Kadang-kadang dalam hidup ini kita punya satu maksud, namun tak tercapai sebagaimana mestinya harap itu ada. Namun dari situ pula tercipta hal-hal yang menyenangkan yang tak pernah kita duga.
Seperti juga halnya Sabtu pagi itu, saat aku bersama sepedaku--kadang aku memanggilnya Rambo sesuai nama merek sepeda BMX-ku itu--hendak melalui rute menuju pelabuhan Ulee Lheue. Namun angin seperti menuntunku ke tempat ini. Tempat yang seolah didirikan untuk mengenang masa lalu yang kelam--begitulah pendapatku sebelum hari itu. Tapi entah angin apa yang membawaku, rasa penasaran yang menyelinap membawaku ke dalam.
Museum Tsunami.
Tampak Samping Gedung Museum Tsunami
Dokumentasi pribadi, diambil dengan Samsung Chat t-322
17 September 2012
Saat itu Sabtu pagi. Biasanya aku menghabiskan Minggu pagi bersama sepedaku. Kadang menuju Pantai Ulee Lheue yang jaraknya hanya sekitar 4 Km dari situ. Kadang juga berputar-putar saja mengelilingi Blang Padang atau Taman Sari, yang hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari Mesjid Raya Baiturrahman. Namun rasa penasaran akan lengangnya suasana di Taman Sari membuatku menghentikan sepedaku di Museum Tsunami. Aku lupa, hari itu hari Sabtu di mana masih merupakan hari sekolah.
Justru karena Museum Tsunami sepi aku penasaran untuk masuk dan melihat-lihat. Setidaknya aku dan sepedaku sudah masuk ke halaman. Hehehe ...
Aku sebenarnya masih agak segan masuk ke dalam, lantaran juga dua bulan sebelumnya ada sebuah gempa besar juga yang mengingatkanku pada memori lama. Maka niatku semula hanya sekedar ingin bertanya sekedar berbasa-basi dengan juru parkir untuk mengetahui seputar tempat tersebut.
tripadvisor.ca
"Bang, Abang jadi wali kami, ya? Mau, ya?" beberapa anak berusia Sekolah Dasar mengerubungiku.
Hampir-hampir aku berpikir, "Wah, ramah sekali penyambutannya di Museum Tsunami ini. Baru juga datang untuk pertama kalinya ..."
:-D
"Bang, Abang jadi wali kami, ya? Mau, ya?"
Mereka mengulang-ulang lagi permohonannya untuk memintai kesediaanku menemani mereka untuk bisa masuk berkunjung ke dalam.
Masih setengah bingung, aku pun memarkir sepedaku setelah menguncinya dengan baik. Ada juru parkir yang baik hati yang menjaga sepedaku.
Sesampainya di dalam pintu masuk. Agak gelap memang. Aku disapa ramah oleh petugas yang mempersilakanku untuk mengisi buku tamu. Barulah setelah dijelaskan aku mengerti bahwa lantaran ini masih terhitung hari sekolah (Sabtu), mereka tak diperbolehkan masuk ke dalam museum kecuali membawa orang tua, guru ataupun wali. Sementara adik-adik ini masih dalam suasana liburan karena baru saja selesai ujian nasional. Aku pun mengisi buku tamu.
Tapi yang namanya rasa takut tetap saja menyelimutiku.
Benar saja.
Anak-anak ini segera berlari kegirangan menaiki tangga yang tidak ada anak-anaknya itu. Lantai tangga berhambal itu sepertinya dirancang memutari bangunan tersebut, persis seperti naik kapal. Aku masih tertahan di situ. Dari dinding tangga kita bisa mendengar bunyi air yang secara terus menerus mengaliri dinding itu. Sepertinya digerakkan oleh pompa hidrolik. Aku mencoba menapak selangkah demi selangkah. Tidak kuat rasanya. Aku seperti dikalahkan oleh rasa takutku. Sementara dari kejauhan terdengar suara anak-anak yang sudah sampai di atas. Mereka berteriak senang.
Dan aku, kebingungan. Langkahku tertahan di bawah tangga masuk itu.
"Masak kamu lepas tanggung jawab gitu, sih?
"Bagaimana kalau mereka nangis di atas sana," batinku menggumam.
Padahal mereka di atas senang-senang saja. Lantaran ada petugas juga yang sudah menunggu di sana.
:-)
Aku masih tertahan di situ. Tiba-tiba datang pengunjung lainnya, satu keluarga lengkap. Seorang Bapak, istri dan dua anaknya hendak beranjak naik. Beliau menyapaku yang sudah tertahan sekitar 5 menitan di situ. Lalu aku pun memutuskan untuk naik mengikuti mereka.
Perlahan aku menapaki tanga tersebut. Tapi air mataku tak tertahankan ikut menetes bersama suara gemericik air yang mengaliri dinding tangga tersebut. Kenangan tsunami seakan terpancar lagi dari suara gemericik air tersebut. Namun ternyata tidak terlalu lama. Ada sekitar beberapa menit juga kami meniti tangga tersebut dan sampai di ruangan yang pertama.
Aku masih terdiam seribu bahasa lalu menyaksikan suasana dalam museum untuk pertama kalinya. Jauh dari kesan menyeramkan. Malah boleh disebut ini museum punya interior (ah, kamu yang jurusan tehnik arsitektur barangkali lebih mengerti isitilah-istilahnya) yang nyaman dan lapang. Pencahayaannya juga diatur sedemikian rupa.
Menurutku museum ini punya suasana berbeda, yang barangkali aku bakal betah untuk menghabiskan waktu menemani anak-anak tadi di sini. Ya, aku rasa sang perancangnya telah memikirkan detil tersebut sedemikian rupa. Aku memang mengikuti perkembangan museum ini sejak dilelangnya hak untuk mendesain dan Ridwan Kamil, yang kini jadi Walikota Bandung, dipercaya untuk menuangkan ide-idenya yang terkenal sangat brilliant.
Setelah melihat-lihat beberapa instrumen yang disajikan, kami pun masuk ke sebuah ruangan yang mirip bioskop mini. Di situ dipertontonkan sebuah video mengenai tsunami. Lagi-lagi mata ini tidak bisa diajak kompromi untuk tidak menangis. Padahal video tersebut sepertinya juga sering disiarkan oleh TVRI Stasiun Banda Aceh saat aku mengungsi ke kampung dulu. Durasi video itu sekitar 10 menit.
Lalu aku berjalan-jalan lagi ke ruang lainnya. Ada sejumlah foto-foto tentang tsunami dulu. Juga sejumlah instrumen yang memperkenalkan hal-hal seputar kegempaan dan geologi. Kamu bisa menggali ilmu mengenai tsunami lebih dalam di sini. Sayang waktu aku datang itu belum banyka petugas yang bisa ditanyai. Namun saat ini mereka telah mempekerjakan banyak petugas untuk melayani kebutuhan informasi bagi para pengunjung.
Aku hanya bisa mengambil beberapa foto dengan kamera handphoneku. Berikut di antaranya:
Jeprat-jepret Suasana di dalam sebuah Ruang Peraga
Dokumentasi pribadi, diambil dengan Samsung Chat t-322
2 Juni 2012
Kami tidak bisa naik ke lantai 3 karena waktu itu lantainya sedang dibersihkan. Adik-adik itu pun turun setelah puas melihat-lihat. Barangkali ada sejaman juga kami di sana. Satu jam-an maksudnya. Aku pun ikut turun setelah semua syaraf-syaraf cemasku justru meluruh setelah berada di atas. Sayang aku belum sempat turun ke jembatan harapan. Sepertinya kami harus naik dari lantai 3 yang masih ditutup untuk petugas
bersih-bersih. Waktu itu pun petugasnya belum banyak seperti sekarang. Jadi ya, maklum saja.
Aku menuruni tangga turunan menuju keluar. Kali ini tak ada lagi suara gemericik air. Dan juga tak terlalu lama kami sudah kembali ke halaman luar.
Bapak yang datang bersama keluarga tadi menanyakan sesuatu, tapi aku tak bisa menjawabnya. Aku katakan terus terang, aku pun baru kali pertama masuk ke dalam. Ternyata mereka adalah turis lokal yang berasal dari Jakarta. Baru di luarlah kami sempat bertegur sapa. Padahal aku juga tadinya mengikuti mereka supaya bisa berani sampai ke atas.
:-)
Lalu si Bapak terheran-heran mengapa aku baru untuk kali pertama itu berkunjung, padahal aku penduduk asli Banda Aceh. Lalu aku kembali berterus terang.
"Sebenarnya saya takut. Kalau bukan karena anak-anak tadi, saya mungkin belum pernah ke atas," kataku sambil tersenyum. Bapak itu seperti tertahan ekspresinya, dan ibu di sampingnya tersenyum mendengarnya. Lalu aku pun pamit. Sebelum aku pulang mengajak Rambo, anak-anak tadi kembali mengerubungiku.
"Fotooooooooo ..."
Haha ... Ayo
aja!
Sesi pemotretan itu akhirnya menutup perjumpaan kami. Senang sekali bisa hadir ke Museum Tsunami. Senang juga bisa bersama anak-anak setelah sekian lama tak merasakan suasana yang pernah hadir saat dulu pernah jadi staf pengajar mengaji alias Ustadz TPQ.
Nice holiday.
Hari itu, aku mencatat tanggalnya, 2 Juni 2012 :
02-06-'12
Wah, aku jadi mudah
dong mengingatnya karena bermiripan dengan angka tanggal musibah tersebut, 26 Desember 2004 :
26-12-'04
Kebetulan saja, barangkali ...
www.wikipedia.org
Tak lupa kupanjatkan do'a, semoga Allah menerima arwah para syuhada yang gugur dalam musibah gempa dan tsunami di waktu itu. Beroleh rahmat, ampunan dan kasih sayang di sisi-Nya.
"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya, dengan mendapat rezeki."
(Al-Qur'an, Surat Ali 'Imran, ayat 169)
Banda Aceh, 03 Oktober 2013
Pukul 14.44
Belum ada tanggapan untuk "Kesan Pertama Berkunjung Ke Museum Tsunami"
Post a Comment