Hari ini aku pergi silaturahim ke tempat seorang teman. Teman yang baru kukenal beberapa hari yang lalu. Umurnya selisih satu tahun saja denganku. Tapi tidak begitu lama sudah akrab. Lantaran temanku ini menjaga toko tak jauh dari tempat tinggalku. Ia menggantikan kakaknya yang pulang ke kampung halaman.karena sedang dalam masa hamil tua. Ia menceritakan tentang kehidupannya yang begitu penuh dengan perjuangan. Saat kuliah saja, ia nyaris putus kuliah lantaran ia tidak cukup biaya. Namun kesungguhannya untuk terus bekerja menyambung hidup tetap membara.
Di keluarganya, ia enam bersaudara. Ada beberapa orang kakak dan di keluarganya bagi laki-laki untuk keperluan sehari-hari sudah dibiarkan untuk mandiri, sedangkan bagi yang perempuan masih dibantu kebutuhannya oleh orang tua. Bagi warga dari daerah asalnya, hal tersebut merupakan suatu kewajaran. Apalagi saat itu masih berkecamuk konflik yang menyebabkan usaha orang tuanya dalam mengelola kebun
miliknya tidak dapat berkembang sebagaimana layaknya. Maka merantau, bagi mereka yang punya kecukupan biaya adalah pilihan terbaik untuk bertahan hidup. Lantaran tidak memiliki biaya, ia tidak dapat meneruskan cita-citanya untuk merantau dan merajut kehidupannya sendiri di masa itu.
Setelah musibah gempa bumi dan tsunami Desember 2004, pemerintah memberlakukan masa tanggap darurat bencana yang dilanjutkan dengan rehabilitasi dan rekonstruksi. Berbagai program dan proyek diluncurkan baik bersifat infrastruktur maupun suprastruktur. Tak terhitung banyaknya bantuan yang datang ke Aceh baik melalui anggaran pemerintah maupun bantuan dari donatur internasional. Banyak pula di kalangan warga yang memperoleh rezeki dari kedatangan bantuan tersebut.
Suatu hari temanku bermain ke warung internet temannya. Dia bercanda dengan temannya dan dalam candanya ia mentertawai seorang bule yang sedang
bermain internet-an di situ. Bule tersebut menghampirinya. Setelah bertanya satu-dua kalimat dan dijawab oleh temanku dalam bahasa Indonesia, salahsatunya adalah ia sedang putus kuliah. Temanku saat itu sedang mengambil kuliah D-2 dan tidak dapat diselesaikannya karena terbentur biaya.
Tidak disangka, tidak diduga, Sang Bule memberikan nomor handphone-nya kepada temanku itu. Lalu keesokan harinya ia menghubungi nomor tersebut dan pergi menemui Si Bule itu di tempat yang disebutkan. Ternyata Bule tersebut merupakan salah seorang pekerja sosial di sebuah organisasi LSM internasional. LSM internasional tersebut memiliki mitra kerja yaitu sebuah LSM lokal. Di LSM lokal itulah temanku pada mulanya diminta bekerja. Mengerjakan apa saja. Ia diminta untuk tinggal di kantor LSM lokal itu. Ada dua hari di awal mulanya ia diminta untuk mengecat bangunan tersebut. Tak lama kemudian segera saja ia dilibatkan dalam berbagai proyek penelitian atas survei lapangan. Ia pun berhasil merajut asanya untuk menyelesaikan kuliahnya bahkan kini telah menyelesaikan kuliah sarjana (S-1).
Sambil menjaga toko, ia menghidupkan laptopnya untuk mengakses internet. Aku memperoleh banyak ilmu juga darinya. Tentang kesungguhan dan arti hidup. Perjuangannya dalam menyelesaikan kuliah, dan juga bekerja keras memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan uang kuliah. Bahkan saat ini dia baru saja mengirimkan lamaran untuk menjadi fasilitator di Bener Meriah. Suatu daerah lainnya di Aceh yang baru saja diguncang musibah gempa pada 2 Juli 2013 yang lalu dan saat ini memerlukan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam skala besar.
Aku menjadi terkagum. Lantaran bukan satu-dua kali aku mendengar kisah kesuksesan mereka yang bekerja keras dari keadaan "nothing" menjadi "something". Beberapa tahun silam aku pernah disengat oleh sebuah kisah seorang dokter yang ketika dalam masa perantauannya terpaksa harus puasa Nabi Daud alias sehari makan sehari berbuka untuk bisa bertahan kuliah di perantauan, di suatu tempat yang jauh dari keluarganya.
Ada juga di antara seorang pembeli yang masih tetanggaku juga. Dalam waktu empat tahun saja ia sudah menyelesaikan semua mata kuliahnya dan tinggal mengerjakan skripsi. Perjuangannya tidak kalah hebat. Di masa awal kuliahnya ia mengumpulkan kemasan air mineral bekas untuk dijual kembali. Setiap malam hari hingga pukul 3 pagi sebelum subuh ia sudah keluar untuk mengumpulkan kemasan air mineral tersebut. Tidak jarang karena keletihan ia tidak terbangun sebelum subuh sementara ia juga bertugas rangkap sebagai muadzin dan imam pengganti di meunasah (surau). Setiap kali warga ada hajatan, ia turut serta memasangi tenda yang disewakan oleh meunasah kami.
Beberapa tahun yang lalu ia membeli motor dari seorang warga di kampung kami dan menjadikannya becak pengangkut barang untuk mempermudah pekerjaannya. Ia membuktikan bahwa kesungguhan menjalani hidup akan berbuah manis pada akhirnya. Daripada mengeluh tak berujung atau bersungut-sungut tidak menentu untuk meminta sekedar belas kasihan.
Beberapa hari yang lalu, aku ingat menonton acara Mario Teguh yang menampilkan video youtube tentang perjalanan Kevin Skinner, seorang yang menjelaskan dirinya sebagai "unemployed farmer" dan "seorang penangkap ayam". Dengan topi terbalik, ia tampil di hadapan seisi gedung aula. Mungkin kisah ini tidak seistimewa jika itu bukan sebuah acara berating tertinggi di televisi; America's Got Talent 2009. Hari itu ia memukau seisi gedung dengan kemampuan bernyanyi dan kesediaannya untuk tampil percaya diri, apa adanya.
Tahun itu, Kevin Skinner tampil di final bersama Barbara Padilla di final America's Got Talent dan memenangkan salah satu ajang kontes pencarian bakat terbesar itu. Barbara sendiri diberitakan adalah seorang ibu yang sukses dalam perjuangannya melawan kanker payudara untuk bertahan hidup. Tahun itu pula di belahan bumi lainnya kita mendengar kisah yang sama dari seorang Susan Boyle yang sederhana yang
juga kisah penampilan perdananya juga telah mampu memukau begitu banyak pemirsa di seluruh dunia bahkan telah ditonton puluhan juta kali di situs Youtube.
Claire Luna-Pinsker, seorang kontributor Yahoo di New York bahkan pada saat itu menulis artikel "Kevin Skinner: Chicken Catcher Now Money Catcher". Dalam tulisan tersebut Luna-Pinsker menyebut Skinner membagikan hati yang baik dan kepribadian yang hangat, yang penuh ketulusan dan apa adanya meskipun kehidupan seperti tidak berpihak kepadanya. Kisah Kevin Skinner merupakan kisah tentang seorang pekerja keras yang rendah hati yang bekerja hari demi hari pada suatu pekerjaan yang relatif tidak diimpikan oleh orang kebanyakan. Tidak banyak orang yang rela dirinya disebut atau dikenal sebagai seorang penangkap ayam.
Apakah kamu sudah pernah menyaksikannya?
Semoga bisa menginspirasi bagi kita semua ...
Banda Aceh, 25 Oktober 2013
Pukul 02.15
Artikel keren lainnya:
Hanya Allah sang Sutradara Kehidupan ini, Kita hanya berdoa dan Bersabar kapan di berikan keajaiban itu akan datang di kehidupan kita.
ReplyDeleteIya. Terima kasih, Bang Dhanz atas motivasi supernya ...
Delete:-)
Kisah yang memancing kita juga untuk bekerja keras ya... mereka sudah membuktikan mampu menghadapi tantangan untuk berhasil, kita juga bisa kan.
ReplyDeleteIn sya Allah tetap optimis dengan keimanan dan keyakinan, berusaha menjemput segala impian. Terima kasih Kak, semoga tercapai segala yang dicita-citakan dan dimudahkan segala urusan :-)
Deletesegalanya telah diatur di lauhil mahfudh.. manusia hanya bisa berencana dan berusaha kan.. :)
ReplyDeleteTerima kasih, Khaira. Tugas kita hanya menyampaikan kebenaran dan berusaha menjadi bukti. Selebihnya terserah sama Allah (pesan seorang guru)
Delete:-)