Dari sebuah bus Damri yang sedang menunggui penumpangnya di kawasan terminal angkutan umum di Banda Aceh, saya melanjutkan untuk membaca buku setebal 264 halaman tersebut. Bait demi bait yang dituliskan Dahlan serasa membawa saya kembali ke masa itu, masa ketika kisah ini berlangsung. Karmaka menceritakan semua kisah ini pada Dahlan, dengan harapan dapat kita ambil hikmahnya selaku generasi muda penerus harapan bangsa.
Kisah ini bermula pada tahun 1935 ketika ibunda Karmaka hendak menyusul suaminya ke kota Bandung, meninggalkan kampung halamannya Hokja, Provinsi Fujian, Tiongkok. Suaminya Kwee Tjie Kui telah dua tahun lebih dulu berlayar mengarungi Laut Cina Selatan. Sempat ditolak turun ke kapal lantaran terserang diare dan khawatir menjadi wabah penyakit, Kwee Tjie Hoei yang masih berusia 10 bulan akhirnya mendapat jaminan sebesar 500 gulden dari seorang pengusaha sukses asal Hokja yang telah lama menetap di Bandung, The Tjie Toen. Kelak, di usia 32 tahun bayi mungil itu memperoleh kewarganegaraan Indonesia dan mengganti namanya menjadi Karmaka Surjaudaja.
Perjalanan Karmaka kecil dilalui dengan berbagai ujian dan rintangan. Saat sang ayah mengalami musibah patah tulang dan Karmaka yang masih duduk di kelas 2 SMP memutuskan berhenti sekolah untuk menggantikan ayahnya bekerja selama setahun. Saat lulus SMA yang bersamaan dengan kelulusan adiknya Kwee Tjie Ong, Karmaka memutuskan mengalah agar adiknya dapat kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal ini dilakukannya meskipun ia sendiri sangat gandrung untuk masuk Institut Teknologi Bandung pada jurusan favoritnya: elektro.
Berbagai pekerjaan pun dilakoninya siang dan malam untuk membiayai kuliah adiknya mulai dari menjadi guru olahraga, memberi kursus privat bagi anak-anak orang berada dan bekerja di pabrik tekstil. Di saat sang adik menunggu wisuda sebagai dokter spesialis penyakit dalam, Karmaka harus kehilangan sang adik dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.
Kisah ini terus berlanjut ketika kepintaran, kejujuran dan sikap kerja keras Karmaka mulai dikenal luas. Hal tersebut ditunjukkannya saat dalam waktu singkat berhasil menemukan kebocoran di pabrik tekstil tempat ia bekerja dan meningkatkan keuntungan perusahaan tersebut. Sang pemilik bermurah hati menawarkan berbagai fasilitas termasuk pendidikan ke Jepang yang diidamkannya selama ini dan juga perjodohan dengan gadis anak familinya. Namun kesetiaannya pada Kwei Ing, putri seorang pemilik bank ternama yang pernah menjadi murid les privatnya, membuatnya menolak semua tawaran tersebut.
Kwei Ing, seorang yang berhati mulia bersedia menikah dengan Karmaka dan hidup sederhana bersamanya dan sembilan orang adiknya. Lantaran belum lagi memperoleh pekerjaan setelah berhenti dari perusahaan lamanya, sang mertua meminta bantuan Tan Lin Tjik, rekannya sesama pejuang kemerdekaan yang juga memiliki pabrik tekstil NV Padasuka Majalaya untuk mempekerjakan Karmaka. Dianggap sukses, Karmaka diminta sang mertua mengelola Bank NISP sementara sang mertua hendak pulang ke Tiongkok untuk menziarahi makam orang tuanya.
Karmaka pada mulanya tidak menyangka bahwa permasalahan yang dialami oleh Bank NISP sudah begitu kronis. Usut punya usut, ternyata krisis yang terjadi di tubuh Bank NISP merupakan hasil dari ulah orang-orang kepercayaan Lim Khe Tjie, sang mertua. Meskipun telah beroleh saham perusahaan sebesar 41 persen, kepercayaan Lim Khe Tjie telah disalahgunakan dengan berbagai praktik menyimpang, antara lain memberi kredit tanpa agunan kepada perusahaan sendiri dan penawaran investasi bodong impor mobil.
Berbekal dukungan penuh para karyawan, Karmaka berhasil meyakinkan pengadilan untuk membatalkan penyitaan aset dan menjadikan dirinya selaku menantu Lim Khe Tjie sang pemilik saham mayoritas untuk menyelesaikan semua masalah dengan nasabah. Bahkan Jaksa Agung turun tangan untuk memeriksa proyek-proyek bernuansa fiktif dan ilegal yang terlanjur dijalankan oleh manajemen lama. Semua saham pihak manajemen lama yang cukup besar yaitu 43 persen--diperoleh dari berbagai upaya penyelewengan--disita dan pimpinan yang menyeleweng dijebloskan ke dalam tahanan.
Tindakan Karmaka tentu saja menimbulkan reaksi dari mereka yang terbukti menyeleweng. Berbagai upaya dan ancaman dilakukan untuk membuat Karmaka mundur dalam upayanya menyelamatkan bank milik sang mertua, Lim Khe Tjie. Beberapa kali Karmaka mendapat ancaman bahkan mengalami percobaan pembunuhan. Namun tidak seinci pun Karmaka surut. Malahan Karmaka terus bekerja keras lantaran Bank Indonesia hanya memberinya waktu tiga tahun untuk menyelesaikan segala permasalahan di tubuh Bank NISP.
Lantaran tidak bisa memenuhi permintaan dari seorang Bos Besar yang ingin menguasai seluruh saham Bank NISP--sang Bos Besar sebelumnya telah menjadi pemenang pada lelang 43 persen saham Bank NISP yang dulu dirampas oleh pihak manajemen lama yang menyeleweng, Karmaka mencari bantuan pada rekannya di Persatuan Bank Swasta Nasional (Perbanas). Mitra barunya kemudian membeli 43 persen saham tersebut dari Bos Besar tersebut. Namun ternyata mitra baru ini tidak bisa diharap, malah merepotkan. Akibat sering kalah kliring, tidak sedikit modal Bank NISP yang digunakan olehnya untuk menutupi kalah kliring tersebut.
Karmaka kemudian meminjam uang Rp 6 Miliar (uang pada saat itu tahun 1966) dengan bunga 15% sebulan atau hampir 200% setahun dan mem-PHK 3.000-an karyawannya yang kemudian menuntut 10 kali pesangon. Hal tersebut terpaksa dilakukannya untuk menghindari ancaman pailit dari Bank Indonesia, di mana dari tiga tahun waktu yang diberikan hanya tersisa satu tahun lagi. Karmaka sendiri tidak tahu harus menutup utang dan membayar pesangon karyawannya dari mana. Di tengah kekalutan yang amat sangat tersebut, Karmaka memilih untuk meminum racun setelah menulis beberapa surat wasiat yang tersimpan dalam sebuah amplop. Ternyata Tuhan berkehendak lain dan upaya Karmaka pun mengalami kegagalan.
Karmaka ditemukan dalam keadaan pingsan oleh istrinya, dan ketika sadar ia sudah berada di rumah sakit Boromeus, Bandung. Sang dokter menegur Karmaka atas kejadian itu. Karmaka meminta maaf kepada dokter dan menceritakan hal ihwal yang menimpanya. Ia pun masih sempat memusnahkan semua surat wasiat yang sempat ditulisnya.
Meskipun sedang dalam kondisi sakit namun tuntutan dari para karyawan terhadap 10 kali pesangon tidak mengendur. Di tengah permasalahan yang menimpanya, Karmaka mendapat kabar gembira mengenai status kewarganegaraannya. Karmaka akhirnya beroleh status kewarganegaraan Indonesia yang ditandatangani oleh Bung Karno. Karmaka adalah orang terakhir yang diberikan kewarganegaraan melalui tanda tangan Bung Karno.
Pengorbanan sang istri juga menjadikan Karmaka mampu melewati masalah demi masalah yang dihadapinya. Sang istri bahkan rela menggadaikan rumah orang tuanya untuk mengambil pinjaman, meskipun itu merupakan sebuah keputusan yang teramat sulit lantaran merupakan warisan ayahnya. Titik balik dari krisis yang menerpa Bank NISP adalah ketika pemilik bank yang dulu bersedia membeli 43 persen saham Bank NISP bersedia melepas sahamnya kepada Karmaka, sehingga Karmaka dan keluarganya telah memegang 95 persen saham yang berarti adalah pemilik tunggal perusahaan meskipun sang pemilik lama saham tersebut juga mewariskan sejumlah masalah utang.
(Bersambung)
Banda Aceh, 01 November 2013
Pukul 16.01
Baca juga:
Tidak Ada yang Tidak Bisa (Bagian Pertama)
Tidak Ada yang Tidak Bisa (Bagian Ketiga - Tamat)
Belum ada tanggapan untuk "Tidak Ada Yang Tidak Bisa (Bagian Kedua)"
Post a Comment