Di saat kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah, saya mengikuti kelas tambahan pengajian bertajuk "Hidayah Ramadhan". Saat itu Bersama Ust. Syauqi, yang mengajarkan kami membaca Al-Qur'an dengan irama. Di hari pertemuan terakhir kami belajar syair I'tiraf yang dipopulerkan seorang ulama bernama Abu Nawas.
Belum lama setelah kelas ekstra kurikuler tersebut selesai, tepatnya menjelang lebaran, saya demam tinggi. Terpaksa absen puasa empat hari. Saya sampai mengigau dan tidak bisa menikmati lebaran. Oleh tetangga, Mamak disarankan untuk membaluri bagian punggung saya dengan larutan cuka yang diaduk dengan irisan bawang merah. Resep tradisional. Tapi jangan tanya apakah itu baik or tidak. Yang kelas alhamdulillah setelah itu sembuh.
Sejak kelas 3 MIN, saya suka tarawih ke Masjid Al-Makmur. Dihitung-hitung, berjalan kaki ke sana ada 1 kilometer lebih juga. Belum lagi pulangnya. Tapi itulah ya yang namanya masa kanak-kanak, senantiasa senang, nggak pernah keluh kesah apalagi galau. (Nah, lho curhat).
Jadilah ketika di tahun 1998 ada pelatihan pesantren kilat yang berbarengan dengan perekrutan anggota remaja mesjid, saya pun memutuskan ikut. Belajar tauhid, akhlakul karimah dan keorganisasian. Para senior kami kece-kece. Keren dan cakep ilmunya. Mereka aktivis mahasiswa yang cerdas dan shaleh-shalehah di kampusnya, dan sangat senang berbagi pengalaman. Termasuk dengan saya yang masih junior, saat itu duduk di kelas 2 Tsanawiyah (setingkat SMP).
Jadilah saya Termasuk gila organisasi. Sempat beberapa kali dikarantina alias dinasehati agar fokus pada pelajaran. Sayangnya saya yang waktu itu belum sadar akan nasehat baik guru saya tersebut. Saat suatu ketika di titik sadar, saya berhasil mendongkrak prestasi saya. Ibu guru saya pun senang melihat perubahan tersebut dan mendo'akan agar saya mau terus memperbaiki diri agar kelak hidup sukses mulia.
Wah, saya sudah ke mana-mana. Baiklah, Ramadhan adalah saat menggembirakan di mana bisa membantu Mamak membuat onde-onde di dapur, mengocok telur, membungkus dan mengukus timphan sampai di lebaran membuat kue lebaran di cetakan loyang. Keharuman biskuit nescafe, havermout, lontong paris dan nastar. Hmm... Rasanya masih terinderai dengan jelas. Saat malam lebaran orang beramai-ramai pawai takbiran, saya dan senior-senior remaja mesjid bergerilya merapikan hambal mushalla untuk shalat 'Id keesokan harinya.
Lalu, Ramadhan saat di mana aku rajin menyimak ceramah Prof. M. Quraish Shihab. Sore hari berangkat ke Masjid Al-Makmur menuangkan kopi dan teh dan menyusun takjil. Bang Faisal sang bendahara yang menulisi daftar penceramah tarawih dan subuh berikut hasil tabungan amal setiap hari. Kami pun tak jarang ikut mengumpulkan tabungan amal dan menghitungnya.
Lalu moment tak terlupakan saat jadi MC Musabaqah tingkat Kota dan jadi bahan tertawaan karena tak punya persiapan. Malu. Menyepi dan menangis di kantor remaja mesjid. Karena tak sanggup menyembunyikan emosi, kala itu. Tak lama, pulang dan, main games FIFA 2000.
Demikianlah pemirsa, semoga tidak terbawa sedih ya. Hahaha. But anyway, jadi ingat pesan seorang teman blogger. Bahwa sedih pun, bisa dibawa ceria. Selamat beraktivitas kembali, terima kasih telah menyimak kisah memori Ramadhan masa kecil saya.
Banda Aceh, 22 Juni 2015.
Artikel keren lainnya:
hehehe ada-ada aja. Keren nih tulisannya.
ReplyDeleteMakasih Bang Fadhil ... :-)
Delete