Ada banyak hal menarik yang terjadi di sekeliling kita yang terus diperbincangkan sehingga mau tidak mau akan terasakan juga adanya. Musibah demi musibah yang melanda juga menyapa ibukota negeri kita, tempat di mana banyak orang berpengharapan baik akan melimpahnya sumber rezeki di sana; Jakarta.
Kemarin, dalam acara Mario Teguh ada hal yang tidak biasanya yaitu diundangnya para korban banjir Jakarta ke Studio Metro TV. Di sanalah para korban banjir yang sebenarnya sudah begitu sering mengalami banjir sejak tahun 1996 -- meski tidak setiap tahun juga -- menceritakan keluh kesah mereka dan mengapa mereka masih tetap bertahan untuk tinggal di wilayah yang menjadi langganan banjir tersebut.
Tentu saja bagi kita yang terus mengikuti perkembangan berita terkini terus melihat dan mempelajari situasi di mana pemerintah dan masyarakat saling bahu membahu. Masyarakat ikut tergerak untuk mengumpulkan bantuan yang disalurkan melalui berbagai lembaga baik yang bersifat lembaga swada masyarakat, berbagai organisasi kemanusiaan, organisasi sosial politik, komunitas umat beragama dan sebagainya. Atas dasar rasa kemanusiaan semua tergerak untuk saling bahu membahu meringankan beban saudara-saudaranya yang membutuhkan.
Di saat masalah banjir menyapa ibukota, banjir bandang melanda Manado. Di Sumatera Utara letusan Gunung Sinabung telah membuat puluhan ribu warga mengungsi mencari tempat yang lebih aman. Sementara itu tak sedikit pula jumlahnya hasil pertanian yang rusak akibat tertutup debu vulkanik.
Saya kembali mengingat masa-masa satu bulan berada di pengungsian saat musibah tsunami tahun 2004 silam. Saat itu dari sebuah stasiun televisi swasta nasional, Metro TV, TV nasional TVRI dan juga sejumlah televisi lainnya menyajikan upaya demi upaya yang dilakukan segenap wajah bening bangsa ini. Pengamat, pemerintah, agamawan, budayawan, semua saling berbagi pengetahuan yang mereka miliki dalam rangka mengurangi beban penderitaan warga.
Dari televisi itu kami menyaksikan laporan langsung seorang reporter, Najwa Shihab yang sempat terisak mengabarkan kondisi daerah kami yang saat itu hancur lebur setelah sapuan badai tsunami yang menyusuli gempa bumi besar sebelumnya. Dari laporan tersebut para donatur pun tergerak sehingga sebuah angka yang besar segera terkumpul dalam waktu relatif singkat. Sosiolog, ahli kesehatan, tokoh pemerhati anak dan sebagainya turut berbagi suara dalam menyampaikan program demi program pemulihan trauma pasca bencana. Pemerintah saat itu tak kalah sigap.
Pemerintah di antaranya Wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu ikut shalat Jum'at pertama kalinya dalam suasana darurat bersama kami dan segera memerintahkan agar Jum'at itu kegiatan ekonomi kembali didenyutkan. Pasar Lambaro segera dihidupkan karena masih ada kegiatan ekonomi masyarakat sekitar yang bisa digerakkan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari khususnya dari Aceh Besar dan juga dari Sumatera Utara. Beberapa waktu sebelumnya Presiden SBY juga telah mengunjungi kami. Mengevakuasi korban yang meninggal dan menyelamatkan korban yang masih hidup adalah instruksi pertama di masa darurat bencana ketika itu.
Dana bantuan asing pun diperkenankan masuk meskipun status daerah Aceh saat itu masih dalam suasana konflik atau darurat militer. Hal ini sesuai kesepakatan internasional yang membolehkan dalam kondisi gempa besar bantuan asing dibolehkan masuk ke wilayah terkena dampak bencana.
Sejak saat itu daerah Aceh pun kembali bangkit ditandai dengan perdamaian antara pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Perdamaian tersebut membuat proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana tsunami membawa daerah Aceh agar dapat menatap masa depan yang gemilang.
Kembali lagi kepada kisah bencana yang akhir-akhir ini melanda. Semoga ada hikmahnya dalam mencewasakan bangsa ini. Semoga bencana tersebut dapat mempercepat proyek infrastruktur yang selama ini terhambat, sehingga di masa yang akan datang bencana tersebut tidak terulang lagi.
Kita dapat belajar dari Thailand, sebagaimana tajuk berita harian Republika hari ini 20 Januari 2014. Thailand sempat dilanda banjir terparah pada tahun 2011 yang nyaris menenggelamkan semua provinsinya dan menyebabkan puluhan korban tewas. Saat itu enam juta hektar lahan rusak termasuk 300.000 hektar di antaranya lahan pertanian yang menjadi sokoguru perekonomian masyarakat. Namun perlahan Thailand bangkit dan membangun kembali infrastruktur yang rusak dan dalam waktu singkat ekonomi Thailand kembali pulih bahkan bergerak lebih pesat.
Selalu ada hikmah di balik musibah. Bersama kesulitan ada kemudahan. Dibutuhkan kesabaran dalam mengupayakan perbaikan setelah bencana, namun percayalah selama kita tekun bekerjasama dalam mewujudkannya, sedikit demi sedikit perubahan itu akan terlihat wujudnya. Karena Monumen Nasional tidak dibangun satu malam.
Teruslah berjuang, apapun mimpimu!
panoramio.com
Banda Aceh, 20 Januari 2014
Artikel keren lainnya:
Nice post!
ReplyDeleteSebuah refleksi....
Terima kasih, salam kenal ya Mursal :-)
Delete