"Republik masih ada. Dan di sini Aceh".
Kata-kata itu mengudara dari sebuah stasiun radio. Kata-kata tersebut bukanlah sekedar kata-kata. Kata-kata yang bermakna dalam menyebarluaskan informasi bahwa propaganda yang dilakukan oleh pihak lawan -- Belanda -- yang menyebutkan bahwa terjadi kevakuman dalam pemerintahan Republik Indonesia adalah keliru dan sesat.
"Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentara republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada dan di sini adalah Aceh."
Kalimat demi kalimat itu disebarluaskan melalui stasiun Radio Rimba Raya yang dapat diterima ke berbagai negara tetangga. Radio Rimba Raya, yang kemudian diresmikan monumen untuk mengenang keberadaannya pada 27 Oktober 1987 ini memiliki arti penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Monumen yang terletak di Desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah ini diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog Bustanul Arifin.
seputaraceh.com
Dari tengah hutan raya Gayo, keberadaan Radio Rimba Raya memiliki peran vital dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dari stasiun radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter, Radio Rimba Raya telah menjadi media penyebaran informasi di tanah air yang bermula sejak Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Radio Rimba Raya menyalakan semangat perjuangan di saat genting, saat di mana dunia nyaris kehilangan kontak dengan sebuah negara Indonesia yang saat itu baru meraih kemerdekaannya.
Kisah Propaganda Belanda yang Gagal
Dalam Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948, pukul 14.00, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, Dr. Beel melancarkan aksi propaganda ke seluruh dunia bahwa Republik Indonesia sudah tumbang (collapse). Pada hari tersebut, 20 pesawat terbang Belanda telah menguasai lapangan terbang Maguwo dan diinstruksikan untuk melaksanakan pengeboman semua lapangan terbang Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Turut menjadi sasaran adalah semua pemancar Radio Republik Indonesia (RRI) yang berada di setiap ibukota propinsi di seluruh Indonesia.
Dalam suasana kevakuman pemerintahan tersebut, satu pekan lamanya Republik Indonesia tanpa informasi. Padahal Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sementara pasukan Indonesia saat itu dalam posisi tertekan akibat tidak dapat mengantisipasi serangan mendadak yang dilakukan oleh Belanda, yang kemudian diperkuat dengan "serangan informasi" berupa propaganda yang disiarkan melalui "Radio Batavia" di Jakarta dan "Radio Hilversium di Holland.
Hanya dalam waktu sepekan, Belanda melumpuhkan sendi-sendi Republik Indonesia yang baru merdeka dan sebenarnya masih berada dalam status gencatan senjata setelah Agresi Militer Belanda I. Dr Beel saat itu sedang mempersiapkan siasat untuk mengumumkan pengambilalihan kedaulatan Republik Indonesia, setelah merasa yakin seluruh provinsi telah dikuasai berikut dengan stasiun-stasiun radio sebagai sarana penyebaran informasi utama ketika itu.
Di luar dugaan Belanda, dari ujung Sumatra, tepatnya di belantara hutan raya Gayo terjadi aksi balasan terhadap serangan propaganda Belanda tersebut. Sejarah mencatat, Belanda sama sekali tidak menyentuh Aceh semenjak Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947 hingga Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.
Dari Radio Rimba Raya inilah bantahan atas propaganda Belanda disiarkan ke seluruh dunia pada 20 Desember 1948 pukul 06.00. Suara Gubernur Militer Propinsi Aceh, Langkat, Tanah Karo Tengku Muhammad Daud Beureueh bergema menegaskan keberadaan Republik Indonesia yang berdaulat.
"Dengarkan Dr. Beel. Saya di sini, Gubernur Militer Propinsi Aceh, Langkat, Tanah Karo, Teungku Muhammad Daud Beureueh mengumumkan kepada seluruh dunia bahwa Negara Republik Indonesia kini masih tegak dengan kokoh, merdeka dan berdaulat," demikian pesan yang disampaikan.
"Tidak ada seorang Belanda pun yang berani mendekat ke Tanah Rencong," sebagaimana dikisahkan oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Nama Teungku Muhammad Daud Beureueh, yang digelari Jenderal Mayor tersebut kemudian diabadikan sebagai nama jalan protokol di Kota Banda Aceh, ibukota Propinsi Aceh.
Radio Rimba Raya, Pengawal Diplomasi RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa
Sejenak, setelah situasi pengambilalihan kendali pemerintahan pada Agresi Militer Belanda II -- di mana Presiden Ir. Soekarno dan Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta berhasil ditahan dan pemerintahan di Yogyakarta berhasil dilumpuhkan, para diplomat Belanda mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) untuk mengadakan sidang untuk menghapuskan Indonesia dari peta politik dunia.
Reaksi keras bermunculan dari sebagian besar negara-negara Timur Tengah, Asia, Amerika, Australia, Mesir, Maroko serta dari Sekjen PBB sendiri, Trigve Lie. Sayangnya, dengan perebutan stasiun-stasiun pemancar radio di seluruh propinsi di Indonesia menyebabkan sulitnya Dewan Keamanan mengakses informasi mengenai Indonesia.
Tak lama kemudian, setelah sampainya bantahan dari Jenderal Mayor Teungku Daud Beureueh, Gubernur Militer Aceh, Langkat, Tanah Karo, akhirnya delegasi Indonesia di PBB yaitu L.N. Palar bersama Menteri H. Agus Salim leluasa melancarkan aksi diplomasi dalam menyelamatkan kepemimpinan dwi tunggal Soekarno Hatta. Perjalanan sejarah kemudian membawa delagasi RI - Belanda untuk menggelar Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda.
Sayangnya, berdasarkan pemberitaan terakhir, kondisi Monumen Radio Rimba Raya kurang mendapat perhatian pemerintah. Jalan T. Hasan Kolonel Yusuf yang menjadi tempat masuk menuju monumen tersebut tidak dibangun dengan baik sehingga terkesan hanya sebuah jalan gampong (jalan desa). Pada malam hari kondisinya juga gelap tanpa lampu penerangan.
travelmatekamu.com
Perjalanan Sejarah Radio Rimba Raya
Stasiun Radio Rimba Raya telah berpindah-pindah dari berbagai tempat di antaranya dari Krueng Simpo, Bireuen, kemudian di pegunungan Cot Gue dan akhirnya ke pegunungan Rimba Raya yang terkenal strategis dalam hutan yang lebat. Peralatan perangkat radio tersebut merupakan hasil barter yang dikoordinir Mayor Osman Adami melalui kegiatan dagang Atjeh Trading Company (ATC), dengan kekuatan 350 watt telegraph dan 300 watt telefoni.
Daya jangkau siaran perangkat canggih pada saat itu hanya dapat mencapai Singapura dan Malaysia. Oleh karena itu diupayakanlah berbagai cara agar siaran tersebut dapat menjangkau area yang lebih luas. Dengan segala keterbatasan sumber daya, Mayor (Laut) John Lie berhasil menembus blokade Belanda seraya membawa pemancar radio barteran. Pemasangan instalasi pemancar dilakukan oleh seorang Indo-Jerman bernama Schultz, pada tahun 1945.
Pada mulanya, pemancar Radio Rimba Raya sempat berdiri di desa Cot Gue, delapan kilometer arah selatan Koetaradja (Banda Aceh). Penyiarannya dilakukan di sebuah gedung di Belanda di Kawasan Peunayong. Selain itu disiapkan pula studio cadangan lainnya untuk mengantisipasi apabila sewaktu-waktu Koetaradja direbut oleh musuh.
Pemancar radio pada saat itu tidak sempat mengudara, karena adanya Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Dalam keadaan genting, pada 20 Desember 1948 pemancar kemudian diberangkatkan ke Aceh Tengah dalam sebuah misi rahasia. Daerah yang dituju adalah Burni Bius, Aceh Tengah dengan pertimbangan lokasi yang strategis untuk memancarkan siaran. Namun dengan pertimbangan menghindari resiko karena pesaat-pesawat Belanda yang terus mengintai rombongan selama dalam perjalanan, akhirnya pemasangan radio dilakukan ke Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah.
Radio Rimba Raya tercatat telah menginformasikan berita kemerdekaan Indonesia dan berita kenduri akbar di Aceh. Radio ini juga aktif menyampaikan pesan-pesan kemerdekaan dan revolusi, di samping sebagai pengawal diplomasi di Dewan Keamanan PBB pada masa kevakuman pasca Agresi Militer Belanda II. Pada saat Konferensi Asia tentang Indonesia digelar pada tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang karena banyaknya berita yang harus dikirim kepada wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.
Radio Rimba Raya telah menguara dalam lima bahasa, yaitu bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab. Sejumlah wilayah yang berhasil ditembus oleh siaran Radio Rimba Raya antara lain Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) dan bahkan Australia dan Eropa. Sebagai satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia, Radio Rimba Raya juga menyajikan lagu-lagu pilihan pendengar di mana diperdengarkan nyanyian-nyanyian rakyat yang membakar semangat rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Banda Aceh, 2 - 3 Juni 2016
Sumber:
Radio Rimba Raya,
http://rimbarayaaceh.blogspot.com
Sejarah Radio Rimba Raya,
http://acehpedia.org/Sejarah_Radio_Rimba_Raya
Trailer Film Dokumenter Rimba Raya,
https://www.youtube.com/watch?v=UFLr3Ea-43s
Baca tulisan sejarah gini bikin pengetahuan saya bertambah
ReplyDelete