sang penulis buku ini, kisah hidup Karmaka merupakan sebuah pelajaran mengenai semangat kerja keras remaja yang tak kenal putus asa. Juga contoh pelaksana amanah: amanah orang tua sebagai anak sulung dan amanah mertua menyelamatkan Bank NISP secara mati-matian. Karmaka juga contoh semangat berkorban untuk keluarganya, adik-adiknya, karyawannya, dan perusahaannya. Ia tidak kenal menyerah dalam mengatasi segala kesulitan, baik sebagai buruh, saat jadi pimpinan maupun saat sakit parah. Karmaka juga cermin kepemimpinan yang kuat, mampu menghadapi krisis, dan kepemimpinan yang mempunyai visi ke depan. Yang tidak kalah penting, Karmaka berhasil dalam upaya regenerasi kepemimpinan yang sukses. Karmaka benar-benar seorang contoh yang jarang ada.
Buku
Tidak Ada Yang Tidak Bisa merupakan sebuah buku referensi mengenai perjalanan Bank NISP di bawah kepemimpinan Karmaka Surjaudaya. Sikap jujur, menjaga nama baik, bekerja keras dan berani memperjuangkan yang baik adalah sikap yang telah sama kita ketahui, namun tidak semua orang mampu dan mau melakukannya. Kisah Karmaka menjadi pelajaran untuk tetap hidup sehat dan berakhlak mulia.
Banda Aceh, 02 November 2013
Pukul 20:13
Hari ini, empat belas bulan sudah sejak Bapak Dahlan Iskan menuliskan ucapan dan menandatangani buku yang saya beli suatu hari di bulan April 2012. Terima kasih, ya Pak.
Baca juga:
Tidak Ada yang Tidak Bisa (Bagian Pertama)
Tidak Ada yang Tidak Bisa (Bagian Kedua)
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Tidak Ada Yang Tidak Bisa (Bagian 3 - Tamat)"
Post a Comment