Pada tahun 1971, Putu Wijaya mendirikan Teater Mandiri, yang secara luas dianggap sebagai teater kolektif terpenting di Indonesia. Filosofi yang dikembangkan oleh Teater Mandiri adalah menciptakan sebuah tontonan yang dapat menolong untuk membangun sebuah dialog antara pengarang dan penonton. Pertunjukan pertama yang dipentaskan oleh Teater Mandiri berjudul "Aduh" yang pertama kali ditampilkan di Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tahun 1973.
goodreads.com
Pada tahun 2011, dalam rangka memperingati peringatan 40 tahun kelahiran Teater Mandiri, drama "Aduh" dimasukkan ke dalam sebuah pementasan trilogi oleh Teater Mandiri. Ditampilkan di bawah judul "Trik", ketiga drama tersebut adalah karya terkenal dari Putu Wijaya: "Apakah Kita Sudah Merdeka?", "Aduh" dan "Setan".
Cerpen-cerpennya sering ditampilkan dalam kolom surat kabar harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-novelnya sering dipublikasikan di majalah Kartini, Femina dan Horison. Sebagai penulis naskah, dia telah memenangkan Piala Citra pada Festival Film Indonesia, pada film Perawan Desa (1980) dan Kembang Kertas (1985).
Dia juga telah menerima pengakuan sama baiknya baik di dalam negeri maupun di mancanegara. Ini telah termasuk beasiswa untuk belajar Kabuki di Jepang, pembekalan pada International Writing Program di University of Iowa dan sebuah beasiswa Fulbright untuk mengajar Drama Indonesia pada universitas-universitas di Amerika Serikat. Tulisan-tulisannya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang, Bahasa Arab dan Bahasa Thai seperti halnya Bahasa Inggris.
Semangat Berkarya Putu Wijaya
Minatnya terhadap literatur dipengaruhi bukan oleh keluarga dekatnya melainkan oleh kerabatnya. Saat ia duduk di sekolah dasar, dia membaca karya-karya klasik seperti Anton Chekhov dan William Shakespeare. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, sangat berharap Putu dapat menjadi seorang dokter, tetapi Putu sangat lemah dalam bidang ilmu eksakta. Dia lebih menyukai sejarah, bahasa dan geografi. Di masa kecilnya, ia sering menyelinap untuk menyaksikan pertunjukan wayang, sebuah pertunjukan yang memadukan drama dan tari tradisional.
Tidak lama setelah ia menamatkan pendidikan menengah pertamanya, karyanya yang pertama kali terbit diterbitkan di Suluh Indonesia dan beberapa tahun kemudian karyanya tampil di kolom Fajar pada majalah Mimbar Indonesia. Selama 5 tahun tulisan esai-esai dan cerpennya ditampilkan pada Minggu Pagi dan Majalah Djaya.
Setelah menamatkan pendidikan menengah atasnya, Putu Wijaya melanjutkan pendidikan tingginya di Yogyakarta, saat ia mengambil Akademi Seni Rupa Indonesia dan Akademi Seni Drama dan Film, sebelum meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Gadjah Mada. Selama di Yogyakarta, dia aktif terlibat dalam teater dan tampil di beberapa kelompok teater seperti Bengkel Teater dan Sanggar Bambu. Pada tahun 1969, dramanya dengan judul "Lautan Bernyanyi" meraih juara ketiga pada kontes penulisan naskah drama yang diselenggarakan oleh Dewan Pengembangan Teater Nasional Indonesia.
Dari Yogyakarta, Putu kemudian pindah ke Jakarta di mana dia memulai kariernya di bidang kesusasteraan sebagai seorang jurnalis pada Tempo dan Zaman. Selama di Yogyakarta, dia telah lama memendam minatnya dalam seni teater dan segera setelah tiba di Jakarta ia bergabung di Teater Kecil dan Teater Populer.
Demikianlah sejarah singkat Putu Wijaya, sang sastrawan terkemuka yang harum nama dan karya-karyanya hingga ke mancanegara. Semoga semangat Putu Wijaya dalam berkarya dapat menginspirasi kita.
Putu Wijaya, https://en.wikipedia.org/wiki/Putu_Wijaya
https://www.goodreads.com/author/show/611788.Putu_Wijaya
Belum ada tanggapan untuk "Putu Wijaya Sastrawan Yang Terus Berkarya"
Post a Comment