Pemirsa, apa kabar? Semalam saya begadang menonton siaran sepakbola Piala Dunia 2014 di Brasil yang memainkan pertandingan Belanda vs Spanyol. Pertandingan ini teramat seru karena mempertemukan dua finalis Piala Dunia edisi sebelumnya yaitu tahun 2010 di mana Afrika Selatan menjadi tuan rumah. Meski hanya menyaksikan dari rumah namun riuh-rendah suara penonton acara nonton bareng sudah menggema di penjuru kota Banda Aceh, terutama setiap kali ada goal yang tercipta ataupun peluang berbahaya.
Piala Dunia yang sempat saya saksikan pertama kali adalah Piala Dunia 1994. Saat itu jumlah tim hanya 24 negara dan dibagi ke dalam enam grup. Saya menyaksikan pertandingan pembuka Grup D antara Argentina melawan Yunani sampai akhir babak pertama yang berkesudahan 2-0. Saya pergi tidur karena sudah larut dan menebak asal skor pertandingan yang ternyata benar, 4-0. Di tahun tersebut Diego Armando Maradona harus pulang lebih awal karena terlibat kasus doping, padahal Argentina merupakan salah satu favorit juara.
Penyelenggaraan Piala Dunia 1994 ditandai juga dengan pembuatan kliping foto-foto dari surat kabar oleh kakak saya. Foto-foto itu memenuhi setengah isi buku gambar. Pada tahun 1998 saya melanjutkan untuk mengisi kliping tersebut. Sayang beberapa tahun lalu karena tak tahan dengan debunya saya memutuskan untuk membuangnya ke tempat sampah.
Piala Dunia 1994 memberikan sejarah tersendiri di mana negara adidaya Amerika Serikat menjadi tuan rumah. Saat itu Amerika Serikat berhasil melaju ke babak kedua dan dihentikan oleh Brasil yang akhirnya menjadi juara bertahan. Brasil menjadi juara setelah menundukkan Italia dalam adu penalti dengan skor 3-2. Di Amerika, sepakbola bukan olahraga paling populer seperti halnya Football America (rugby). Meskipun demikian Amerika mempersiapkan dengan matang penyelenggaraan Piala Dunia 1994.
Piala Dunia tersebut memberikan kenangan di mana terdapat beberapa penjaga gawang eksentrik seperti Rene Higuita (Kolombia) yang bisa menangkap bola sambil bersalto terbalik ala kalajengking, Jorge Campos kiper Meksiko bertubuh tak terlalu tinggi yang sangat fashionable dengan kostum penjaga gawangnya serta Tony Meola kiper tuan rumah yang memelihara rambut panjang yang dikuncir. Bulgaria juga keluar sebagai juara keempat sebagai tim kuda hitam di mana striker-nya Hristo Stoichkov menjadi pencetak gol terbanyak.
Piala Dunia 1994 juga memberikan kenangan akan selebrasi perayaan goal dengan cara menimang bayi yang dilakukan striker Brasil, Bebeto, saat di babak perempat Final mengalahkan tim oranye Belanda 3-2. Turnamen tersebut juga memberikan kisah kelam bagi Andreas Escobar, pencetak gol bunuh diri bagi timnya sendiri, Kolombia. Ia tewas mengenaskan setelah mendapat tembakan di sebuah restoran.
Pada penyelenggaraan Piala Dunia berikutnya, Piala Dunia 1998 di Prancis, persiapan yang dilakukan jauh lebih matang. Sebagai ketua panitia penyelenggara adalah mantan bintang Juventus, Michel Platini, yang saat ini menjadi Presiden UEFA. Keluar sebagai juara adalah tuan rumah Prancis yang menaklukkan juara bertahan Brasil di babak final. Sementara Kroasia muncul sebagai tim kejutan dengan striker-nya Davor Suker yang menjadi pencetak gol terbanyak.
Di Piala Dunia kali ini icon ayam jantan yang merupakan icon kebanggaan tim nasional Prancis sangat digemari. Lagu Piala Dunia La Copa de La Vida yang dibawakan oleh penyanyi latino Ricky Martin juga sangat menyemarakkan event akbar empat tahunan tersebut. Berbagai stadion yang megah dan mewah telah direhabilitasi dan direkonstruksi guna menyiapkan event ini menjadi salahsatu event Piala Dunia yang terbaik.
Tim Nasional Prancis saat itu mencapai masa jayanya di mana para bintangnya merupakan pemain yang sedang mencapai masa kejayaan di tim masing-masing, Sebut saja Emmanuel Petit dan Patrick Vieira dari Arsenal, Zinedine Zidane dan Didier Deschamps (Juventus), Thierry Henry (AS Monaco), Marcel Desailly (AC Milan), Lilian Thuram (Parma) hingga Robert Pires dan Fabien Barthez (Marseille).
Saat penyelenggaraan Piala Dunia 1998, demam sepakbola juga melanda kampung kami. Hampir setiap hari kami bermain bola di lahan yang berupa bekas areal persawahan yang menganggur di sekitar rumah kami. Di sana, aku dan tetangga bermain sepakbola. Kami yang masih berumuran SMP biasanya bermain lebih dulu, sebelum para "senior-senior" kami datang untuk ikut bermain. Biasanya hanya mereka yang pandai bermain bola yang akan tetap terus bermain bersama para senior.
Itulah sekedar nostalgia masa kecilku tentang Piala Dunia. Sekarang, lapangan bola tersebut tidak ada lagi karena sudah dibangun saat proyek perluasan rumah sakit yang didanai oleh pemerintah Jerman. Sebenarnya ada sebuah lapangan sepakbola lainnya, namun kini di tanah yang juga bekas persawahan tersebut telah dibangun sebuah rumah.
Banyaknya lapangan futsal yang hadir serta sejumlah sekolah sepakbola juga membuat pemerintah sepertinya tidak menyiapkan lahan-lahan yang disisakan untuk lapangan sepakbola. Semoga dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah kota Banda Aceh dalam mengadakan ruang terbuka hijau yang layak termasuk tempat bermain sepakbola sebagai sarana beraktivitas generasi muda.
Banda Aceh, 14 Juni 2014
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Demam Piala Dunia di Masa Kecilku"
Post a Comment