Sembari beristirahat di rumah salah seorang kerabat, saya menelusuri
buku-buku yang ada di lemari buku di rumah saudara saya tersebut. Saya
menemukan (lagi) buku Quantum Learning yang cukup lama tidak saya
sentuh. Buku ini belum pernah mampir ke dalam koleksi buku saya. Sewaktu
masih di Madrasah 'Aliyah -- setingkat SMA -- saya meminjamnya dari
Makcik saya. Saya telusuri kembali buku tersebut, banyak kenangan yang
indah bersama buku ini. Termasuk ketika menjadikan bahan di dalamnya
sebagai bahan untuk pelatihan adik-adik kelas di rohani Islam (rohis)
semasa Madrasah 'Aliyah dulu.
Beberapa materi di dalam
buku ini yang saya praktekkan atau adopsi materinya ke dalam bahan
simulasi pelatihan antara lain cara membuat catatan atau resume kuliah
atau ceramah, kiat agar dapat mempraktekkan bahwa menulis semudah
berbicara dan bagaimana peta pikiran mengurangi dampak negatif berpikir
linear yaitu adanya item-item yang terlewatkan ketika menyusun suatu
gagasan. Dalam tulisan kali ini saya ingin membahas satu saja dari
materi-materi tersebut yaitu "Kiat-kiat supaya tidak Mengalami Hambatan
Menulis."
Sebelum membahas pokok bahasan tersebut, saya
ingin menceritakan suasana menyenangkan dalam sebuah kelas pelatihan
adik-adik rohani Islam atau Rohis di sekolah almamater saya beberapa
tahun silam. Ketika itu sebagai alumni saya dimintai untuk mengisi
sebuah sesi simulasi selepas shalat 'ashar. Saya meminta semua peserta
mengeluarkan selembar kertas, dan memberi waktu kepada mereka beberapa
menit untuk menuliskan apa saja yang terlintas dalam benak mereka. Apa
saja!
Saya ingin membuktikan keampuhan sebuah materi yang
terdapat dalam Quantum Learning bahwa menulis adalah semudah berbicara.
Dalam materi tersebut diceritakan bahwa menulis sebenarnya tidak lain
adalah sebuah cara untuk mengungkapkan apa yang terlintas dalam pikiran
kita sama halnya seperti berbicara. Diulangi: menulis sama mudahnya
dengan berbicara.
Sewaktu masih kecil, seorang anak tidak
memiliki hambatan apapun untuk mengungkapkan ide-idenya. Si anak
bebas untuk mengungkapkan ekspresinya baik dalam ucapan, tindakan
ataupun karya. Seiring bertambahnya usia, sang anak mulai memperoleh
hambatan-hambatan yang berasal dari lingkungannya. Beberapa orang mulai
menertawakan ketika si anak "salah" berbicara. Lalu kemudian si anak yang
tadinya merasa percaya diri perlahan-lahan mulai enggan untuk
mengekspresikan diri. Hal tersebut terus berlangsung sehingga si anak
tadi menjadi dewasa.
Anak itu bisa jadi adalah kita!
Sekarang cobalah langkah-langkah berikut ini. Ambillah selembar kertas, lalu tulislah apa yang sedang Anda pikirkan. Bisa saja Anda menuliskan "aduh, apa lagi ya yang harus ditulis, atau bagaimana ya pulpen saya macet ini, dan sebagainya. Apa saja yang sedang Anda pikirkan dan bukannya memikirkan dulu baru menulis. Gunakan timer dan targetkan untuk memenuhi kertas Anda dengan tulisan. Kemudian baca kembali tulisan tersebut. Pada mulanya Anda akan menanggapi apa yang Anda tulis tersebut dengan tersenyum-senyum sendiri atau merasa konyol atas apa yang telah Anda tulis.
Tidak apa-apa! Anda sedang berkembang dan seiring waktu tulisan Anda akan terus meningkat dari segi kualitas isinya.
Teruslah menulis dan buktikan menulis adalah semudah berbicara!
^_^
Banda Aceh, 28 Desember 2013
Diedit pada 12 Maret 2014
Artikel keren lainnya:
Kalau saya, maunya bisa bicara segamlang nulis. hik, tp memori mudah lupa jk dlm kondisi tertekan, hahaha
ReplyDelete