Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi
(Tirani - Taufiq Ismail)
Ada sebuah pepatah mengatakan, ajarkan anakmu sastra maka ia akan menjadi seorang pemberani. Sastra bukan matematika tapi ia punya ukuran-ukuran logika. Sastra berbicara tentang keindahan. Sastra melantunkan cinta. Sastra mengagungkan kepahlawanan. Sastra mengajak bersujud dan bersyukur atas kemahaagungan Tuhan.
Dari balik syahdunya kota Bukittinggi, provinsi Sumatera Barat, pada 25 Juni 1935 lahirlah Taufiq Ismail. Putra dari pasangan KH. Abdul Gaffar Ismail -- seorang tokoh nasionalis yang aktif berkecimpung di Persatuan Muslimin Indonesia -- dan Siti M. Nur ini menekuni sastra sejak 55 tahun silam. Kedua orang tuanya juga berprofesi sebagai penulis. Perjalanan karya pujangga angkatan '66 ini membawanya sebagai sastrawan yang mengawal masa demi masa pergantian kepemimpinan nasional Indonesia.
Saat huru-hara reformasi dikumandangkan 17 tahun silam, sosok Taufiq Ismail muncul di layar kaca melantunkan syair-syair keberanian. Keluhuran cita-cita yang tinggi. Ia seakan menyadari setelah era revolusi tahun 1966 dilaluinya, bahwa sebuah cita-cita luhur tak disuarakan dari semata keberanian mengkritik penguasa. Ketika kekuatan dan kekuasaan berhadapan dengan euforia reformasi, itu adalah momentum tepat untuk memercikkan segenggam cita-cita luhur pendiri bangsa. Dan jalan untuk menyampaikan itu semua adalah sastra.
Dari balik layar kaca itu, kita menyaksikan acara "Nol Kilometer" di RCTI. Sebuah tayangan feature yang membahas kebangkitan kembali sang Macan Asia di tengah keterpurukan krisis ekonomi dan politik yang menimpanya pada masa tersebut. Tuntutan mundur bagi pemerintahan orde baru dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme adalah beberapa tuntutan yang digaungkan kala itu.
www.sabangtourism.asia
Tak ingin terbenam dalam keterpurukan krisis, masa euforia reformasi dengan tumbangnya pemerintahan orde baru "dimanfaatkan" dengan begitu baik oleh Taufiq Ismail untuk menumbuhkan semangat sebagai sebuah bangsa. Bahwa dari nol kilometer, benih-benih optimisme disemaikan. Dari nol kilometer, pemerintahan yang bersih dan memperjuangkan sebanyak-banyak kemakmuran rakyat adalah dambaan setiap anak bangsa. Semangat optimisme itulah yang hendak disuarakan oleh sastrawan yang syairnya kerap dilantunkan grup musik religi Bimbo ini.
Selama matahari masih terbit dari timur.
Selama badan ini masih bisa digerakkan.
Selama kemauan masih dapat dinyalakan.
Selama doa-doa tetap menjadi dorongan.
Maka selalu ada harapan.
Maka selalu terbuka jalan.
Dilapangkan oleh Tuhan.
Dilapangkan oleh Tuhan.
Mari kita coret kata putus asa.
Dari kamus kehidupan kita.
Jangan sesali siapapun juga.
Jangan salahkan siapapun juga.
Mari kita hapus kata tidak bisa.
Dari buku harian kita.
(Semoga Jalan Dilapangkan Tuhan - Taufiq Ismail, dipopulerkan oleh Bimbo)
Peringatan milad 80 tahun sastrawan Taufiq Ismail dilaksanakan di Rumah Budaya Fadli Zon, di Aie Angek, Padang Panjang, Sumatera Barat. Dalam acara bertajuk Silaturahim Ramadhan dan Syukuran 80 tahun sastrawan Taufiq Ismail, beliau menceritakan perjalanan hidupnya ketika melalui masa muda di lereng gunung Singgalang pada masa penjajahan Belanda. Pada malam harinya dilanjutkan dengan pembacaan puisi "Adakah Suara Cemara" di Rumah Budaya Taufiq Ismail. Acara pembacaan puisi tersebut penuh haru, karena ditujukan pada sang isteri yang begitu setia menemani beliau, Ati Ismail.
beritasumbar.com
Beberapa tahun silam, tepatnya pada tahun 2007, ketika menerima penghargaan Habibie Award dalam memperingati ulang tahun The Habibie Center yang ke-8 di Jakarta, Taufiq Ismail menyampaikan kritik keras kepada sistem pendidikan bangsa saat ini yang tidak memberikan banyak kewajiban membaca buku kepada anak didiknya. Taufiq Ismail dengan geram menyebut kondisi memprihatinkan bangsa yang disebutnya sebagai "Generasi Nol Buku".
Ujaran ini tidak muncul begitu saja. Dalam makalah beliau dengan judul "Generasi Nol Buku: Yang Rabun Membaca, Yang Pincang Mengarang", Taufiq Ismail mengaku, bersama dengan puluhan ribu anak SMA lainnya pada kurun waktu 1953-1956 generasinya sudah menjadi generasi nol buku; rabun dalam membaca, lumpuh dalam menulis.
Disebut generasi nol buku, karena siswa-siswa SMA kala itu tidak lagi mendapat tugas membaca melalui perpustakaan di sekolahnya masing-masing sehingga rabun dalam membaca. Istilah "pincang mengarang" lahir dikarenakan tidak adanya latihan mengarang dalam pelajaran di sekolah. Ketika Taufiq Ismail mencoba untuk memperbandingkan sistem pembelajaran membaca dan mengarang antara peserta didik Indonesia dengan sistem serupa di negara-negara maju, terdapat kesenjangan yang begitu mencolok.
Pada bulan Ramadhan ini, pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Pendidikan setempat berinisiatif mengadakan sayembara membaca bagi para peserta didik mulai dari level pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Inisiatif ini dibarengi dengan pemberian penghargaan bagi peserta didik yang berhasil mencapai target membaca yang ditentukan. Hal ini merupakan langkah cerdas yang patut disemarakkan hingga ke seluruh pelosok negeri. Budaya membaca yang mengakar adalah sebuah isyarat bahwa ilmu pengetahuan masih bernilai mulia bagi masyarakat dan pemimpinnya. Kemajuan suatu negeri yang memajukan ilmu pengetahuan hanya tinggal menunggu waktu.
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu berlapang-lapanglah pada majlis-majlis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan melapangkan bagi kamu. Dan jika dikatakan kepada kamu: "Berdirilah!", maka berdirilah. Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat; Dan Allah dengan apapun yang kamu kerjakan adalah Maha Mengetahui." (Q.S. Al-Mujaadalah ayat 11)
Selamat memperingati milad yang ke-80 tahun Bapak Taufiq Ismail, semoga akan terus lahir jiwa-jiwa generasi penerus bangsa ini, yang jujur, yang berani, yang lantang dalam menyampaikan kebenaran dalam mengusir keterbelakangan dan keterpurukan bangsa. Yang santun, yang tunduk dan patuh, pada pedoman dan perintah Tuhan. Sebagaimana terlantunkan dalam untaian mutiara karya-karya sastra Bapak yang menjadi mahaguru dari generasi ke generasi penerus asa negeri ini.
www.antaranews.com
Banda Aceh, 30 Juni s.d. 2 Juli 2015
Sumber:
Yanuar Arifin,
Kado Spesial Generasi Nol Buku, http://www.kabarbangsa.com/2015/06/kado-spesial-generasi-nol-buku.html
Puisi Tirani dan Benteng Taufik Ismail 1966, https://dwinurcahyo87.wordpress.com/2012/07/24/puisi-tirani-dan-benteng-taufik-ismail-1966/
Rumah Puisi Taufiq Ismail dan Rumah Budaya Fadli Zon Syukuran 80 Tahun Taufiq Ismail, http://www.tribunnews.com/seleb/2015/06/25/rumah-puisi-taufiq-ismail-dan-rumah-budaya-fadli-zon-syukuran-80-tahun-taufiq-ismail
Rumah Budaya Peringati Ulang Tahun Taufik Ismail, http://www.antarasumbar.com/berita/151171/rumah-budaya-peringati-ulang-tahun-taufik-ismail.html
Taufiq Ismail 80 Tahun, http://print.kompas.com/baca/2015/06/27/Taufiq-Ismail-80-tahun
Belum ada tanggapan untuk "Milad 80 Tahun Sastrawan Taufiq Ismail"
Post a Comment