Saat membaca, melihat atau menonton di berbagai acara yang
membahas seputar taman bacaan, kita melihat banyak sekali anak-anak yang tidak
begitu beruntung karena sulit memperoleh akses untuk bahan bacaan yang bermutu.
Memperoleh akses terhadap bacaan "biasa-biasa saja" sudah sulit,
konon lagi yang berkualitas. Keberadaan taman bacaan adalah serasa surga bagi
mereka. Hal ini lantaran berbagai bacaan tersebut dapat mereka nikmati dengan
gratis.
Saat menulis ini aku jadi ingat perpustakaan sekolahku saat
masih di Madrasah Ibtidaiyah dulu. Hanya sebuah lemari pada sebuah ruang
sederhana yang juga merupakan ruang unit kesehatan sekolah (UKS). Tumpukan
bukunya juga terdiri dari buku-buku pelajaran, dan barangkali juga ada beberapa
buku tambahan.
Berlanjut ke Madrasah Tsanawiyah, perpustakaan sudah lebih
"modern". Ada ruangan yang cukup luas di lantai dua, dengan 2-3
pegawai perpustakaan yang selalu merapikan buku dan peraturan peminjaman pun
diberlakukan dengan baik. Aku menemukan buku-buku pendukung belajar Bahasa
Indonesia yang cukup 'wah' juga untuk saat itu. Novel-novel yang kami ketahui
judulnya saat jam pelajaran Bahasa Indonesia bisa dengan mudah kami temui di
situ, seperti novel "Salah Asuhan" karya Abdul Muis atau
"Tenggelamnya Kapal Van der Wijk" karangan Hamka.
Perpustakaan selalu menjadi pilihan favoritku saat jam istirahat,
lantaran aku tak menghabiskan waktu terlalu lama untuk jajan. Istirahat juga
seingatku hanya satu kali dengan durasi yang agak lama--sekitar 30 menit.
Jadi lumayan juga buat dihabiskan di perpustakaan.
Pegawainya pun sangat ramah.
Saat Madrasah 'Aliyah, perpustakaan tidak seingatku tidak
semewah saat aku masih di Tsanawiyah dulu. Maksudku buku-buku sastra tadi tidak
dapat kutemukan dengan mudah. Buku-buku seingatku lebih didominasi pada buku
pelajaran. Bahkan cukup lengkap karena sebagian besar buku pelajaran dapat kami
pinjam di perpustakaan, sehingga kami tidak perlu membelinya lagi.
Perpustakaan yang paling besar di kotaku yang pernah aku
kunjungi adalah Perpustakaan Wilayah. Aku baru berkenalan dengannya saat
seorang temanku di Madrasah 'Aliyah mengajakku ke sana. Aku diajaknya membuat kartu perpustakaan. Suasananya cukup tenang dan ada sebuah balai untuk shalat yang
juga sangat nyaman. Aku akrab dengan perpustakaan wilayah sampai masa-masa
kuliah, di mana kebutuhanku akan buku-buku penunjang kuliahku di jurusan
manajemen cukup memadai.
Perpustakaan lainnya tentu saja perpustakaan kampusku Universitas Syiah Kuala, yang juga kami kenal dengan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Pustaka Unsyiah.
Bangunan berlantai tiga yang sebenarnya tak terlalu akrab buatku. Lantaran
menurutku sedikit berkesan sepi. Padahal bangunannya cukup megah dengan tinggi
ruang yang tak kalah megah. Bisa aku rasakan ketika menaiki anak tangga yang
begitu lama. Barangkali hanya mereka yang suka belajar saja yang rela
olak-balik ke bangunan ini.
Menjelang aku selesai kuliah, aku melihat suasananya mulai
ramai. Lantaran sudah disediakan dari fasilitas komputer dan internet
gratis. Bahkan juga jaringan wi-fi, yang juga disediakan di
taman yang dibangun di halaman luar perpustakaan. Beberapa kali selepas tamat
kuliah, aku pernah bermain juga ke sana.
Perpustakaan yang paling akrab denganku adalah pustaka
jurusan. Saat kuliah dulu, mahasiswa masih kesulitan untuk meminjam buku
lantaran tidak ada pegawai khusus yang ditugaskan untuk menjaganya. Lalu muncul
inisiatif yang berasal dari diskusi temanku yang ketua himpunan dengan Bapak
ketua jurusan. Akhirnya beberapa orang dari himpunan secara sukarela
menyediakan waktu mereka untuk piket bergantian menjaga perpustakaan.
Kami: aku, Iqbal, Iqbal kuadrat (ada dua soalnya), Pipit,
Lifa, Hasie, Rian, Yasvy, Vera, Yus (mudah-mudahan tak ada nama yang terlupa)
saling bergantian menjaga perpustakaan. Hasie yang mengatur jadwal piket dengan rapi. Teman-teman juga setia setiap saat bergantian piket di pustaka sambil menambah ilmu juga. Syukur Alhamdulillah banyak teman yang merasa terbantu. Karena buku-buku yang
disediakan merupakan buku referensi, maka mahasiswa hanya dapat meminjam
sebentar untuk memfotokopi. Di sini aku melihat betapa tulusnya teman-teman
piket waktu itu, do'aku semoga kesuksesan selalu menyertai mereka.
Kini saat aku bermain ke sana, sudah ada pegawai khusus
bidang perpustakaan, dan mahasiswa pun sering berada di sana. Perpustakaan
dapat menjadi ruang tunggu bagi mahasiswa yang ingin menjumpai dosen pembimbing
mereka di kantor jurusan tersebut. Sudah tersedia pula fasilitasi internet
dan wi-fi sehingga sangat memudahkan bagi mereka yang ingin
mencari bahan kuliah atau skripsi.
Perpustakaan menjadi teman baikku. Saat menjadi remaja
mesjid Al-Makmur, aku berkenalan dengan sebuah buku yang menjadi "kitab suci:"
para pustakawan. Sebuah petunjuk mengenai kode perpustakaan. Lengkap di
dalamnya. Aku juga memnggunakan buku ini ketika dipercaya mengurusi
perpustakaan mushalla kampus dulu.
Kedekatanku dengan perpustakaan setali tiga uang dengan
toko buku. Sejak kecil, lantaran banyak buku pelajaran yang harus dibeli, aku
sering diantar oleh ayahku ke toko buku. Dari toko buku berisi buku-buku agama
seperti Taufiqiyah, Amanah, sampai toko buku populer seperti Zikra dan Effendi
Book Store yang kini malah sudah pindah lokasi atau malah tutup sama sekali.
Kadang-kadang kupikir lebih menyenangkan bisa membeli buku dan membawanya
pulang ke rumah. Barangkali lebih dari perasaan gembira seorang pemuda berhasil
mengajak kencan seorang gadis. (Haha, nggak segitunya
juga, kali).
Buku-buku yang sering mampir dan bertukar dengan lembaran
rupiah di sakuku di antaranya buku-buku seputar pendidikan/agama, manajemen,
kisah sukses/enterpreneur dan buku-buku how to. Kadang-kadang
uang saku habis untuk membeli buku. Jika sebagian orang menghabiskan untuk
jajan di kantin, maka aku lebih suka membeli buku. Atau mampir di kios-kios
majalah di seputaran Peunayong.
Kini aku mengagendakan pergi ke toko buku setiap kali aku
ingin mencari semangat baru. Dengan era teknologi dan jejaring sosial seperti
saat ini, sebenarnya banyak buku bisa diperoleh secara online, namun tetap saja
kepuasan tak tertandingi bisa membaca buku, meski hanya menumpang baca di
perpustakaan ataupun toko buku. Bagiku kedua tempat itu tak pernah sepi, meski
krisis ekonomi melanda.
Aku, buku, perpustakaan dan toko buku adalah sebuah kisah
cinta segiempat. Asmara yang sepertinya tidak bakal habis. Buku adalah pemberi
semangat kala ia lengah. Atau pembuat terjaga kala bara itu terlelap. Tidak
jarang lewat buku kita bertemu teman. Atau bertemu dengan pengarangnya
langsung, untuk meminta tanda tangan sang pengarang.
Itulah kisah cinta segitiga antara aku, buku, perpustakaan
dan toko buku. Dengan setumpuk buku di lemari, aku tetap membangun mimpi membuat sebuah taman bacaan. Terkadang merasa iri juga pada teman yang saat ini sudah memilik ratusan koleksi buku. Iri yang positi tentunya. Semoga dapat segera terwujud.
Aamiin-kan ya, Pemirsa...
^_^
Aamiin bang..
ReplyDeleteKirain postingan baru, rupanya punya lama, baru nyadar setelah habis baca, hahaaa..
ReplyDeletebtw, color background-nya berubah terus ya, hihiii...
cut nyanya: trims yaa:)
ReplyDeleteKak Fardelyn: lagi nyari ide kakak, siapa tau dapat habis bagiin postingan lamaa... hihi